Pikir saya pasti video
ucapan selamat hari Minggu atau video lagu sorak-sorai ketika Yesus Sang Raja
Damai, memasuki Yerusalem. Tapi ternyata bukan. Saya menonton beberapa video
itu sampai selesai.
Ternyata video-video
itu adalah potongan video serangan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral
Makasar. Mengerikan juga menonton sampai selesai video-video itu. Reaksi
spontan saya waktu itu adalah mengutuk perbuatan barbar tak berperikemanusiaan
itu.
Minggu, 28 Maret 2021,
bagi umat katolik adalah hari minggu palma, hari dimana semua umat katolik
diajak untuk menyambut sang raja damai dan masuk lebih dalam untuk merenungkan
kisah sengsara Yesus.
Ada kisah sengsara di
Salib hingga kisah kebangkitan direnungkan dalam pekan yang suci ini. Tapi
dengan peristiwa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makasar ini sungguh
bagai sebuah peristiwa salib yang harus kami pikul dan pikul lagi. Dan sebagai
bagian dari “anak-anak ter-salib” yang “mencintai salib” saya terdorong untuk
berbagi rasa dalam sebuah tulisan sederhana ini.
Dalam konteks pekan
suci, saya sengaja mengawali tulisan ini dengan satu dua sentuhan uraian
tentang salib. Anggap saja renungan bagi saudara-saudariku pencinta salib di
masa penuh hening ini.
Pada tahun 2008 lalu,
saat mengawali rangkaian Katekese tentang Pertobatan Santo Paulus, Paus
Benediktus XVI, mengawali renungannya dengan mengatakan bahwa: dalam pengalaman
pribadi Santo Paulus ada satu file hidup yang tak terbantahkan yakni Paulus
yang awalnya adalah seorang penganiaya dan pembenci orang-orang Kristen, dengan
pertobatannya dalam perjalanan ke Damaskus, menjadi seorang pencinta radikal
akan Kristus.
Pengalaman perjumpaan
Paulus dengan Kristus ini memiliki dua sisi reflektif akan makna sentral Salib
Yesus bagi Paulus. Yang pertama sisi universal: Yesus benar-benar mati untuk
semua orang, dan yang kedua sisi subjektivitas: Dia (Yesus) juga mati untuk
saya.
Adapun satu penggalan
teks Kitab Suci yang dikutip: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah
kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan
pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1 Kor. 1:18); “Orang-orang Yahudi
menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami
memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu
sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk
mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah
kekuatan Allah dan hikmat Allah.” (1 Kor. 1:22-24).
Kutipan ayat-ayat ini
saya tampilkan bukan untuk dinterpretasi secara eksegetis tapi mari kita baca
lalu cukup untuk direnungkan.
Kata “salib” memang
tidak selalu disandingkan dengan kata atau kalimat yang persuasif tapi lebih
pada yang paradoks, misalnya dalam tulisan Paulus bisa ditemukan pula 2 kata
yang sering disandingkan dengan kata “Salib” yakni: Skandal dan Kebodohan.
Tapi menarik bagi saya
bahwa kata Salib itu mendapat makna dan kekuatan yang sesungguhnya ketika ada
kegagalan, ada rasa sakit, ada kekalahan dan ada hinaan sebab disitulah
terkristalisasi kekuatan cinta Tuhan yang tak terbatas.
Salib adalah ungkapan
cinta dan kasih yang tak terbatas. Dengan peristiwa bom bunuh diri yang terjadi
kemarin, rasa cinta dan kasih kita ditantang. Kedewasaan iman kita diuji.
Membalas tidak perlu. Mendoakan pasti. Terpancing juga tidak perlu.
Lihat Juga:
Kita ke bom bunuh diri
di depan Gereja Katedral Makasar. Kita semua pasti sepakat bahwa aksi bom bunuh
diri ini adalah aksi para teroris. Kita semua juga pasti mengecam dan mengutuk
aksi terorisme ini. Kecaman dan kutukan kita tidak berarti untuk membuat
propaganda melawan agama tertentu sebab setiap agama tidak mengakui kekejaman,
kejahatan ataupun kebencian. Tiap agama mengajarkan nilai kasih, cinta dan
damai.
Tapi dalam tiap aksi
bom bunuh diri membuat kita sulit untuk memisahkan aksi terorisme dengan agama.
Ada ungkapan: “The terrorist has not
religion”. Teroris itu tidak beragama.
Ungkapan ini bisa saja
benar tapi bisa juga salah. Untuk yang benarnya, ada contohnya: kita cek saja
KTP mereka pasti tertulis dengan jelas mereka menganut agama tertentu. Atau ada
yang sebelum melakukan aksi bom bunuh diri justru meneriakkan pekikan khas tertentu.
Mereka beragama hanya
saja penghayatan mereka akan nilai-nilai luhur keagamaan itu yang keliru.
Mereka jatuh pada fanatisme, intoleransi dan radikalisme. Kalau salahnya, kita
tambahkan sendiri saja.
Lalu sudah lama juga
kita mendengar adanya istilah ‘Terorisme Islam’. Istilah ini adalah definisi
Barat, yang telah diberikan selama beberapa dekade dalam kaitan dengan serangan
yang dilakukan oleh para ekstremis atas nama agama Islam.
Tapi dalam Dokumen Paus
tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia yang ditandatangani di Abu
Dhabi pada Februari 2019 lalu, istilah ini dianggap “tidak tepat” dan ada
ajakan dan permintaan secara untuk tidak menggunakan ungkapan ini. Atau ada
juga kutipan dari Ensiklik terakhir Paus Fransiskus “Fratelli Tutti”: “membangun
hubungan (intrinsik) antara terorisme dan Islam – atau dengan agama lain –
justru menciptakan kebingungan yang memalukan antara realitas dan tradisi
spiritual.
Tradisi spiritual yang
ditujukan untuk kemakmuran dan kedamaian umat manusia, alih-alih ditujukan
untuk tujuan tercela dan menyimpang: “…mereka gigih menggunakan ekspresi
kebencian dan tanpa mereka sadari dengan cara ini, mereka menghalangi jalan
menuju dialog yang bermanfaat antara Timur dan Barat, dan sebaliknya. Mereka
secara tidak sengaja, mempromosikan hasutan kebencian dan akhirnya memperburuk
prasangka di antara mereka”.
Saya cuma mau bilang
bahwa peristiwa di Makasar kemarin dan di beberapa tempat lain dulu, perlu
menjadi autokritik untuk agama-agama atau agama tertentu agar membersihkan
virus ganas terorisme yang sudah terlalu jauh beririsan dalam rana agama.
Saya akhiri tulisan ini
dengan sebuah kisah :“suatu ketika ada seorang wisatawan berkata kepada
pemandunya: “saudara dapat berbangga atas kota saudara. Saya amat terkesan
melihat begitu banyak rumah ibadah di kota ini. Tentu orang-orang disini sangat
mencintai Tuhan.”
‘Entahlah,’ jawab si
pemandu dengan sinis, ‘mungkin mereka mencintai Tuhan, tetapi yang jelas mereka
saling membenci setengah mati.’
Kisah ini
mengingatkanku akan seorang gadis kecil yang pernah di tanya: “Orang KAFIR itu
siapa?” Ia menjawab:”Orang KAFIR adalah orang yang tidak bertengkar, tidak
membenci atau tidak membunuh karena agama.”