Dalam setiap perkara
Kerap terselip kalimat asa sarat makna
“Biar waktu yang akan kembali menata”
Dan kitapun harus bersabar menanti sang kala
Di bawah gerimis Februari sambil menyantap ubi
cilembu, sekelebat terbaca status seorang teman di akun FB.
Begini: “Ucapan natural dari
seorang anak kecil yang orangtuanya dilarang jual makanan lewat dari jam 7
malam: memang corona keluarnya malam hari saja ya?” (permisi Sonny..,
statusmu kukutip persis sebagaimana tertera)
Setelahnya, pertengahan minggu lalu ada
kiriman link berita di WAG perihal kebijakan larangan ke luar
rumah di akhir pekan. Tetap dengan kaitan menekan penyebaran virus corona.
Sudah bukan sekadar pembatasan kegiatan atau larangan melakukan perjalanan luar
kota, tapi larangan keluar rumah. Pembatasan yang semakin terbatas.
Semoga tidak semakin sempit hingga dilarang keluar kamar.
Menyimak ragam berita larangan, aku pun berpikir
seperti anak kecil di status FB tadi, Apakah virus tahu keterangan waktu?
Keluar saat akhir pekan saja atau suka dugem keluar malam? Lantas dari siang
sampai sore, Senin ke Jumat semua baik-baik saja? Ahh.., maafkan, bukan
bermaksud sinis, tapi sungguh ingin tahu apakah virus memang paham soal
keterangan waktu. Sambil berpikir keras, mana paling efektif dalam
mengurangi penyebaran virus? Peraturan hingga ancaman denda atau kesadaran dan
kepatuhan ya?
Satu nasehat ayahku masih sering terngiang: “Jangan
pulang malam.” Tiap ada yang pulang malam, baik anak lelaki maupun perempuan,
terpaksa masuk mengendap, berharap ayah sudah lelap. Tapi apa yang terjadi?
Jedeerrrr.. Ayah menunggu persis berhadapan dengan posisi pintu terbuka
sambil asap rokok mengepul perlahan. Rautnya tenang, menatap tanpa ada
tanda-tanda ‘ledakan’ apalagi memukul.
Lihat Juga:
- Menag Yaqut Tetapkan Perayaan Semana Santa di Larantuka Ikon Katolik Indonesia
- Telaah Singkat Atas Alam Pikiran Orang Numbei
- Perantauan: Keringat Tubuh Vs Mengais Rejeki, Tanah Orang Vs Tanah Sendiri
- Sang Petualang Pencari Pengetahuan Yakni Manusia Berpikir
Rahang yang memang sudah terlihat keras dari
sananya, semakin terasa kaku di kelopak mata kami. Namun tidak terjadi apa-apa
selain sepotong kalimat: “Tak kan ada yang kau dapatkan di luar sana saat
matahari sudah tenggelam.” Bisa dipastikan, siapapun pulang malam dan terjebak
adegan ini akan sangat merasa bersalah, berjalan lesu ke kamar, lalu berusaha
keras memejamkan mata tapi gagal.
Andai tadi langsung disemprot amarah atau bahkan
dipukul sekalian, masalah akan selesai. Impas! Tapi itu tidak terjadi, malah
menyisakan rasa bersalah telah mengecewakan Ayah terbawa hingga larut. Membuat
kapok, tak ingin pandangan terluka Ayah berulang atau bakal terbawa
sampai kelak. Sepanjang usia aku tak pernah merasakan tangan beliau mampir di
tubuh dalam bentuk kekerasan. Bibir tebalnyapun bebas dari segala bentuk
ancaman. Cukup kalimat pemberitahuan tapi disampaikan tegas.
Masih ada wejangan lain dan tetap dijalankan hingga
kini bahkan menjadi ‘tradisi’ keluarga, Ayah selalu pesan jangan keluar
saat malam Natal, malam tahun baru, malam Paskah (intinya jangan keluar malam
juga). Sebab dalam setiap perayaan kerap kemeriahan mendatangkan euphoria berlebih,
bisa membuat kita kehilangan kewaspadaan lalu lepas kontrol. Sederhananya,
tidak ada yang salah dengan pesta atau perayaan, tetapi penguasaan diri
jadi masalahnya. Ayah lantang mengingatkan sambil sok dicampur bahasa
Inggris biar keren barangkali, tetapi tetap terdengar dialek Karo kental.
“Jangan LOST CONTROL, nak ku!” (nak ku:
khasnya orangtua suku Karo menyapa anak)
Kalimat ini sebegitu menancap abadi karena bisa
dipastikan akulah paling sering dapat peringatan selaku si bungsu yang kerap
sok paling berani dan ingin mencoba segala sesuatu. Jadi, kami sekeluarga
merayakan apapun cukup kumpul keluarga. Pernah juga di masa remaja terbersit
ingin merasakan sensasi pesta kembang api atau sehabis misa natal sedikit
kongkow malam bersama teman. Namun wajah keras ayah dengan tatap penuh kasih
langsung melintas.
Sesungguhnya bisa saja mendobrak sedikit ‘tradisi’
ini karena tak kan kudengar lagi suara lantang soal lost control. Kalaupun
berhasil kudobrak, juga mustahil Ayah muncul dalam mimpi buruk dengan
tubuh setengah melayang sambil melotot berwajah seram seperti dalam film
horor. Semasa hidup saja Ayah tidak menakutkan, apalagi sudah meninggal.
Kini di masa pandemi yang belum juga berlalu, aku
seperti merasakan Ayah hidup lagi dengan himbauannya: “Jangan keluar malam, di
rumah saja, jaga diri, jaga kesehatan, jaga jarak, jaga ini. jaga itu.. jaga….,
jaga…., !” Semua harus dijaga. Sebab saat berjaga-jaga, sesungguhnya kita
bukan lagi menjaga diri sendiri semata, tapi semua orang. Kesehatan sudah bukan
milik perseorangan. Mustahil mau sehat sendiri saja sebab seyogyanya
wabah tak mengenal keterangan waktu. Apalagi mengenal ayahku dengan segala
pesannya.
Kembali ke pertanyaan anak kecil kenapa warung
ibunya harus tutup jam 7 malam dan kenapa ada larangan keluar di akhir
pekan? Sederhananya menurutku, butuh kepatuhan dan kesadaran dari sekedar
ancaman ataupun kebijakan agar tidak Lost Control dalam tumpukan
kejenuhan, tekanan ekonomi dan kesimpang siuran informasi. Selain itu tentulah
butuh kejujuran berikut ketegasan dari sebuah kebijakan.
Begitukah Ayah…..? Tak ada jawaban!
Sebagaimana belum terjawab kapan pandemi berakhir tanpa sebuah kesadaran
dan kepatuhan diantara tumpukan kebijakan. Jangan sampai aku berdiam di rumah
sepanjang akhir pekan, lalu Senin hingga Jumat langsung menggeragas melepas
kejenuhan dengan keluar dari pagi hingga senja, kemudian mendekam lagi di rumah
kala senja tiba sebagaimana pesan ayahku, termasuk juga akhir pekan tiba
seturut kebijakan yang ada. Berharap virus mengerti akan keterangan
waktu.
Permisiiii .. ini bukan kesimpulan, sekadar
mempertanyakan
Seefektif apa kebijakan tanpa sajian pengertian
Larangan bahkan ancaman tinggal ucapan
Tertimbun tumpukan kejenuhan
Mana kala keterangan waktu bukan akar dari kegaduhan
Salam cinta!
Ita Sembiring, Pekerja Seni,
Artikel ini telah ditayangkan di https://www.hidupkatolik.com/2021/02/10/51703/tahukah-virus-keterangan-waktu.php