Perdagangan pribadi atau perdagangan gelap merupakan
salah satu bentuk korupsi pejabat VOC. Korupsi sebagai penyebab keruntuhan
membuat VOC diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie (Runtuh
Lantaran Korupsi).
“VOC bangkrut
karena perdagangan gelap. Gubernur VOC mestinya berdagang untuk disetor ke VOC
di Belanda, tapi dia berdagang untuk kepentingan pribadi. Oleh karena itu,
semua gubernur VOC di sini kaya kaya,” kata Mona Lohanda, sejarawan dan
arsiparis Arsip Nasional Republik Indonesia, kepada Historia.id.
Menurut sejarawan Ong Hok Ham, perdagangan pribadi
atau perdagangan gelap disebut morshandel (perdagangan kecil).
“Sebenarnya tidak kecil karena mereka memakai berbagai fasilitas VOC, seperti
kapal, gudang, modal, koneksi, dan lainnya,” tulis Ong dalam Dari Soal
Priayi Sampai Nyi Blorong.
Seiring meluasnya wilayah kekuasaan VOC, praktik
korupsi kian merajalela, mulai dari menyunat uang kas dan anggaran VOC sampai
memeras penduduk.
Selain morshandel, menurut Parakitri T.
Simbolon dalam Menjadi Indonesia, praktik korupsi berupa memotong
keuntungan yang menjadi hak VOC (stille winsten), memaksa rakyat menyerahkan
hasil bumi lebih daripada ketentuan (overwichten), sengaja mengajukan target
setoran di bawah potensi (spillagie), memaksa penduduk menyerahkan upeti (contributien),
dan menerima hadiah dari para penjilat (hommagien).
Misalnya, gubernur Pantai Utara Timur Jawa harus
memenuhi target setoran 125 pikul beras buat VOC, tetapi menggelembungkannya
menjadi 180-240 pikul. Selisihnya masuk ke dapur sendiri. Sementara itu,
seorang direktur (opperhoofd) VOC di Cirebon yang bergaji 60 gulden per bulan,
diwajibkan mencari pemasukan untuk kas VOC sebesar 12.000 ringgit per
tahun (1 ringgit senilai 2,5 gulden), digelembungkannya menjadi 30.000 ringgit.
Dari 17 ribu pikul kopi yang disetor ke VOC senilai 117.000 ringgit, dia menilep
64.000 ringgit. Target setoran itu secara langsung dibebankan ke rakyat.
VOC juga mewajibkan gubernur jenderal setor
pemasukan 150.000 ringgit per tahun, residen di Solo 80.000 ringgit, dan
residen di Yogyakarta 70.000 ringgit. “Entah berapa yang mereka ambil
untuk diri sendiri,” tulis Parakitri.
Dengan korupsi, tulis C.R. Boxer dalam Jan
Kompeni, sebagian besar gubernur jenderal berhenti dari jabatannya sebagai
orang kaya, beberapa di antaranya jadi jutawan. “Modalnya pasti tidak
diperolehnya dari menabung atau berhemat dengan gaji resminya sekitar 600-700
gulden per bulan,” tulis Boxer.
Ambil contoh gubernur jenderal Johan van Hoorn
(1704–1709) menumpuk harta 10 juta gulden ketika kembali ke Belanda pada 1709,
padahal gajinya hanya 700 gulden sebulan. Gubernur VOC di Maluku menumpuk
20.000-30.000 gulden dalam 4-5 tahun, sementara gajinya hanya sekitar 150
gulden sebulan.
Gaji pegawai VOC yang rendah dituding sebagai
penyebab korupsi. Seorang juru tulis bergaji bulanan 16-24 gulden dan gubernur
jenderal bergaji 600-700 gulden. “Keduanya menghadapi macam-macam godaan, tapi
jelas yang tersebut akhir memiliki kesempatan yang lebih baik,” tulis Boxer.
Menurut Ong, latar belakang para pejabat VOC juga
menjadi penyebab korupsi. Mereka memiliki motivasi petualangan dan keuntungan.
Banyak di antara mereka berasal dari kalangan bangsawan yang “miskin” karena
tidak berhak atas warisan. Berdasarkan undang-undang kebangsawanan Eropa hanya
anak tertua yang sah yang berhak atas seluruh warisan orangtuanya. Mereka
terbiasa hidup mewah, namun kemudian tak lagi memiliki sumber kekayaan untuk
mendukung gaya hidupnya.
“Jabatan di VOC, dengan demikian, harus menjadikan
mereka kaya raya agar bisa hidup mewah. Tetapi, sebaliknya gaji pegawai VOC
rendah sekali sehingga korupsi menjadi kebiasaan pejabat VOC,” tulis Ong.
Perilaku pejabat VOC dari kalangan bangsawan itu ditiru oleh pejabat lain yang
bukan dari kalangan bangsawan.
Pemimpin VOC di Belanda insyaf bahwa gaji yang
mereka bayarkan alakadarnya dan sadar bahwa para pejabat dapat menyedot
keuntungan yang besar dari jabatan mereka. Oleh karena itu, pemimpin VOC di
Belanda maupun di koloni menjual jabatan. “Demikian besar kemungkinan melakukan
korupsi tanpa pernah dihukum sehingga untuk menjadi karyawan VOC orang rela
menyogok,” tulis Parakitri.
Pernah terungkap, pengurus VOC di Belanda memasang
tarif sogok selama 1719–1723 sebesar 3.500 gulden bagi yang ingin menjadi onderkoopman (pejabat
rendah VOC) yang bergaji 40 gulden per bulan; 2.000 gulden untuk menjadi
kapiten; dan 120 gulden untuk menjadi kopral. Bandingkan dengan kenyataan
dari 19.000 karyawan pada 1720 cuma 30 orang yang bergaji 1.200 gulden setahun.
Lihat Juga:
Operasi Perawat, Misi Gerilyawan Surabaya Yang Terlupakan
Horor Takokak 1948: Sejarah Yang Terlupakan
Demi jabatan sebagai gubernur VOC di Pantai Utara
Jawa, seorang bangsawan Diderik “Dirk” van Hogendorp membayar sekian ribu
gulden kepada penguasa VOC di Belanda, gubernur jenderal di Batavia, dan
gubernur di Semarang. Ayahnya, pejabat tinggi VOC terkenal sangat korup, tewas
tenggelam bersama kapal VOC beserta barang dagangan pribadinya.
“Dengan sendirinya Dirk Hogendorp menganggap
jabatannya yang tinggi sebagai barang dagangan,” tulis Ong. Dirk kembali ke
Belanda sebagai orang kaya raya dan mengunjungi kakak tertuanya dengan kereta
kencana disertai para pengawal. Dia pun dapat menyunting seorang putri dari
salah satu kerajaan kecil di Jerman.
Anehnya, Dirk malah menjadi peniup pluit (whistleblower).
Menurut Ong, struktur korupsi pejabat VOC pada akhir abad ke-18 dapat kita
diketahui dari surat-surat Dirk kepada saudara laki-lakinya, Gijs Bert Karel,
yang mengungkapkan perilaku para pejabat VOC di Hindia Belanda.
Lihat Juga:
Anak Muda Mileneal diharapkan Paham Sejarah G30S/PKI
7 Pahlawan Dibalik Kemerdekaan Indonesia Yang Sering Dilupakan
Potret Kejayaan Becak Tempoe Doeloe
Penindakan
Pada 25 April 1722, Gubernur Jenderal Hendrik
Zwaardekroon (1718–1725), memerintahkan eksekusi mati 24 pejabat rendah VOC
yang semuanya Indo-Eropa atau pribumi karena menyelundupkan rempah-rempah.
Namun, hukuman untuk pelaku korupsi tajam ke bawah.
“Pelanggar-pelanggar yang tinggi kedudukannya kena hukuman jauh lebih ringan,”
tulis Boxer.
Menurut Sri Margana, sejarawan Universitas Gadjah
Mada, tindakan terhadap pelaku korupsi berkedudukan tinggi hanya dua: memecat
atau memutasikannya ke tempat lain. “Seperti yang terjadi pada Hendrik Breton
(direktur jenderal perdagangan VOC, red.) yang dimutasikan sebagai
gubernur ke Maluku,” kata Margana.
Contoh lain, Gubernur Jenderal Diderik Durven
(1729–1732) bersama direktur jenderal dan dua anggota dewan senior hanya dibebastugaskan
karena terbukti memeras orang Tionghoa. “Ini menimbulkan sensasi hebat, paling
tidak untuk sementara. Tetapi sama sekali mereka tidak dikenakan hukuman mati,
dan saya tidak tahu apakah mereka dipaksa mengembalikan barang-barang yang
diperolehnya secara gelap,” tulis Boxer.
Ternyata Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier
(1737–1741) melakukan hal yang sama selama “minggu berdarah” atau pembantaian
Tionghoa pada 1740. Ketika dia ditentang oleh tiga anggota Raad van Indie
(Dewan Hindia) di bawah pimpinan Gustaaf Willem Baron van Imhoff, justru
keempat orang itu dipulangkan ke Belanda. Van Imhoff berhasil membela diri di
hadapan Heeren Zeventien (Tujuhbelas Tuan) dan kemudian diangkat
menjadi gubernur jenderal (1743–1750).
“Dia diperintahkan untuk mencegah korupsi. Kapal
yang membawanya kembali ke Batavia sampai dibaptis sebagai De Hersteller (Pemulih),
sekadar untuk menegaskan tekad itu,” tulis Parakitri. “Ternyata dia pun cuma
bisa melegalisir sebagian korupsi agar bisa memberantas sisanya.”
Ekspedisi
Militer
Margana mengatakan bahwa korupsi terjadi dalam
bentuk penyalahgunaan wewenang. Banyak para pejabat VOC di daerah memanfaatkan
kekurangan kapal-kapal untuk operasional dagang dengan menggunakan kapal-kapal
pribadinya. Demikian juga terjadi mark-up biaya-biaya ekspedisi, baik
untuk patroli bajak laut, perang maupun kegiatan operasional dagang. “Tetapi
nilainya tidak sebesar biaya-biaya ekspedisi militer dan perang,” ujar Margana.
VOC berurusan dengan politik kerajaan-kerajaan di
Nusantara. Sehingga mereka terlibat dalam berbagai peperangan, baik di Jawa,
Sulawesi, maupun Maluku. Puluhan perang ini telah menguras habis kas
perusahaan. “Biaya perang dan ekspedisi militer ke berbagai wilayah ini sangat
besar, bahkan lebih besar dari pemasukan VOC sebagai organisasi dagang,” kata
Margana.
Menurut Mona, ditambah lima kali perang dengan
Inggris. “Sebelum tahun 1790, sudah tidak ada lagi kapal ke Belanda karena
sudah bangkrut dan Inggris sudah memblokadenya,” ujar Mona.
Kendati keberanian dan kemampuan para perwira
angkatan laut VOC tidak diragukan, tetapi masalahnya pada anak buah yang tidak
berpengalaman. Sosiolog Belanda, J.C. van Leur, meyakini bahwa korupsi bukanlah
faktor utama kemerosotan VOC, karena korupsi di Kongsi Dagang Inggris (EIC)
juga sama hebatnya.
“Kelemahan angkatan laut merupakan faktor utama
dalam kejatuhan VOC, walaupun dia (Van Leur, red.) melangkah terlalu jauh
dengan menyatakan bahwa inilah sesungguhnya yang merupakan satu-satunya sebab keruntuhannya,”
tulis Boxer.
Sejak 1744, kelemahan tersebut telah diakui oleh van
Imhoff: “Bagaimana keadaan kita yang sebenarnya, saya takut mengatakannya,
karena memalukan… apapun tidak ada, kapal-kapal yang baik, anak buah, perwira
yang baik, dan demikianlah salah satu cabang yang paling pokok dari kekuasaan
Belanda dipertaruhkan.”
Ekspedisi militer telah menguras keuangan VOC
sehingga terlilit utang yang sangat besar. Sementara itu, kata Mona, “akumulasi
kapital hanya terjadi pada elite-elitenya di delapan kamar dagang. Ketika
bangkrut, VOC tidak dapat membayar dividen.”
Pada 6 Februari 1781, pemerintah Belanda menyuntikan
pinjaman lewat penerbitan obligasi sebesar 55 juta gulden. Pada 1875, beban
utang VOC melonjak menjadi 137 juta gulden. Ada pihak yang menuntut pembubaran
VOC, tetapi belum bisa membayangkan pengadaan barang dari Nusantara tanpa
perusahaan ini.
Raja Belanda Willem V memandang tidak masuk akal
lagi mempertahankan VOC sebagaimana dikehendaki oleh beberapa pihak di Belanda.
Berdasarkan Pasal 249 UUD Republik Bataaf (Belanda) 17 Maret 1799, dibentuklah
Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia untuk mengambil alih semua tanggung
jawab atas milik dan utang VOC. Pengambilalihan resmi diumumkan di Batavia pada
8 Agustus 1799. VOC resmi dinyatakan bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember
1799.
Menurut Margana, seluruh utang dan aset VOC di
seberang lautan termasuk di Indonesia diambil alih oleh pemerintah Belanda.
Aset-aset VOC di Indonesia yang terbesar adalah teritorial dan
bangunan-bangunan yang berada di atasnya. Untuk mengelolanya, pemerintah
Belanda menjadikan bekas teritori VOC ini sebagai wilayah koloni yang disebut
Hindia Belanda. Sejak itu, tahun 1800, didirikanlah pemerintah kolonial Hindia
Belanda.
***
Referensi Catatan Histori:
https://historia.id/ekonomi/articles/voc-bubar-karena-korupsi-PRx71/page/1