Suasana pasar di Kesultanan Banten. (columbia.edu). |
Wabah penyakit menular yang membunuh sepertiga penduduk Banten dan dua pertiga penduduk Jawa Tengah.
Sejarah telah mencatat,
Indonesia tidak kebal terhadap wabah penyakit menular. Sebut saja flu Spanyol
tahun 1918 telah membunuh 1,5 juta penduduk Indonesia. Jauh sebelumnya, pada
abad ke-17, wabah penyakit menular juga melanda Jawa yang mengakibatkan kematian
dalam jumlah besar.
H.J. de Graaf, ahli
Jawa kuno, dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan
Agung, menyebut setelah Surabaya menyerah, tampak kemunduran dalam
kegiatan militer Susuhunan (Sultan Agung). Kecuali disebabkan oleh perluasan
keraton dan keletihan oleh kerja keras selama tahun-tahun sebelumnya,
kemunduran ini juga akibat penyakit menular. Dalam laporan ke Negeri Belanda
tanggal 27 Oktober 1625 telah diberitakan bahwa rakyat mengalami cobaan berupa
“kematian, peperangan, kelesuan, bahan makanan yang mahal, dan pajak yang berat
di seluruh tanah Jawa”.
Laporan itu menyebutkan
penyakit menular itu mengakibatkan sepertiga penduduk di Banten meninggal dunia
dalam lima bulan. Di Batavia ada beberapa anggota Kristen meninggal dunia
karena penyakit ini. Di Cirebon dalam musim kemarau lebih dari 2.000 orang
meninggal dunia. Di Kendal, Tegal, Jepara, dan semua tempat pantai sampai
Surabaya, demikian pula di beberapa daerah pedalaman, orang yang meninggal
dunia tidak dapat dihitung.
De Graaf mencatat bahwa
penyakit masih merajalela pada tahun 1626. Di banyak tempat dua pertiga dari
penduduk tewas disebabkan penyakit yang luar biasa ini. Kematian juga karena
kerja paksa sehingga pertanian mengalami kemunduran besar, sawah-sawah yang
subur menjadi gersang. Pada 1627, banyak penduduk meninggal dunia karena wabah
penyakit dan perang saudara. Beberapa tempat perdagangan di pantai laut
ditinggalkan, pertanian sangat mundur, dan yang selamat dari wabah penyakit
menjalani hidup dalam kemiskinan.
“Jadi, dapat disimpulkan bahwa tanah Jawa dari
tahun 1625 sampai 1627 ditimpa oleh penyakit berat dan menular yang merongrong
kesejahteraan dan kekuatan rakyat,” tulis De Graaf.
Lihat Juga:
Cara Bumiputera Menghalau Flu Spanyol
Dewi Sri dan Hariti Dalam Masyarakat Jawa Kuno
Wabah penyakit apakah
itu?
De Graaf mengatakan
bahwa “kebanyakan [meninggal dunia] disebabkan oleh penyakit paru-paru yang membuat
orang demikian sesak napas, sehingga dalam satu jam saja dapat meninggal.”
Sejarawan Anthony Reid
dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah
Angin, menyebut “wabah radang paru-paru merupakan penyebab menular yang menakutkan
di Jawa pada tahun 1625-1626. Penyakit dada yang mematikan dalam satu jam
telah membunuh 1/3 penduduk Banten dan 2/3 di beberapa daerah di Jawa
Tengah.”
Sementara itu,
sejarawan Claude Guillot menyebut dengan jelas penyakit itu adalah pes.
“Menurunnya jumlah penduduk [Banten] diperparah lagi dengan adanya wabah hebat
penyakit pes tahun 1625 yang merenggut nyawa sepertiga jumlah penduduknya,”
tulis Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII.
Jumlah penduduk
Kesultanan Banten antara 80.000 sampai 100.000 orang di pengujung abad ke-16,
dan meningkat selama satu dasawarsa berikutnya sampai tahun 1609. Mulai tahun
itu, jumlahnya mulai berkurang seiring pergantian pemerintahan yang mengekang
kekuasaan para saudagar. Penurunan jumlah penduduk paling parah disebabkan oleh
wabah pes. Sekitar tahun 1630, jumlah penduduknya menyusut drastis, kemungkinan
besar tak lebih dari 50.000 orang.
Menurut sejarawan Yuval
Noah Harari dalam Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia, wabah paling
terkenal yang dinamai Maut Hitam (Black Death) itu meletup pada dekade 1330, di
suatu tempat di Asia timur atau tengah, ketika bakteri Yersinia pestis mulai
menginfeksi manusia yang digigit kutu.
Dari sana, dengan
menumpang armada tikus dan kutu, wabah dengan cepat menyebar ke seluruh Asia,
Eropa, Afrika Utara, dan hanya dalam waktu kurang dari dua tahun mencapai
pesisir-pesisir Samudra Atlantik. Antara 75 juta sampai 200 juta orang mati
–lebih dari seperempat populasi Eurasia.
Wabah pes di Jawa
terjadi pada Pandemik Kedua. Pada tahun yang sama (1625) wabah menghancurkan
London, Inggris, dan Amsterdam, Belanda; masing-masing kehilangan penduduk
antara 10% sampai 30%. Dari sana, mungkin saja para pedagang membawa wabah itu
masuk ke Banten, mengingat saat itu wilayah paling barat Pulau Jawa itu menjadi
tempat perdagangan internasional, di mana beberapa negara asing memiliki kantor
dagang (loji).
Hal itu sebagaimana
dinyatakan oleh Yuval bahwa kota-kota sibuk yang dihubungkan oleh arus tiada
putus pedagang, pejabat, dan peziarah menjadi alas tumpuan peradaban manusia
sekaligus menjadi lahan tumbuh ideal patogen (parasit yang mampu menimbulkan
penyakit, red.).
“Setelah kelaparan,”
Yuval menyimpulkan, “musuh besar kedua kemanusiaan adalah wabah dan penyakit
menular.”
***
Referensi Catatan Histori:
https://historia.id/kuno/articles/wabah-penyakit-mematikan-di-banten-dan-jawa-tengah-PzdYE/page/1