Sebuah diorama yang menggambarkan para romusha yang sedang membangun jalur kereta api dalam pengawasan tentara Jepang. Sumatra Barat memiliki riwayat pembangunan rel kereta terkait dengan batu bara. |
Tetapi bagaimana kisah perjuangan buruh dalam
sejarah Indonesia? Bambang Sulistyo, sejarawan Universitas Indonesia
menulis di Lensa Budaya (Vol.13 No.2 tahun 2018), bahwa pergerakan buruh tidak
terlepas dari perbudakan Cultuur
Stelesel pada 1830.
Ketika Politik Liberal tahun 1870 dijalankan,
pemerintah Hindia Belanda melepaskan monopolinya dengan membuka pintu swasta.
Sejak saat itu perusahaan masuk ke perkebunan Sumatera dan Jawa serta
menggunakan tenaga buruh baik dari Tiongkok maupun bumiputera.
"Periode-periode ini merupakan masa
penderitaan. Petani Jawa dalam ketidakberdayaannya karena ditinggalkan rajanya,
yang telah beralih menjadi birokrat kolonial, mencari penyelesaian masalahnya
sendiri dengan cara irrasional yakni lewat perkumpulan-perkumpulan
keagamaan," tulis Sulistyo.
Maka sejak saat itulah berkembang perlawanan buruh keagamaan di
bawah Sarekat Islam (SI) pada 1912.
Lalu dilanjutkan kelompok perlawanan pada 1914 lewat
paham yang dibawa Henk Sneevliet, tokoh Marxis dari Belanda. Ia pun
membuat Indische Sociaal
Democratische Vereeniging (ISDV) di Surabaya.
Lambat laun serikat pekerja makin
menjamur, seperti Vereeiging voor Spoor -en Tramwegpersoneel (VSTP)
yang dipimpin Semaun, dan serikat buruh pabrik gula
yang merupakan gerakan terpenting pada masanya.
Kuli-Kuli Bangka keturunan Tionghoa di cucian bijih hancur pada 1890. |
Serikat buruh pabrik gula bahkan sempat mengadakan
gerakan protes bunuh diri, dan akhirnya mendapatkan meja runding dari
pemerintah.
Kesamaan Sarekat Islam yang peduli pada orang miskin
membuat mereka dapat bergandengan dengan kalangan proletar dan basis massa
komunis. Tetapi karena sifat komunis yang agresif, mengakibatkan sedikit
perpecahan dalam SI, antara SI Merah dan SI Putih.
Kondisi tenaga kerja kian buruk di tangan
pemerintahan kolonial menjelang dekade kedua abad XX. Akibatnya, 1919-1920
Hindia Belanda diwarnai dengan pemogokan di mana-mana, seperti pelabuhan,
hingga kehutanan.
Serikat-serikat buruh akhirnya masuk ke
perusahaan-perusahaan untuk mengorganisir buruh yang juga tertindas.
Peralatan yang digunakan ahli daktiloskopi untuk bekerja memeriksa sidik jari kuli-kuli perkebunan di pantai timur Sumatra. |
Seiring berjalannya waktu, perjuangan buruh makin
kuat ketika ideologi Marxisme mendorong mereka untuk mendirikan negara yan g
merdeka. Maka pada 1926-1927, para buruh dari PKI melakukan pemberontakan.
Tetapi pergolakan ini tak didukung oleh
serikat buruh yang
berafiliasi dengan SI. Pergolakan pun hanya terjadi di Jakarta, Banten, dan
Sumatera Barat.
Karena peristiwa ini partai komunis dicap
terlarang oleh pemerintah kolonial.
"Gerakan buruh mengalami
kemunduran drastis. Gerakan buruh terpecah-belah
dan disub-ordinasikan pada partai-partai politik," terang Sulistyo dalam
papernya.
Para buruh di Sumatra sedang berkumpul sekitar 1898-1903 |
Senada dengan Sulistyo, FX Domini BB Hera peneliti
Puslit Studi Budaya dan Laman Batas Universitas Brawijaya berpendapat,
peristiwa itu membuat buruh menjadi
sebuah kata yang buruk, dan terafiliasi dengan ideologi politik.
"Dulunya, makna buruh itu kata
yang netral. Pasca '26, buruh mendapat
stigmaisasi," katanya dalam webinar Diskusi Sejarah, Jejak Buruh dalam
Historiofrafi Indonesia (Masa Kolonial-Reformasi) yang diadakan
Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu (01/05/2021).
Memudarnya kekuatan PKI, gerakan buruh akhirnya
bernaung dalam PNI yang bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat sosialis dan
anti-kapitalisme.
Sulistyo menulis, perjuangan PNI mengalami
radikalisasi untuk menghendaki kemerdekaan, dan buruh pun tak
ditanggapi pemerintah kolonial.
Panil relief porselen di gedung HVA (kini PTPN XI) yang menggambarkan aktivitas mandor dan kuli-kuli perkebunan. |
Nasib buruh pun mendapat
pembelaan dari elit agama dan kelompok Marxis kolonial lewat Volksraad dan Tweede
Kamer. Lewat sini mereka mendapatkan haknya untuk penghapusan sistem
kontrak dan poenali sanksi pada 1932.
Mereka pun mendapat dukungan dari partai buruh di Belanda
seperti Sociaal Democratische Arbeiders Partij dan Sociaal-Democratische
Partij. Dukungan itu membuat buruh di negeri
koloni bisa berserikat kembali, dengan syarat tidak melawan pemerintah.
Sedangkan di masa Jepang tahun 1942
kata "buruh"
diganti dengan "pekerja", buktinya tersedia dalam catatan jenis
pekerjaan yang didata pemerintah Jepang.
"Kita tahu sendiri Jepang itu kan
militeristik, dan mereka masih feodal karena masih kekaisaran. Dan gerakan kiri
itu dianggap seperti ancaman di Jepang," ujarnya.
"Di negerinya sendiri [begitu], apalagi di Indonesia. Enggak ada
kata buruh,
adanya pekerja."
Awalnya, semua pekerjaan mendapatkan upah, termasuk
Barisan Pekerja atau yang lebih dikenal dengan Romusha. Tetapi akhirnya
terlantar akibat masalah yang dihadapi pemerintah Jepang.
"Ini [Romusha] menarik untuk diteliti, karena
jarang ditelit-- khususnya di Indonesia," jelas BB Hera agar ada
penelitian mendalam terkait Romusha.
Puisi Musikalisasi Jeritan Rakyat: