Meski dihadapi tiga pangeran, gerak laju pasukan Trunajaya tak bisa dibendung. Kejatuhan kerajaan pun berada di ambang mata.
Menurut Dennys Lombard
dalam Nusa Jawa Silang Budaya jilid 2, salah satu tujuan Trunajaya
melakukan penyerangan ke Mataram itu adalah membalaskan dendam atas penghinaan
yang pernah diterima keluarganya dari penguasa Mataram. Di samping juga
keinginan untuk memperluas kekuasaan Madura ke daratan utama Jawa.
Upaya pendudukan
Mataram dilakukan Trunajaya pada 1677. Kala itu pasukan pangeran Madura
tersebut berusaha merangsak masuk ke Istana Plered, tempat Sultan Amangkurat I
berada, tetapi mendapat hadangan dari barisan penjaga istana. Di bawah pimpinan
tiga pangeran Mataram -Pangeran Adipati Anom, Pangeran Puger, dan Pangeran
Singasari- bala tentara Mataram berjuang mati-matian mempertahankan benteng
terakhir penguasa Mataram tersebut. Bentrokan pun tidak dapat dihindarkan.
Usaha penghadangan
pasukan Trunajaya telah dilakukan ketiga pangeran jauh sebelum para pemberontak
mendekat ke wilayah ibukota. Diceritkan sejarawan H.J. De Graaf dalam Runtuhnya
Istana Mataram, pertempuran pertama kedua kubu terjadi di daerah Pingit,
Temanggung, Jawa Tengah. Sepasukan besar Mataram di bawah komando para pangeran
memukul mundur bala tentara Trunajaya, pimpinan Adipati Wiramenggala dan Aria
Wangsenggati, berkekuatan 50.000 orang.
Namun tidak lama,
keadaan menjadi berbalik. Pasukan Mataram mulai terdesak oleh gelombang
serangan dari Wangsenggati. Mereka dipaksa mundur hingga Desa Pandan. Wilayah
Pingit pun harus direlakan. Menurut de Graaf, dalam upaya penyerangan tersebut,
Amangkurat I yang telah lanjut usia turut serta memimpin pasukannya sendiri.
Dia berada di barisan belakang, memberi arahan kepada putra-putranya.
Lihat Juga:
Mengenal Sosok Sanusi Pane, Sang Pelopor Lahirnya Bahasa Indonesia
Mengunjung Kembali Masa Kecil di Kampung Numbei, Kabupaten Malaka
Potret Kejayaan Becak Tahun 1953
Sosok Dibalik Gambar Ikonik Biskuit Khong Guan
“Sejam kemudian terpaksa mereka mundur, tetapi dibiarkan saja. Setelah itu, Raja kembali pulang, dan menyerahkan pimpinan tentaranya kepada ketiga putranya,” tulis de Graaf.
Pasukan Trunajaya lalu
bergerak ke daerah Kedu. Mereka memilih jalan memutar menuju Mataram guna
menambah kekuatan di kubu pemberontak. Dari Kedu Wangsenggati dan pasukannya
maju ke Bantul. Di sana, mereka sudah disambut oleh Pangeran Puger. Membawa
tentara berkekuatan 10.000 orang, Pangeran Puger memberikan perlawanan yang
gagah selama sehari penuh. Meski pada akhirnya terpaksa menyerah juga.
Setelah melalui
pertempuran lain di daerah Trayem, dengan lagi-lagi membawa kemenangan, pasukan
Madura akhirnya tiba di ambang ibu kota Mataram. Namun terpaksa mundur karena
mendapat hadangan dari pasukan Adipati Anom dan Puger. Wangsenggati dan Wiramenggala
memutuskan menghentikan sejenak perlawanan agar bisa bergabung dengan bala
tentara Trunajaya lain, pimpinan Panglima Madura Mangkuyuda, di Tegalwana.
Setelah bergabung,
pasukan Madura kembali maju ke Mataram. Di tengah jalan, ketiga pangeran telah
menunggu untuk melakukan serangan besar. Selama kira-kira lima belas hari
bertempur, angin kemenangan mengarah ke kubu Mataram. Mereka hanya
kehilangan 10 orang saja, sementara korban tewas di pihak Trunajaya cukup
besar.
Kemudian masalah mulai
timbul di kubu Mataram. Ketiga pangeran terlibat perselisihan yang berujung
pada perpecahan di antara mereka. Pangeran Adipati Anom ditinggalkan oleh kedua
saudaranya, Pangeran Puger dan Pangeran Singasari. Perpecahan itu
membuat Adipati Anom harus berjuang sendiri menghalau serangan pasukan
Trunajaya. Setelah terdesak hingga ibu kota, Adipati Anom memilih melarikan
diri bersama keluarganya.
Dengan tidak adanya
sang putra mahkota, Amangkurat I yang masih bertahan di istana menyerahkan
pimpinan pasukan kepada Pangeran Puger. Raja lalu pergi meninggalkan istana
setelah situasi semakin memburuk. Praktis, kepemimpinan Istana Plered sepenuhnya
berada di bawah kendali Pangeran Puger. Namun kemampuan memimpin adik Adipati
Anom itu tidak cukup baik, sehingga kendati memiliki cukup persenjataan dan
pasukan, Mataram tidak mampu mempertahankan kelangsungan pemerintahannya.
“Kronik-kronik Jawa menyebutkan
bahwa ketika musuh semakin mendekat, prajurit-prajurit Raja berkerumun di depan
istana, tetapi Raja mengatakan supaya mereka tidak menentang kehendak Tuhan:
hari terakhir abad itu telah tiba dan bersamaan dengan itulah saat runtuhnya
Mataram,” ungkap M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Tradisi Jawa juga,
imbuh Ricklefs, telah lama meramalkan kepada penguasa Mataram Kuno bahwa
kerajaannya akan jatuh pada zaman cicit laki-lakinya, yaitu Amangkurat I.
Ramalan itu kiranya benar adanya. Istana Plered Mataram yang
sudah berusia ratusan tahun itu jatuh ke tangan Trunajaya pada Juni
1677.