Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945—1949) tidak hanya melibatkan orang-orang dewasa, anak-anak pun banyak yang menerjunkan diri ke dalamnya.
Bambang S. Santoso
dalam blog-nya menyebut dua bocah perang tersebut merupakan anggota Kompi III
Yon 33 Pelopor/ Langlangbuana, salah satu kesatuan yang berafiliasi ke Divisi
Siliwangi. Dia mengetahui informasi tersebut berdasarkan keterangan sang ayah
yakni Kolonel (Purn.) Loekito Santoso, yang pada zaman revolusi merupakan
komandan kompi di kesatuan tersebut.
Keterlibatan para bocah
dalam revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949) selama ini kisahnya hanya
terketahui lamat-lamat saja. Beberapa film nasional memang pernah mengangkat
sekilas peran mereka. Sebut saja dalam film layar lebar yang
diproduksi pada tahun 1982: Serangan Fajar dan Pasukan
Berani Mati.
Satya Graha (89) adalah
salah satu dari para bocah itu. Ketika kali pertama menjadi gerilyawan usianya
baru 15 tahun. Dia menggabungkan diri dalam Divisi Ayam Jago pimpinan Mayor
Jenderal Moestopo yang dikenal sebagai opsir republik yang sangat nyentrik. Berbagai
pertempuran pun pernah diikutinya walau (diam-diam) dia mengaku merasa takut
dan gemetaran juga.
“Saya ingat kalau setiap bertempur, Pak Moes
selalu berada di paling depan. Sambil menembakan senjatanya, dia tak henti
berteriak-teriak dalam bahasa Belanda, mengejek para serdadu yang tengah kami
hadapi,” ujar mantan jurnalis Indonesia terkemuka di era 1960-an itu.
Suatu hari saat tengah
beristirahat, dia dipanggil oleh Moestopo ke ruangan utama markas. Saat sampai
di sana, alangkah terkejutnya Satya ketika melihat ibunya tengah adu omong
dengan Moestopo. Begitu melihat kehadiran Satya, ibunya langsung mengajak dia pulang
namun Satya bersikeras untuk bertahan.
“Lha itu buktinya
saya ndak memaksa, anak-nya kok yang mau ikut berjuang,” kata
Moestopo kepada ibunya Satya. Barulah Satya saat itu paham bahwa ibunya dengan
sang komandan dulu merupakan kawan sekolahan waktu SMP.
Kendati dimarahi dan
ditakuti, Satya tetap tak mau pulang ke rumah. Akhirnya tak ada yang bisa
dilakukan sang ibu kecuali menyerahkan keputusan kepada anaknya sendiri. Namun
sebelum pulang, sang ibu tak henti-nya mengingatkan Moestopo untuk menjaga anaknya.
“Saya sempat malu juga
kepada komandan, tapi ya gimana saat itu memang saya masih termasuk anak
kecil,” kenang Satya.
Lihat Juga:
Chairil Anwar, Sang Binatang Jalang
Ketika Wartawan Dipalak Laskar Sumatra
Kisah yang sama juga
pernah dialami oleh J.A. Soetjipto (83). Pada 1949, saat dirinya masih berusia
12 tahun, perang melawan tentara Belanda lagi hebat-hebatnya di seluruh timur
Jawa. Di desanya, Prambonwetan (masuk dalam wilayah Kabupaten Tuban), pertempuran-pertempuran
antara pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan militer Belanda
kerap terjadi hampir setiap minggu.
Gencarnya serangan dan
patroli yang dilakukan militer Belanda sepertinya disebabkan keyakinan mereka
bahwa wilayah Prambonwetan merupakan salah satu basis terkuat TNI di timur
Jawa. Penilaian itu memang benar adanya. Selama 1949, Brigade Ronggolawe
menempatkan satuan-satuan kecil dari Batalyon XVI pimpinan Mayor Basuki
Rakhmat.
“Di sana ada beberapa
seksi pimpinan Sersan Sudjiman, Sersan Kemis dan Sersan Safii yang salah satu
tugasnya melatih anak-anak muda setempat untuk menjadi tenaga tempur,” demikian
disebutkan oleh buku Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade
Ronggolawe karya Panitia Penyusunan Sejarah Brigade Ronggolawe.
Kendati belum lulus
Sekolah Rakjat (SR), Soetjipto sudah direkrut sebagai tenaga tempur. Dia
bergabung dengan kelompok yang dipimpin oleh Sersan Sujiman. Sebenarnya kata
“direkrut” tidak begitu tepat karena bergabungnya Soetjipto ke kelompok
tentara itu dilakukan secara sukarela.
“Waktu itu saya merasa
ikut berperang seperti main-main saja,” ujarnya.
Kendati ke mana-mana
menyandang sepucuk karaben, aura kebocahannya tetap tidak lepas dari wajah
Soetjipto. Dia ingat pada suatu hari dibawa Sersan Sudjiman ke markas komando
di sebuah dukuh bernama Manor. Di sana bertemulah dirinya dengan Mayor Basuki
Rakhmat yang jadi terheran-heran melihat kehadirannya.
“Iki cah cilik
melu-melu, ngapain?” tanya sang komandan.
“Dia itu kecil-kecil
juga ikut berjuang, Pak…” jawab Sersan Sudjiman sambil terkekeh.
Mendengar penjelasan
bawahannya, Mayor Rakhmat seolah masih tak percaya. Setelah menatap kembali
Soetjipto, sambil tersenyum ia kemudian bilang: “Yo wis, kamu sana main-main
dulu, kami mau ngomong-ngomong dulu…” katanya.
Sebagai petempur,
Soetjipto tentu saja terlibat dalam sejumlah pertempuran. Namun dari sekian
pengalaman tempurnya, hanya kejadian di perbatasan antara Prambonwetan dan
Banjararum-lah yang hingga detik ini tak pernah bisa dilupakannya.
“Di sanalah saya mengalami
pertempuran yang demikian hebat dan mengerikan,” ungkapnya.
Ceritanya pada Selasa,
23 Juli 1949 dia terlibat dalam suatu rencana penyergapan terhadap satu
seksi Marinir Belanda pimpinan seorang letnan satu bernama Leen Teeken. Operasi
penyergapan itu sendiri dipimpin oleh seorang letnan muda bernama Noortjahjo.
“Kami tunggu mereka di
balik tanggul sebuah sungai kecil yang mengapit jalanan kampung lalu tanpa
ampun menghancurkan pasukan musuh tersebut,” kenang Soetjipto.
Akibat penyergapan itu,
3 orang tewas di pihak musuh dan tujuh lainnya berhasil ditawan. Tak ada korban
jatuh sama sekali di pihak TNI dan rakyat. “Pertempuran itu berlangsung sangat
brutal, dengan mata kepala saya sendiri saya meyaksikan kepala komandan Marinir
Belanda itu ditembus serpihan-serpihan granat hingga menyebabkan otaknya
berhamburan dan tercecer di pematang sawah…” ungkap Soetjipto.
Lima bulan setelah
pertempuran itu, perang pun berakhir. Sebagai seorang anak petani, Soetjipto
merasa bahwa hidupnya harus berubah. Dia kemudian kembali ke bangku sekolah dan
berhasil masuk Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) dan dari sana dia meniti
karir di Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga mencapai pensiun.
“Walaupun saya pernah
terlibat dalam perjuangan dahulu, namun sesungguhnya saya tak pernah merasa
berjasa untuk negeri ini. Bukankah saat itu hampir semua orang
berjuang?" ujarnya.