Potret Kerukunan (di) Flobamora dalam Bingkai Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Potret Kerukunan (di) Flobamora dalam Bingkai Nusantara (Negara Kesatuan Republik Indonesia)

 

Ilustrasi

Seperti taman yang tampak indah karena banyaknya bunga, kehidupan akan menjadi indah oleh karena keberagaman. Itulah potret kehidupan Nusa Flobamora. Walau memiliki keberagaman, masyarakat tetap hidup rukun dan damai.


Setiap 3 Januari, Kementerian Agama Republik Indonesia merayakan Hari Amal Bhakti. Moment ini diperingati sebagai hari lahirnya kementerian tersebut. Pada perayaannya yang ke-75 tahun ini, kementerian terkait merayakannya dengan mengusung tema “Indonesia Rukun.”

Lalu, bagaimana kita sebagai anak bangsa memaknainya? Hemat kami, Indonesia merupakan negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan dan menjamin kemerdekaan beragama. Dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 1 ditegaskan: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;” dan selanjutnya dalam ayat 2 dikatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.”

Mengacu pada bunyi pasal tersebut, maka ini berarti bahwa semua warga negara berhak memilih agama sesuai keyakinannya tanpa ada paksaan dari pihak mana pun dan berhak untuk menjalankan kegiatan keagamaan dengan tenang tanpa ada gangguan dari siapa pun. Dalam kerangka itulah Kementerian Agama hadir untuk memenuhi hak warga negara dalam menjalankan kemerdekaan beragama tersebut.

Selain itu, lahirnya kementerian tersebut menegaskan bahwa peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangatlah penting. Sejak zaman pra-kemerdekaan, peran agama lewat tokoh-tokoh agama dalam perjuangan merebut kemerdekaan sangat besar. Harus diakui bahwa kemerdekaan yang kita raih tidak terlepas dari peran agama(wan).

Demikian pula di masa kemerdekaan. Peran agama sangat penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai entitas yang mengajarkan kebaikan, agama selalu membawa pesan damai. Misi agama adalah menyebarkan kerukunan dan perdamaian bagi umat manusia. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan.

Kendati demikian, dalam realitasnya masih menyisakan sejumlah problem. Masih ada warga negara yang mengalami diskriminasi dan persekusi dan tidak bebas menjalankan ibadah sesuai agama dan keyakinannya. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), misalnya, pada Oktober 2018 mencatat ada sekitar 488 kasus pelanggaran kebebasan beribadah dan berkeyakinan selama pemerintahan Jokowi-JK (2014-2018). Tindakan pelanggaran ini dilakukan baik oleh individu dan ormas ormas dengan beragama motif.

Untuk disebutkan beberapa kasus, antara lain, penyerangan Gereja St. Lidwina pada 11 Februari 2018 ketika jemaat sedang mengikuti misa yang dipimpin Romo Edmund Prier SJ; penyerangan, perusakan, dan pengusiran terhadap penganut Ahmadiyah di Lombok Timur pada 19-20 Mei 2018; perusakan dua wihara dan lima kelenteng di Medan tanggal 29 Juli 2016; dll.


Lihat Juga:

INVESTIGASI: Belenggu Prostitusi di Kamar Apartemen Green Pramuka City

Agama Penyihir, Agama Lokal, Agama Impor (Agama Impor Bersumber dari Agama Lokal)

Iman seseorang apakah harus dilembagakan?

Konteks Masalah Sosial dalam relasi dengan Kelompok Sosial


Pada periode pertama pemerintahan Jokowi (2014-2019), khususnya selama kurun waktu 2015-2017, Indeks Kerukunan Beragama di Indonesia mengalami penurunan. Pada 2015, Indeks Kerukunan Beragama mencapai 75,36 persen, lalu pada tahun 2016 meningkat sedikit menjadi 75,47 persen, dan pada 2017 menurun menjadi 72,2 persen (Tempo.com., 20/10/2018).

Peristiwa dan data yang disebut barusan menggambarkan potret buram kerukunan hidup beragama di Indonesia; negara gagal dalam menjamin kebebasan beragama setiap warga negara sebagaimana amanat konstitusi.  Persis, pada titik inilah pertanyaan: “Apakah kita masih optimis dengan keindonesiaan kita?” pantas diajukan.

Menjawab pertanyaan itu, masih dalam semangat Hari Amal Bhakti, izinkan kami untuk memotret kerukunan hidup umat beragama di Nusa Tenggara Timur atau lazim disebut Tanah Flobamora. Pasalnya, NTT sering dijadikan model kerukunan hidup beragama di Indonesia. Tanah Flobamora (Nusa Tenggara Timur) bagai oase di tengah kegersangan hidup beragama di padang Nusantara (baca: Indonesia).

Di Tanah Flobamora, keberagaman dalam berbagai aspek kehidupan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Seperti taman yang tampak indah karena banyaknya bunga, kehidupan akan menjadi indah oleh karena keberagaman. Itulah potret kehidupan di Flobamora. Walaupun beragam, masyarakat tetap hidup rukun dan damai. Konflik sosial karena keberagaman jarang untuk mengatakan tidak pernah terjadi di Flobamora.

Survei yang dilakukan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia pada 2018, menunjukkan bahwa masyarakat NTT (Flobamora) memiliki kerukunan hidup umat beragama paling tinggi. Berdasarkan survei ini, NTT dinobatkan sebagai provinsi paling toleran di Indonesia.

Dan, secara faktual, kehidupan di Nusa Flobamora sangat toleran. Di seluruh wilayah Flobamora, masyarakat hidup rukun, aman, dan damai. Toleransi bukanlah narasi semu. Semangat toleransi benar-benar membumi, karena masyarakat sangat menghargai perbedaan. Bagi mereka, perbedaan bukanlah penghalang untuk merajut persaudaraan. Justru sebaliknya: perbedaan dijadikan sebagai benang untuk menyulam persaudaraan.


Lihat Juga:

Numbeiku Sayang, Numbei Tanah Kelahiran Kami

Suanggi (Ema Buan) Menurut Pandangan Orang Belu dan Malaka,

PANTUN ADAT TETUN MASYARAKAT MALAKA (Lia Adat/ai knanuk Tetun Ema Fehan)

HEROISME SUPER HERO {Terinspirasi dari Film Batman Vs Superman}

Potret kerukunan di Flobamora ini, hemat kami, berkat dua hal berikut. Pertama, agama. Kehadiran agama di Flobamora benar-benar membawa pesan damai. Dalam hari-hari besar keagamaan, tidak hanya umat beragama yang bersangkutan saja yang terlibat, tetapi juga melibatkan umat beragama lain. Misalnya, setiap tahun dalam perayaan Semana Santa di Larantuka, remaja masjid ikut serta dalam menjaga keamanan perayaan tersebut. Di sinilah munculnya peran agama dalam menjaga kerukunan di Bumi Flobamora.

Kedua, budaya atau adat istiadat. Selain agama, masyarakat Flobamora tetap menjaga budaya atau adat istiadat yang merupakan warisan dari nenek moyang. Kalau agama merupakan hasil impor, budaya dan adat istiadat lahir dari rahim Flobamora. Inilah ikatan yang menguatkan persaudaraan dan kekeluargaan di Tanah Flobamora.

Potret kerukunan yang kita banggakan ini harus terus dirawat. Karena itu, kami mengusulkan dua hal penting. Pertama, dialog antarumat beragama perlu terus digalakkan. Kegiatan-kegiatan keagamaan dan atau sosial dilibatkan umat lintas agama. Kedua, perkuat peran lembaga adat atau budaya. Lembaga adat di desa atau kampung harus diberi peran lebih karena merekalah yang berada di akar rumput, dekat dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, selain tokoh agama, tokoh adat di kampung juga harus dilibatkan dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).

Akhirnya, bagi putra-putri Flobamora, mari kita terus merawat dan menjaga Taman Flobamora yang indah ini dengan memupuk persatuan, kesatuan dan kerukunan antar-sesama anak Flobamora. Dengan demikian, kehidupan Nusa Flobamora yang rukun, aman, dan damai ini tetap menjadi potret indah dalam bingkai “retak” kerukunan hidup bangsa.


Gerardus Kuma Apeutung, Alumnus STKIP (Universitas Katolik Indonesia) St. Paulus, Ruteng. Sekarang mengabdi di SMPN 3 Wulanggitang, Hewa, Flores Timur

 

 

Opini ini diambil dari:

https://katoliknews.com/2021/01/07/potret-kerukunan-di-flobamora-dalam-bingkai-nusantara/

 

 

 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama