Bendera Pusaka Kyai Tunggul Wulung Kesultanan Yogyakarta (Repro: Kraton Jogja. The History and Cultural Heritage) |
Menurut sejarawan
Ravando Lie dalam program Dialog Sejarah “Riwayat Pandemi dari Masa ke Masa”
yang disiarkan di Youtube dan Facebook Historia.id, Kamis,
24 September 2020, sikap pemerintah kolonial yang menganggap enteng virus Flu
Spanyol menjadi penyebab angka kematian begitu tinggi di Hindia Belanda. Demi
mencegah korban semakin banyak, kalangan bumiputra dan Tionghoa melakukan upaya
pencegahan penyakit dengan segala cara yang mereka yakini sendiri. Meski dalam
prakteknya, seperti disebutkan Arie Rukmantara, dkk dalam Yang Terlupakan
Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda, tersiar kabar tidak masuk akal yang
juga ikut meresahkan.
Mayoritas penduduk
bumiputra juga memiliki pandangan serupa terkait pandemi Flu Spanyol. Mereka
meyakini bahwa penyakit itu disebabkan oleh hadirnya roh halus atau hantu dalam
tubuh mereka. “Langkah penanggulangan yang mereka lakukan otomatis pun
difokuskan untuk mengusir hantunya, bukan si influenza-nya,” tulis Ravando
dalam bukunya, Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia
masa Kolonial 1918-1919.
Salah satu cara yang
paling sering dilakukan masyarakat adalah pergi ke berbagai tempat
keramat sembari memanjatkan doa-doa meminta keselamatan. Terkadang mereka
juga menjalankan puasa, melakukan ritual-ritual tertentu yang syarat-syaratnya
disesuaikan dengan keyakinan sendiri, serta menyembelih hewan. Masyarakat
Mojowarno, Jombang, Jawa Timur misalnya, berbondong-bondong mendatangi makam
Kyai Abisai dan Kyai Emos untuk berziarah dan berdoa meminta keselamatan selama
pandemi Flu Spanyol. Saat berziarah mereka tidak lupa menyiapkan sapi atau
kerbau untuk dipotong sebagai persembahan.
Di Solo,
Kasunanan Surakarta melakukan inisiasi untuk penanggulangan pandemi. Itu
dilakukan setelah banyak dokter yang menolak memberi pertolongan. Para dokter
kekurangan personil, sementara tingkat penyebaran virus sudah semakin besar.
Menghadapi persoalan itu, pemerintahan Surakarta mengeluarkan intruksi untuk
menjalankan sebuah ritual yang diyakini dapat menjadi solusi menghadapi
gelombang Flu Spanyol di wilayah tersebut.
Lihat Juga:
Dewi Sri dan Hariti Dalam Masyarakat Jawa Kuno
Dalam ritual ala
Kasunanan Surakarta mula-mula dipersiapkan alat-alat pendukung ritual, seperti
bunga, kemenyan, dan kelapa muda yang diberi gula. Kemudian kemenyan dibakar,
sambil berdoa memohon keselamatan dari Sunan Lepen untuk seluruh sanak saudara
dan keluarga, terutama kesehatan diri pribadi. Setelah selesai, minum air
kelapa muda. Minuman inilah yang dipercaya sebagai obat karena memberikan efek
dingin kepada tubuh.
Namun alih-alih memberi
kesembuhan, ritual itu justru menambah jumlah orang yang terpapar virus Flu
Spanyol. Malah tidak sedikit orang yang terkena penyakit lain karena keliru
dalam melakukan persiapan ritual. Kondisi serupa juga terjadi kala Kraton Solo
melakukan ritual menggunakan pusaka tombak “Kyai Slamet”. Pusaka yang diyakini
sakti itu rupanya tidak memberikan perubahan berarti di Solo. Jumlah korban Flu
Spanyol tetap tinggi.
“Meskipun segala
ikhtiar yang tidak-tidak digunakan buat mengusir, toh sang penyakit tidak takut
malahan semakin mengamuk kalang kabut,” tulis harian Sin Po, 14 Desember
1918 sebagaimana dikutip Ravando.
Segala cara dicoba
masyarakat untuk menghadapi virus itu. Di Parakan, Jawa Tengah, warganya kerap
melakukan penyembelihan hewan seperti kambing atau sapi, yang kaki dan
kepalanya ditanam di jalan-jalan utama. Mereka meyakini cara tersebut dapat
menghalau masuknya virus ke tempat mereka. Meski nyatanya cara itu tidak
memberi hasil apa pun.
Sementara itu, warga
Bangkalan yang percaya bahwa turunnya hujan dapat menghilangkan virus dari
wilayahnya punya ritual tersendiri. Ritual dilakukan dengan berkumpul untuk
berdoa bersama-sama memohon turunnya hujan. Para pemuka agama dipercaya
memimpin ritual pemanggilan hujan tersebut. Menurut Ravando tidak dijelaskan
apakah cara warga Bangkalan berhasil atau tidak, tetapi dari data pemerintah
kolonial, angka mortalitas di sana tergolong rendah.
Kepercayaan terhadap
hujan sebagai penangkal virus juga diperlihatkan oleh warga Medan, Sumatra
Utara. Selama beberapa malam penduduk Medan berkumpul di Masjid Raya untuk
memanjatkan doa. Setelah itu mereka melakukan arak-arakan keliling kampung
sambil bersolawat, memohon untuk menghilangkan segala macam penyakit. Setelah
kira-kira seminggu melakukan arak-arakan, hujan lebat turun di sana. Mereka
memanjatkan syukur seraya berkata: “Habislah penyakit sekarang”.
Di Yogyakarta, pihak
kraton memutuskan menggelar ritual arak-arakan melawan Flu Spanyol pada
Desember 1918. Dalam ritual itu, berbagai benda pusaka kraton diarak
mengelilingi kota. Satu pusaka yang diperlakukan paling mewah kala itu adalah
Panji Kyai Tunggul Wulung. Menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan
Jawa, Bendera Kyai Tunggul Wulung merupakan salah satu pusaka Kraton Yogyakarta
yang dianggap paling suci. Bendara tersebut, kata Ricklefs, diaykini dibuat
dari kain yang digantung di seputar makam Nabi Muhammad SAW. Di ujungnya,
terdapat tombak pusaka bernama Kanjeng Kyai Slamet.
“Pusaka Kyai Tunggul
Wulung ini sudah digunakan sejak masa kekuasaan Sultan Agung (1613-1646) dan
diwariskan secara turun-temurun ke raja-raja setelahnya. Sedari dulu, Panji
Kyai Tunggul Wulung ini memang kerap digunakan dalam upacara atau ritual untuk
menolak bala penyakit,” kata Ravando.
Warga Yogyakarta
berbondong-bondong mengiringi perarakan pusaka tersebut. Dengan dipimpin
rombongan ulama, warga terus memberikan doa dan bersolawat tiada henti
sepanjang malam hingga pagi datang. Siang harinya pihak kraton melakukan
penyembelihan kerbau bule. Setelah acara ritual itu, pandemi Flu Spanyol mulai
mereda di Yogyakarta. Masyarakat meyakini kondisi itu disebabkan oleh pusaka
Kyai Tunggul Wulung yang menebar kesaktiannya.
Referensi Catatan
Histori:
https://historia.id/kultur/articles/cara-bumiputera-menghalau-flu-spanyol-vxgwA/page/3