Jawa Barat Menjadi Sorotan Nasional
Jawa Barat
merupakan provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, yakni mencapai
lebih dari 50 juta jiwa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, provinsi ini
tidak terlalu menjadi perhatian publik nasional, kecuali dalam konteks pemilu
sebagai lumbung suara. Selama ini, pusat sorotan media dan publik masih
terpusat di Jakarta. Namun kini, berkat keaktifan KDM di media sosial, wajah
Jawa Barat berubah. Ia berhasil menarik perhatian publik dari seluruh penjuru
Indonesia untuk memperhatikan geliat daerah ini.
KDM
sebenarnya telah aktif di media sosial jauh sebelum menjadi gubernur. Saat
masih menjadi anggota DPR RI, ia rutin membagikan aktivitasnya. Setelah
terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat pada 2025, gerakannya semakin luas. Tak
hanya soal pembangunan fisik, tapi juga soal sentuhan emosional dan sosial
kepada masyarakat, yang menjadi ciri khas dalam kontennya.
Kegiatan Sosial yang Mengundang Respons
Dalam
berbagai kontennya, KDM terlihat memberi bantuan langsung kepada warga,
membangun fasilitas umum dengan dana pribadi, serta berdialog hangat dengan
warga desa. Respons publik terhadap ini sangat beragam. Ada yang mengapresiasi
sebagai bentuk pemimpin yang dekat dengan rakyat, namun tak sedikit pula yang
mengkritik sebagai bentuk pencitraan.
Namun, yang
menarik adalah bagaimana masyarakat, khususnya warga Jawa Barat, mulai
mempersonalisasikan sosok KDM. Istilah "bapak aing" yang berarti
"bapak saya" dalam bahasa Sunda menjadi simbol kedekatan dan rasa
kepemilikan rakyat terhadap pemimpinnya. Komentar-komentar positif membanjiri
akun media sosial KDM, bahkan banyak yang berasal dari luar Jawa Barat. Tak
sedikit yang berharap punya pemimpin seperti KDM di daerah mereka.
Antara Popularitas dan Substansi Demokrasi
Di era
digital ini, menjadi populer tampaknya menjadi keunggulan tersendiri. Namun,
ini juga menjadi tantangan bagi kualitas demokrasi. Banyak pemimpin daerah lain
yang juga bekerja keras, namun tidak mendapat sorotan karena kurang aktif
membangun personal branding di media sosial.
Sebagian
masyarakat menganggap pemimpin lain lebih memilih bekerja daripada membuat
konten. Di sisi lain, ada juga yang menilai KDM hanya bagus dalam pencitraan.
Kedua pandangan ini wajar dan menjadi bagian dari diskursus publik. Namun, yang
menjadi catatan penting adalah bagaimana masyarakat bisa tetap objektif dalam
menilai pemimpin.
Popularitas
memang penting dalam dunia politik, tetapi ia tidak boleh menutupi substansi.
Demokrasi yang sehat harus tetap menjunjung meritokrasi: memilih pemimpin
karena kapasitas dan integritas, bukan semata karena viralitas.
Membangun Demokrasi di Era Digital
Tulisan ini
tidak untuk meremehkan apa yang dilakukan KDM. Justru sebaliknya, fenomena ini
harus dijadikan cermin oleh pemimpin lain bahwa keterlibatan aktif di ruang
digital sangat penting. Masyarakat kini hidup dalam era di mana informasi
disebarkan dalam hitungan detik, dan persepsi dibentuk lewat visual.
Jika
pemimpin yang baik dan bekerja nyata tidak hadir di ruang digital, maka mereka
akan kalah oleh mereka yang lebih pandai membentuk persepsi. Inilah tantangan
demokrasi kita ke depan.
Bukan
berarti pemimpin harus berlomba-lomba menjadi selebritas politik. Tetapi,
komunikasi publik yang baik, jujur, dan terbuka akan semakin relevan. Ruang
digital bukan hanya untuk hiburan, tapi juga untuk edukasi dan komunikasi
politik yang sehat.
Harapan untuk Pemilu Mendatang
Menuju
Pemilu 2029, masyarakat perlu didorong untuk melihat lebih dari sekadar
popularitas. Kita butuh pemimpin yang mampu, tetapi juga mampu menyampaikan apa
yang ia kerjakan. Dalam konteks ini, keterampilan digital menjadi pelengkap
penting bagi kapasitas kepemimpinan.
Jika semua
pemimpin daerah aktif berkomunikasi dengan rakyat melalui media sosial, maka
masyarakat akan memiliki banyak pilihan dan referensi. Ini akan mengurangi
risiko lahirnya fanatisme tunggal kepada satu figur.
Kita tidak
ingin masyarakat membentuk kultus individu terhadap pemimpin tertentu, sehingga
kritik menjadi tabu. Dalam demokrasi, kritik adalah vitamin. Dan pemimpin yang
baik adalah yang siap dikritik, bukan yang dikelilingi oleh pengagum fanatik.
Penutup: KDM sebagai Pelajaran Bersama
Fenomena
KDM menunjukkan bahwa era digital telah mengubah cara kita melihat
kepemimpinan. Sosok pemimpin kini tidak hanya diukur dari kerja nyata, tetapi
juga dari kemampuannya menjalin koneksi dengan publik secara langsung.
Namun, agar
demokrasi kita tetap sehat, popularitas harus diimbangi dengan kompetensi.
Pemimpin lain perlu mencontoh bagaimana cara menyampaikan kerja melalui media
sosial, bukan untuk pencitraan kosong, tetapi untuk transparansi dan kedekatan.
Akhirnya,
semoga ke depan, Indonesia memiliki banyak pemimpin yang bukan hanya bekerja
baik, tetapi juga mampu hadir dan menyapa rakyatnya dengan cara yang relevan di
zaman ini.