Tentara Belanda menawan gerilyawan Republik di Jawa Tengah (Troepen Museum) |
Situasi ibu kota Republik Indonesia setelah sempat diduduki selama 6 jam oleh TNI.
Seorang serdadu
tetiba mendatangi Satya. Sambil membentak, dia bertanya dalam bahasa
Melayu yang terpatah-patah mengenai keberadaan kaum Republik. Remaja kelahiran
Blitar itu lantas menjawab bahwa dirinya tidak tahu apa-apa dan hanya seorang
anak sekolahan.
“Mungkin karena saya menjawabnya dengan bahasa
Belanda, serdadu itu lantas pergi dan membiarkan saya terus menimba,” kenang
lelaki kelahiran tahun 1931 tersebut.
Akibat operasi
pembersihan pada 2 Maret 1949 itu, 15 warga Ngupasan tewas ditembak. Begitu
mencekamnya suasana hingga 15 mayat itu dibiarkan begitu saja. Pun ketika pada
hari ketiga saat burung-burung gagak berdatangan untuk mematuki mayat-mayat
tersebut.
“Tidak ada yang berani
merawat sampai hampir seminggu karena takut dilaporkan oleh mata-mata Belanda,”
ujar eks kurir pasukan TNI tersebut.
Selepas peristiwa
serangan umum 1 Maret 1949 yang dilakukan oleh TNI, militer Belanda terkesan
panik. Operasi pembersihan kerap dilakukan nyaris setiap hari. Kendaraan tempur
hilir mudik melakukan patroli. Kantor IVG (Grup Intelijen dan Keamanan) pun dipenuhi
dengan orang-orang yang dituduh sebagai kaum Republik.
Begitu mendapat kabar
Yogyakarta sempat dikuasai selama 6 jam oleh TNI, Panglima KNIL Letnan Jenderal
H.M. Spoor langsung terbang dari Jakarta ke Yogyakarta. Besoknya pada 2
Maret1949, sang panglima mengumpulkan semua perwira utama di rumah dinas
Kolonel D.R.A van Langen. Dalam diskusi terbatas itu, kendati menganggapnya
biasa-biasa saja, namun Spoor memuji insiatif serangan 1 Maret 1949
tersebut.
“Dia menyebut peristiwa
itu sebagai serangan yang sangat terkoordinasi secara baik dan dilakukan
bersamaan dari berbagai jurusan…” ungkap Basuki Suwarno dalam Hubungan
Indonesia—Belanda Periode 1945—1950.
Basuki yang banyak
mengambil riset untuk penulisan buku-nya dari dokumen-dokumen intelijen militer
Belanda itu juga mengungkapkan perintah Spoor pasca serangan itu. Dia
menginginkan pasukannya agar lebih aktif lagi menjalankan kombinasi antara
operasi intelijen, operasi pembersihan dan operasi teritorial.
Namun di lapangan,
perintah itu terlaksana secara tidak berimbang. Alih-alih berupaya mengambil
hati rakyat Yogyakarta, militer Belanda malah lebih banyak menjalankan
aksi-aksi penangkapan dan pembunuhan. Itu tentu saja diadakan berdasarkan
informasi-informasi intel yang didapat dari mata-mata mereka yang beredar di
seluruh Yogyakarta.
Lihat Juga:
Cara BumiPutera Menghalau Flu Spanyol
Yuri Gagarin dan Para Kosmonot Indonesia
Hingga 30 Juni 1949,
operasi pembersihan yang dilakukan militer Belanda di wilayah Yogyakarta
telah menyebabkan korban penduduk 2.718 tewas, 539 hilang dan 736 luka-luka.
Demikian pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam sebuah buku yang dikeluarkan Kementerian Penerangan
RI, Republik Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta.
Situasi itu malah
menyebabkan rasa antipati masyarakat Yogyakarta semakin besar terhadap tentara
pendudukan. Terlebih sejak Yogyakarta diduduki Belanda pada 19 Desember 1948,
nyaris tak ada uluran kerjasama sama sekali dari mereka.
Menurut jurnalis
sekaligus akademisi asal Amerika Serikat (AS) George McTurnan Kahin, sikap non
kooperasi itu hampir dipastikan absolut. Ketika mewawancarai Mr. B.J. Muller,
seorang pejabat Belanda urusan ekonomi di Yogayakarta, dia mendapat informasi
bahwa dari sekira 400.000 penduduk Yogyakarta, hanya 6.000 orang saja yang mau
bekerjasama dengan pihak Belanda.
“Bahkan dia jujur
menyatakan keyakinannya bahwa orang-orang itu mau bekerja hanya karena adanya
perintah dari Sultan Yogyakarta agar penduduk sipil tidak mengalami penderitaan
yang terlalu berat,” ungkap Kahin dalam Nationalism and Revolution in
Indonesia.
Rasa antipasti rakyat
Yogyakarta justru dimanfaatkan secara ciamik oleh kaum Republik. Terbalik
dengan upaya militer Belanda, TNI justru menuai sukses dalam menjalan operasi
teritorialnya di dalam kota Yogyakarta. Selain kerap membantu dengan
menyumbangkan logistik dan obat-obatan, rakyat Yogyakarta juga merupakan
“mata-mata terbaik” dalam menginformasikan segala gerak-gerik tentara Belanda.
Tidak heran karena
asupan informasi itu, TNI dan laskar bisa melakukan serangan-serangan kecil
yang mengakibatkan korban besar hampir setiap waktu. Pos-pos militer Belanda di
Kaliurang adalah salah satu yang menjadi sasaran favorit para gerilyawan
Republik.
Serangan intens itu
memang sengaja dilakukan oleh TNI. Menurut Komandan Brigade X Wehrkreise III
Letnan Kolonel Soeharto hal itu penting selain untuk menurunkan moral
pertempuran pasukan Belanda juga sebagai upaya guna menyibukkan anak buah Spoor
hingga tak memiliki kesempatan mengganggu rakyat.
“Supaya rakyat kita di
kota selamat dari pembalasan Belanda…” ujar Soeharto dalam
otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (disusun
oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H.).
***
Referensi Catatan Histori:
https://historia.id/politik/articles/yogyakarta-usai-serangan-umum-vXZEr/page/1