Ratusan ton opium diperdagangkan secara ilegal oleh pemerintah lewat tentara dan laskar. Ditujukan untuk membeli senjata dan memfasilitasi upaya melawan Belanda.
Persenjataan TNI dan ladang candu di era revolusi (Arsip Nasional Belanda) |
Setapak rai numbei - - PERJALANAN kereta api Surakarta-Yogyakarta itu berlangsung lancar. Tak ada gangguan berarti sepanjang rute kecuali para pengungsi yang kadang nekat menyetop kereta api di tengah jalan. Sebelum masuk kota Yogyakarta, tetiba kereta api berhenti di Stasiun Lempuyangan. Letnan Satu Anom (bukan nama sebenarnya) dari Brigade III Kiansantang Divisi Siliwangi lantas turun dan memerintahkan anak buahnya membongkar muatan berupa peti-peti besar.
Di dalam stasiun,
penjagaan begitu ketat dilakukan oleh pasukan penjemput yang berjumlah satu
kompi (sekira 100 orang). Setelah berbicara sebentar dengan Anom dan
memperlihatkan surat perintah, tanpa banyak cakap lagi, seorang kapten menyuruh
sebagian anak buahnya membawa peti-peti itu ke atas truk yang sudah siap sedia
di halaman stasiun. Sebagian lagi nampak masih mempertahankan posisi siaga.
Hingga beberapa waktu,
Anom dan anak buahnya sama sekali tak mengetahui isi dari peti-peti besar
tersebut. Mereka baru dikasih tahu saat seorang komandan batalyon menjelaskan
bahwa isi peti-peti yang mereka kawal itu adalah madat alias candu.
“Katanya untuk dibawa
ke luar negeri lalu uangnya dibelikan senjata…” ungkap Anom saat saya
wawancarai pada 2015.
Perniagaan candu untuk
kepentingan revolusi Indonesia memang suatu keniscayaan. Menurut Robert B.
Cribb dalam tulisannya berjudul “Opium and the Indonesian
Revolution”, saat menghadapi milter Belanda, para pejuang republik sangat
membutuhkan dana yang banyak. Sebagai jalan keluarnya, mereka lantas melelang
habis stok candu, sisa-sisa peninggalan pemerintah Hindia Belanda.
“Itu ternyata sangat membantu pembiayaan
revolusi mereka,” ungkap Cribb dalam tulisan yang dimuat oleh jurnal Modern
Asia Studies edisi 22 (April 1988).
Dijalankan secara
rahasia, perdagangan candu di era Perang Kemerdekaan (1945—1949) sejatinya
direstui pemerintah Republik Indonesia (RI). Dalam Djogdja Documenten
no.230 milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), ada beberapa surat
resmi yang menyebutkan soal perniagaan barang haram itu. Salah satunya surat
dari Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis kepada Kepala Kepolisian Negara RI R.S.
Soekanto Tjokrodiatmodjo. Secara gamblang dia meminta kepolisian membantu
bisnis candu yang akan digunakan untuk membiayai delegasi Indonesia ke luar
negeri, membiayai para pejabat Indonesia dan menggaji pegawai-pegawai RI.
Guna melancarkan
pengelolaan dan transaksi candu, pemerintah RI mendirikan kantor-kantor regi
candu di beberapa kota yang dianggap strategis. Sebut saja yang terbesar adalah
Kantor Regi Candu dan Garam Kediri, Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta
dan Kantor Depot Regi Canda serta Obat Yogyakarta.
Namun dari sekian pihak
yang menerima manfaat dari bisnis candu tersebut, pihak tentara-lah yang
mendapat porsi paling besar. Hampir setiap waktu, mereka mengajukan permintaan
seperti yang dilakukan oleh Menteri Muda Pertahanan Aroedji Kartawinata pada 22
Januari 1948. Kepada Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta, Aroedji
meminta pasokan candu untuk kepentingan para pejuang di Jawa Timur.
“Mayor Jenderal drg. Moestopo sebagai Komandan
Teritorial Komando Jawa Timur diberi kewenangan penuh untuk mengambil sejumlah
candu itu langsung di Surakarta,” tulis Julianto Ibrahim dalam Opium dan
Revolusi; Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi
(1945-1950).
Divisi Siliwangi pun
termasuk kesatuan yang mendapat jatah barang haram itu dari pemerintah
republik. Tercatat mereka mendapat izin untuk menukarkan atau menyelundupkan
candu sebanyak 15.000 cepuk/tube untuk dibelikan beberapa jenis bahan pakaian.
“Pihak yang bersedia
menyediakan dan mengusahakan bahan pakaian itu adalah Bank Negara Indonesia
(BNI), P.T. Margono dan beberapa pedagang lainnya,” ungkap Julianto.
Tidak hanya TNI,
kesatuan lasykar yang dekat dengan pemerintah juga bisa jadi kecipratan uang
candu tersebut. Sebagai contoh, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI) dan
Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia (BPRI). Mereka pernah mengirim surat
permohonan kepada Kantor Wakil Presiden agar mendapat izin memperoleh candu
dari Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta sebanyak 3000 cepuk/tube.
Lihat Juga:
Wabah Penyakit Mematikan di Banten dan Jawa Tengah
Laskar-laskar biasanya
menukarkan langsung candu-candu itu dengan senjata di pasar-pasar gelap.
Menurut Julianto Ibrahim dalam Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, penukaran
candu dengan senjata di daerah Surakarta biasanya tergantung jenis senjata yang
ingin didapatkan. Untuk dua karabin ditukarkan dengan 50 mata candu. Sedangkan
untuk Brengun, candu yang harus dikeluarkan adalah 200 mata candu.
Aturan main di Surakarta
itu bisa jadi mengikuti aturan main para penyelundup candu dan senjata di
Singapura. Letnan Muda Sho Bun Seng, penyelundup yang beroperasi di jalur
Sumatera—Singapura menyebut cara itu lebih praktis karena tak harus menyimpan
uang terlebih dahulu dan mencari-cari penjual senjata yang murah.
“Biasanya
senjata-senjata itu bekas tentara Jepang yang dirampas oleh pihak Sekutu dan
seharusnya dimusnahkan…” ujar anggota telik sandi TNI dari unit Singa Pasar
Usang di Padang, Sumatera Barat tersebut.
***
Referensi Catatan Histori:
https://historia.id/ekonomi/articles/candu-untuk-revolusi-indonesia-PGaW2/page/3