Patung Cristo Rei di puncak Bukit Tanjung Fatukaman Kota Dili, Timor Leste |
Untuk mengantisipasi
rasa panas terik matahari sore itu, saya siapkan topi warna biru berbordilkan
tulisan dan gambar bendera Timor Leste. Juga air minum dalam botol minum
kesayangan yang berwarna pink. Saya kenakan sepatu olah raga yang warna
hitamnya sedikit pudar. Sapu tangan model handuk kecil warna biru muda juga
saya siapkan untuk mengusap keringat nantinya. Saya merasa sudah lengkap dan
sangat siap. Tinggal berangkat. Sebelum berangkat tak lupa saya menuliskan di
papan informasi biara, Br. Blasius: ”Donor” ke Cristo Rei. Dengan tujuan supaya
bruder sekomunitas tahu ke mana saya pergi. Bruder lain belum pulang dari
kerasulannya di sekolah (sekolah masuk pagi dan siang).
Setelah segalanya
beres, kini saatnya berangkat. Mengendarai sepeda gunung yang sudah usang, saya
ambil jalan pintas. Lewat jalan tengah sungai yang kering – di mana kebanyakan
sungai di Dili, dilewati air saat hujan datang saja. Tiga atau empat jam
berikutnya sudah bisa dilewati kendaraan lagi. Setelah menggayuh sepeda sekitar
20 menit melewati jalan sungai, tibalah di jalan beraspal di bibir pantai Kota
Dili. Saya berhenti sejenak, menenggak air minum sambil merasakan angin pantai
yang segar sore itu.
Jalan menuju puncak Bukit Tanjung Fatukaman |
Begitu tubuh terasa
segar kembali, mulailah saya kayuh pedal sepeda menelusuri jalan beraspal
tepian pantai Dili menuju Bukit Tanjung Fatukaman yang masih harus menempuh
jarak 5 km lagi – Fatukaman dalam Bahasa Tetun (Bahasa Ibu Negara Timor Leste)
artinya fatuk: batu dan aman: bapak. Di puncak bukit inilah patung Cristo Rei
berdiri. Meskipun masih harus menempuh jarak sejauh itu, tetapi terasa lebih
segar karena angin pantai yang berhembus menerpa tubuh. Ditambah lagi mata juga
dimanjakan suguhan pasir putih yang indah dan ombak kecil yang turut menambah
indahnya pantai sepanjang lima km itu.
Sesudah melewati
kelak-keloknya jalan, akhirnya sampailah saya di taman parkir yang cukup luas.
Kawasan parkir yang juga ditanami pohon-pohon yang sudah tumbuh rindang ini
sebenarnya sudah berada di area wisata religi. Di kawasan parkir ini juga
dibangun beberapa gasebo yang bisa dipakai untuk istirahat. Di area parkir yang
luas ini juga digunakan untuk berolah raga, ada yang jogging, skiping, dan yang
cuma berlari-lari melatih otot kaki menjadi kekar. Penting untuk diketahui
bahwa taman doa ini masuknya gratis. Demikian juga parkirnya. Karena itu,
kendaraan apapun yang parkir di sini menjadi tanggung jawab pribadi. Maka, demi
amannya, sepeda saya parkirkan dekat tiang lampu taman, kemudian saya rantai
dengan tiang dengan menggunakan rantai anjing dan gembok yang memang selalu ada
di sepeda.
Lihat Juga:
Hidup adalah Memilih dan Dipilih (Hidup adalah Pilihan)
Sajak Akar Rumput (Rumput Mengajarkan Kita Filosofi Kehidupan)
Ujung Sana Kampung Numbei Terisolasi, Kabupaten Malaka
Memuncak sambil “Donor”
Untuk sampai puncak,
jalan yang harus dilalui adalah jalan menanjak. Sebab patung Cristo Rei berdiri
kokoh di puncak bukit Tanjung Fatukaman dengan ketinggian 90 meter dpl. Namun,
jangan kawatir, jalan untuk sampai puncak sudah tersedia dengan sangat apik
dalam bentuk anak tangga. Meskipun demikian saya harus menyiapkan tenaga untuk
menaiki anak tangga yang jumlahnya 692 buah dengan setiap beberapa anak tangga
ada anak tangga yang pelatarannya lebih luas. Dimaksudkan untuk istirahat
sejenak. Dan, di samping kanan jalan anak tangga ini dibuat relief Jalan Salib
berjumlah 14 perhentian. Sepanjang jalan tangga ini sangat rindang oleh
pepohonan.
Anak tangga menuju puncak Bukit Tanjung Fatukaman |
Tibalah saya pada
perhentian pertama Jalan Salib Tuhan. Saya keluarkan HP dari saku celana. Saya
buka sebuah aplikasi untuk membuka rumusan doa Jalan Salib. Saya mulai doa
Jalan Salib. Anak tangga demi anak tangga saya lalui dalam suasana Doa Jalan
Salib Tuhan dan akhirnya sampai juga perhentian ke-14. Dan, selesai sudah Jalan
Salibnya.
Sore itu saya dapat
menikmati dan merasakan bagaimana rasanya Jalan Salib ini yang tentunya masih
lebih ringan bila dibandingkan dengan Jalan Salib Tuhan. Yesus menaiki Bukit
Golgota dengan memanggul Salib di siang bolong. Masih di dera lagi. Sementara
saya hanya jalan kaki tanpa memikul kayu salib dan matahari sudah tidak terik
lagi sinarnya. Selain itu juga terhalang oleh rimbunnya daun pepohonan.
Salah satu Perhentian Jalan Salib, menggunakan dua bahasa, salah satunya bahasa Indonesia. |
Empat belasperhentian sudah terselesaikan. Namun, ini masih setengahnya untuk sampai puncak. Saya tenggak bekal air minum untuk mengurangi dahaga dan mengantisipasi dehidrasi. Kemudian lanjut lagi melangkahkan kaki menampaki anak tangga demi anak tangga sambil sekali waktu berhenti. Hingga tak terasa sampailah saya pada pelataran utama yang luas biasa digunakan untuk Ekaristi. Istirahat lagi sambil menikmati udara segar. Menyegarkan mata dengan melihat keberadaan keindahan parkiran, Kota Dili, juga pantai Dolok Oan.
Pesona Laut Dili |
Waktu di aloroji sudah
menunjukan pukul 17.40. Saya melanjutkan pemuncakan dengan menapaki anak tangga
yang lebih menukik dan sempit. Hanya bisa untuk jalan satu orang dari bawah dan
satu orang dari atas. Namun tetap ada beberapa tempat yang dibuat pelataran
agak luas untuk beristirahat sejenak. Tepat pukul 18.00 sampailah saya di
puncak Bukit Tanjung Fatukaman di mana Cristo Rei menapak bumi dengan megahnya.
Dengan posisi menghadap Kota Dili. Tangan-Nya membentang seolah memberkati Kota
Dili.
Pelataran cukup luas
untuk perayaan Ekaristi.Selanjutnya, saya langsung mencari posisi di bagian
depan bawah patung Cristo Rei menghadap. Di bawah patung yang tingginya 27
meter ini saya duduk dan “curhat”.
Pelataran cukup luas untuk perayaan Ekaristi. |
Inilah curhatan saya
pada Sang Cristo Rei yang merentangkan tangan-Nya memeluk saya, sahabat-Nya dan
orang yang penuh dosa ini:
“Sahabatku ya, Sahabatku….
Aku datang kepada-Mu…
Datang untuk mematrikan cintaku, cinta yang tidak sempurna…
Cinta yang sering terkoyak dosa….
Aku datang untuk menjadikan jiwa raga jadi kekasih-Mu yang tak berkesudahan…
Menjadikan hatiku tempat tahta-Mu…
Sahabat dari segala sahabat….
Buatlah hidupku selalu dan selalu mengalirkan rahmat-Mu…
Supaya semesta dan sesamaku makin mengenal-Mu…
Dan mengalami kasih-Mu..
Kristus Raja, sahabatku…
Rajailah setiap hati dengan hati-Mu…
Supaya dunia baru terjadi…
Dunia baru yang penuhi lautan kasih-Mu..
Terima kasih Sahbatku… Amin.
Cahaya kuning matahari
membelah laut Pantai Dili
Selesai saya bercurhat
dengan Sang Cristo Rei, saya bangkit dan membalikkan badan. Puji Tuhan matahari
masih belum “tertelan” laut. Saya cari tempat keluar pagar pembatas lokasi
patung menuju gundukan tanah yang menjorok ke laut.
(Anda boleh percaya
boleh tidak, matahari benar-benar tidak kelihatan setelah jam 18.25). Syukur
pada Tuhan, cuaca baik memihak saya, sehingga sinar matahari yang membias ke
lautan menguning indah. Entah berapa kali ponselku ini cekrak-cekrek mengabadikan
keindahan sore itu.