Suanggi (Ema Buan) Menurut Pandangan Orang Belu dan Malaka, NTT

Suanggi (Ema Buan) Menurut Pandangan Orang Belu dan Malaka, NTT


PENGARUH KEPERCAYAAN SUANGGI DALAM MASYARAKAT BELU DAN MALAKA
TERHADAP PENGHAYATAN IMAN KATOLIK

Penulis: Frederick Mau, dkk
Hasil gambar untuk Suanggi
Ilustrasi

I. PENDAHULUAN
Dalam bidang studi antropologi sistem-sistem keyakinan yang ada dan berkembang dalam masyarakat merupakan salah satu dari sekian banyak unsur yang membentuk dasar religi dan kepercayaan. Salah satu ciri dari sistem keyakinan adalah kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus. Mahluk-mahluk halus adalah roh-roh leluhur dan roh-roh lainnya (hantu, kuntilanak, jin, setan, dsb) yang dianggap sebagai penghuni dunia supernatural atau mendiami alam dan lingkungan sekitar tempat tinggal manusia.[1] Manusia seringkali sulit untuk memberikan gambaran yang tegas tentang wujud dan sifat serta ciri-ciri dari mahluk-mahluk halus tersebut sehingga hanya memiliki bayangan dan gambaran yang berbeda-beda.
Kepercayaan terhadap mahluk-mahluk halus ini juga nampak jelas dalam konteks budaya dan kehidupan masyarakat Belu. Salah satunya adalah kepercayaan terhadap suanggi dan dampak negatif yang ditimbulkannya. Kepercayaan terhadap suanggi ini merupakan sebuah fenomena sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat belu. Dikatakan sebagai sebuah fenomena sosial karena kepercayaan terhadap suanggi erat hubungannya dengan konteks kehidupan bermasyarakat dan beragama orang Belu. Dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat orang belu, suanggi dimengerti sebagai seseorang yang memiliki kekuatan gaib, menakutkan dan bersifat jahat. Keberadaan suanggi itu nyata dan dekat dengan manusia serta dipercaya dapat mencelakakan manusia dengan kekuatan gaib yang dimilikinya. Hal ini tentu saja membawa efek yang merugikan bagi relasi antarmasyarakat Belu. Sedangkan dalam hubungannya dengan kehidupan beragama, kepercayaan orang Belu terhadap suanggi jelas membawa dampak bagi adanya perkembangan iman dan kepercayaan. Orang Belu percaya akan adanya suanggi yang bisa membawa kerugian, kesengsaraan dan kematian. Kepercayaan seperti ini jelas membawa ketakutan dalam hidup sehingga dapat melemahkan iman dalam diri setiap masyarakat. Bahkan, di tengah umat sendiri, ada anggota gereja yang dianggap atau dituduh sebagai suanggi. Hal ini jelas merusakkan semangat cinta kasih yang diajarkan oleh gereja sendiri.
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi kritis terhadap kepercayaan akan suanggi dan pengaruhnya dalam penghayatan iman katolik. Tesis dasar dalam tulisan ini adalah bahwa kepercayaan terhadap suanggi membawa dampak yang negatif dan merugikan bagi kehidupan iman umat, maupun bagi kehidupan masyarakat Belu pada umumnya. Adapun tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan sebuah kajian yang mendalam tentang “sosok suanggi” itu sendiri tetapi membatasi refleksinya pada pengaruh dari kepercayaan masyarakat terhadap suanggi ini, khususnya dalam konteks kehidupan iman dan kepercayaan umat Kristen. Pada akhirnya, berkaitan dengan fenomena suanggi ini, kita dapat menentukan sikap dan posisi yang jelas sesuai dengan iman dan ajaran Kristen sendiri.

II. Selayang Pandang Tentang Suanggi Menurut Kepercayaan Masyarakat Belu[2]

2.1. Pengertian Ema Buan
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan suanggi sebagai hantu yang jahat atau dukun yang bekerja dengan bantuan orang halus.[3] Term suanggi ini dalam bahasa inggris disebut Witchcraft, yang diartikan sebagai penggunaan kekuatan magis oleh setan atau kekuatan-kekuatan jahat lain (The use of magic powers, especially evil ones).[4] Adapun Masyarakat Belu mengenal suanggi dengan sebutan Ema Buan. Istilah Ema Buan merupakan gabungan dari dua kata, yaitu ema; yang berarti orang atau seorang (manusia), dan buan; yang berarti setan.
Maka, secara harafiah, Ema Buan adalah seorang manusia yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan jahat serta dapat menggunakan kekuatannya itu untuk membahayakan orang lain. Ciri-ciri yang menunjukkan seseorang adalah Ema Buan antara lain bermata merah, mampu terbang, ada semacam cahaya atau api yang berasal dari pantatnya, ketika berbicara selalu menundukkan muka, mudah gelisah dan cemas, penyendiri dan tertutup, tampak kusut, kumal, dan menyeramkan. Dikatakan bahwa tidak semua orang mampu melihat kehadiran Ema Buan karena itu Ema Buan hanya akan dilihat oleh segelintir orang yang memiliki kemampuan untuk “melihat”. Ema Buan juga seringkali menampakkan dirinya dalam wujud-wujud seperti burung hantu (kakuk), anjing (asu), ular (smea), dsb.
Ema Buan ini dipercaya dapat berhubungan dengan roh-roh jahat yang tinggal di hutan-hutan atau di tempat-tempat yang dianggap keramat. Ema Buan juga biasa melakukan Semadi (bertapa) dan memberi persembahan atau sesajen kepada roh-roh jahat guna memperoleh kekuatan-kekuatan gaib tersebut. Dengan kata lain, bagi masyarakat Belu, Ema Buan adalah manusia yang telah bersekutu dengan roh-roh jahat sehingga memiliki kekuatan-kekuatan jahat yang dipergunakan untuk mencelakai orang lain.

2.2. Asal usul Ema Buan dalam budaya masyarakat Belu
 Kepercayaan masyarakat Belu terhadap keberadaan suanggi telah ada sejak zaman dahulu. Nama Kota “Atambua”[5] konon berasal dari kata Ata (Hamba) dan Buan (Suanggi / tukang sihir). Legenda yang telah berkembang dan seringkali diceriterakan yaitu tentang adanya hamba yang berani berontak dan melepaskan ikatan tangan (borgol) sehingga tidak terjual lewat Pelabuhan Atapupu, malahan akhirnya menyingkirkan saudagarnya. Nama kota “Atambua” ini identik dengan  “Atapupu” (sebuah kota pelabuhan terletak 24 km arah utara Atambua) yang berasal dari kata Ata (hamba) Futu (ikat) yang berarti hamba yang diikat dan siap dijual.[6]
Adapun kisah tentang hamba (Ema Buan) ini tidak lagi diketahui secara pasti. Namun, yang jelas bahwa kepercayaan terhadap Ema Buan ini merupakan kepercayaan yang diturunkan secara turun-temurun dan dari generasi ke generasi sampai dengan saat ini. Bpk. Fransiskus Fahik sendiri, dalam wawancara dengannya, bercerita panjang lebar tentang pengalamannya dengan suanggi dan bagaimana salah seorang anggota keluarganya yang sakit dan meninggal oleh karena ulah dari suanggi. Dengan ini mau dikatakan bahwa sampai dengan saat ini, kepercayaan terhadap Ema Buan dan kekuatan jahat yang dimilikinya itu masih tetap melekat dalam diri setiap masyarakat Belu.  

2.3. Motivasi menjadi Ema Buan dan Cara Kerja Ema Buan
 Motivasi dasar untuk menjadi Ema Buan antara lain karena adanya rasa iri hati, sakit hati, balas dendam, kecemburuan sosial atas kesuksesan dan keberhasilan orang lain. Sikap-sikap ini lantas membuat seseorang mengambil “jalan pintas” untuk mencelakai atau pun menghambat apa yang menjadi kemajuan atau usaha dari orang lain.
  Secara umum cara kerja Ema Buan untuk mencelakai manusia dikelompokkan ke dalam dua tindakan. Pertama, menggunakan lia anin ‘at dan ai tahan lanuk. Lia anin ‘at berarti menggunakan mantra-mantra yang dikirim melalui hembusan angin malam sehingga si korban akan merasakan sakit atau menderita mulai Pkl.  18.00 sampai dengan Pkl. 24.00. Ai tahan lanuk berarti menggunakan obat-obatan beracun yang akan dicampurkan ke dalam makanan atau minuman dari si korban. Pada zaman dahulu, obat-obatan beracun itu dibuat dari sejenis tanaman atau serangga tertentu yang mudah dijumpai di hutan. Dewasa ini,  obat-obatan yang digunakan untuk meracuni si korban itu dapat menggunakan bahan-bahan kimiawi tertentu yang berbahaya, seperti racun serangga atau racun tikus. Selain itu, Ema Buan juga dapat beraksi dengan menggunakan tanah bekas injakan telapak kaki si korban. Tanah bekas telapak kaki korban itu diambil, dibungkus dengan kain merah dan dimantrai khusus sehingga dapat mencelakai si korban.
Kedua, Ema Buan mendatangi si korban pada kesempatan-kesempatan tertentu, seperti pada malam hari atau pada saat si korban sedang berada sendirian, dan langsung mencelakai korban pada saat itu juga. Ema Buan juga dapat mengirim roh-roh jahat yang akan merasuki si korban dan membuat mereka menderita. Maka, secara keseluruhan cara kerja dari Ema Buan bertujuan untuk mencederai, melukai, menyesengsarakan, dan bahkan menyebabkan kematian pada manusia lain.

2.4. Keuntungan Dan Kerugian Menjadi Ema Buan
Adapun keuntungan yang dimaksudkan di sini ialah keuntungan bagi manusia yang menjadi Ema Buan itu sendiri. Keuntungannya bahwa orang tersebut memiliki kekuatan-kekuatan jahat yang dapat dipergunakan untuk merugikan orang lain. Lebih lanjut bahwa ia pun akan disegani dan ditakuti oleh orang lain. Selain itu, dia pun dapat menggunakan kekuatan itu untuk mendapat sukses, rejeki dan kekayaan dalam waktu yang singkat.
Kerugian menjadi Ema Buan berkaitan dengan persekutuannya dengan roh-roh di mana roh-roh itu selalu menuntut korban nyawa manusia atau sesajen lain sebagai ganti kekuatan-kekuatan yang telah diberikan. Tidak jarang, kematian dari salah seorang anggota keluarga pada keluarga atau orang-orang yang dituduh sebagai Ema Buan sering dianggap “wajar” oleh masyarakat karena sebagai tumbal atas kekuatan-kekuatan yang diberikan oleh roh-roh tersebut. Orang yang menjadi Ema Buan atau dituduh sebagai Ema Buan akan disisihkan dalam pergaulan dalam masyarakat sehingga mereka akan hidup menyendiri dan jauh dari pemukiman warga setempat.

III. Pengaruh Kepercayaan Kepada Suanggi Terhadap Penghayatan Iman Katolik
Kepercayaan terhadap suanggi merupakan sebuah kepercayaan yang telah berakar dalam konteks kehidupan masyarakat Belu. Kepercayaan ini jelas membawa dampak destruktif dalam berbagai level dan bidang kehidupan, antara lain:

3.1. Pada Level Sosial
Dalam kehidupan sosial kemasyarakat kepercayaan terhadap suanggi terbukti mampu merusakkan relasi dan hubungan kekerabatan di antara orang Belu sendiri. Kepercayaan terhadap suanggi menimbulkan sikap-sikap negatif seperti takut, curiga, iri hati, balas dendam, mudah tersinggung, menjadi pribadi yang tertutup, individualistik dan mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan sendiri.
Selain itu, kepercayaan terhadap suanggi juga membawa pengaruh bagi munculnya persaingan yang tidak sehat di antara masyarakat. Misalnya, jika ada seseorang yang berhasil atau sukses seringkali ia dituduh mengandalkan kekuatan-kekuatan jahat. Sebaliknya, jika ia mengalami kegagalan maka ia bisa saja menuduh seseorang sebagai suanggi yang menjadi biang dari kegagalannya tersebut. Oleh karena itu, jelas bahwa kepercayaan terhadap suanggi membawa perpecahan ditengah masyarakat sendiri. Hal ini tentu saja menghambat usaha untuk mewujudkan masyarakat yang adil, rukun dan harmonis.

3.2. Pada Level Pastoral
Fenomena kepercayaan kepada suanggi juga berpengaruh terhadap praktek kehidupan beragama umat. Dalam level pastoral, kepercayaan ini bisa sangat mengganggu kehidupan dan perkembangan iman umat. Di satu sisi, umat berusaha untuk mengembangkan imannya kepada Allah, tetapi di sisi lain mereka mengalami ketakutan oleh karena kepercayaan terhadap suanggi dan kekuatan-kekuatan jahat yang dimilikinya. Hal ini tentu saja dapat melemahkan iman umat.
Fenomena suanggi juga dapat menyulitkan para agen-agen pastoral dalam tugas dan pelayanannya di tengah umat. Para agen pastoral sering disulitkan untuk menyatukan atau mengumpulkan umat dalam berbagai kegiatan bersama seperti kegiatan doa bergilir, katekese, kerja bakti, dan perayaan ekaristi. Kepercayaan terhadap suanggi telah memecahbelahkan umat dan melemahkan semangat cinta, gotong royong dan kerja sama.
Akibat lebih lanjut bahwa para agen pastoral sendiri tidak berjuang untuk mengatasi dualisme seperti itu. Sebaliknya, mereka cenderung mengambil dua sikap ekstrem yaitu bersikap diam, acuh tak acuh dan tak mau peduli karena alasan takut menjadi “korban” atau “cari aman”. Para agen pastoral juga bisa terlibat dalam keterpecahan di dalam umat sendiri, misalnya memberikan pelayanan hanya untuk mereka yang dianggap “bersih” dan mengucilkan mereka yang dianggap suanggi. Kehidupan umat seperti ini tentu bertolak belakang dengan kehidupan umat dari Gereja Perdana yang ditandai oleh semangat cinta kasih dan persaudaraan.[7]

3.3. Pada Level Teologi
Dalam kajian Teologi, Gereja berbicara tentang suatu kekuatan jahat yang disebut satana (setan) atau diabolos (iblis) dan juga pelbagai kekuatan jahat lain yang dikenal dengan macam-macam nama.[8] Keyakinan dan kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan jahat tersebut merupakan suatu hal yang tidak diragukan dan dipersoalkan oleh siapa pun. Hal ini yang menjadi alasan dari ketiadaan ajaran resmi dari Magisterium Gereja yang menetapkan apakah keyakinan itu termasuk kebenaran wahyu yang perlu dipegang manusia demi keselamatan mereka.
Hemat kami, kekurangan refleksi dan ajaran Gereja ini dapat menimbulkan kesulitan dalam usaha pengajaran teologi kristiani. Misalnya, ajaran tentang Allah sebagai pencipta segala sesuatu “yang kelihatan dan tak kelihatan” (Syahadat Nicea-Konstantinopel). Orang dapat mempertanyakan ajaran ini dengan mengatakan bahwa apakah setan dan kekuatan-kekuatan jahat juga merupakan ciptaan-Nya? Atau apakah kekuatan-kekuatan jahat tersebut sungguh ada, omong kosong atau hanya tipuan semata? Dengan kata lain, ditengah umat sendiri hidup dan berkembang suatu praktek dualistme yaitu percaya akan Allah dan percaya akan keberadaan suanggi sebagai kekuatan jahat yang membahayakan kehidupan manusia.

3.4. Pada Level Praktik Sehari-hari
Dalam praksis hidup sehari-hari masyaraakat belu fenomena suanggi menjadi salah satu topik yang hangat untuk dibicarakan. Kepercayaan akan suanggi dan akibat-akibat yang ditimbulkannya kerap melekat dalam seluruh aktivitas masyarakat. Suanggi kerap diidentikan dengan seseorang yang memiliki kekuatan-kekuatan gaib dan dianggap dapat menentukan kehidupan seseorang. Seseorang yang mengalami musibah seperti penyakit yang tidak kunjung sembuh, kematian salah seorang anggota keluarga, kecelakaan, suami atau isteri yang kabur dari rumah, kegagalan dalam pekerjaan, dan berbagai macam musibah lain. Semuanya ini kerap dihubungkan dengan perbuatan suanggi sendiri. Bahkan, suanggi itu dipersonifikasikan dengan orang-orang terdekat misalnya tetangga, kerabat keluarga, kenalan atau teman-teman sekitar. Hal ini lantas menimbulkan kebencian terhadap mereka yang dituduh sebagai suanggi. Selanjutnya, timbul usaha dari pihak yang menjadi “korban suanggi” untuk membalas dendam terhadap orang yang dituduh sebagai suanggi. Kejadian-kejadian seperti ini tentu saja menggambarkan bahwa orang tidak lagi berusaha untuk mencari jalan keluar atau solusi  dari persoalan yang dialaminya, tetapi menjadikan suanggi sebagai “kambing hitam” dari persoalan tersebut.
Orang-orang yang dituduh sebagai suanggi juga kerap dijauhi dan dimusuhi secara bersama serta tidak mendapat tempat sosial dalam masyarakat. Mereka yang mendapat “cap” sebagai suanggi ini akhirnya merasa malu, menutup diri dan menarik diri dari pergaulan dengan sesama yang lain. Dengan kata lain, pengaruh kepercayaan terhadap suanggi ini ibarat sebuah lingkaran setan yang ada dalam praktek kehidupan sehari-hari.
  
3.5. Apakah Aspek-Aspek Kepercayaan Kepada Suanggi Lebih Kuat Daripada Kepercayaan Akan Allah?
Tidak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan terhadap suanggi sungguh hidup dalam masyarakat belu. Walaupun masyarakat Belu adalah umat Kristen yang percaya kepada Allah, namum tidak dengan sendirinya menghilangkan praktek kepercayaan mereka terhadap suanggi. Hemat kelompok, masyarakat Belu sendiri berada di bawah dua ketegangan ini, tetapi dualisme seperti ini tidak saling mengecualikan. Artinya, masyarakat Belu tetap beriman dan percaya kepada Allah Tritunggal yang Mahakuasa. Mereka juga percaya akan keberadaan suanggi yang jahat dan dapat menyengsarakan manusia. Kepercayaan terhadap suanggi inilah yang perlu untuk direfleksikan secara lebih kritis dan mendalam karena membawa efek negatif dalam kehidupan bersama.
  
IV. Solusi Dan Anjuran Kelompok
Berkaitan dengan kepercayaan terhadap suanggi, kelompok menyadari bahwa fenomena seperti ini membawa dampak dan pengaruh destruktif, baik bagi penghayatan iman umat maupun juga bagi kehidupan masyarakat Belu pada umumnya. Untuk itu, kelompok memberikan beberapa solusi dan anjuran sebagai titik awal pencerahan dalam usaha mengatasi persoalan tersebut.

4.1. Secara Perseorangan
Ada beberapa anjuran yang dapat kelompok berikan berkaitan dengan fenomena kepercayaan terhadap suanggi, antara lain: Pertama, refleksi kritis terhadap berbagai fenomena dalam masyarakat yang berpretensi menimbulkan efek negarif, khususnya fenomena tentang suanggi. Setiap pribadi harus menyadari bahwa seringkali suanggi berfungsi sebagai “kambing hitam”  bagi suatu kelompok sosial tertentu dan bahwa setiap kelompok memproyeksikan secara tidak sadar rasa salah mereka kepada kepada orang tertentu yang dianggap sebagai suanggi. Dengan kata lain, orang cenderung “membersihkan diri” dengan mengkambinghitamkan orang atau keluarga tertentu sebagai suanggi.[9] Maka refleksi kritis di sini pertama-tama mengajak orang untuk berpikir secara rasional tentang berbagai peristiwa yang dialaminya, mencari akar dari persoalan tersebut dan bukan menjadikan sesama sebagai “kambing hitam” yang patut untuk disalahkan.   
Kedua, setiap pribadi berusaha untuk mengembangkan hubungan sosial kekerabatan yang sehat. Fenomena kepercayaan terhadap suanggi merupakan salah satu akar dari kejahatan di mana seseorang berusaha untuk mencari keuntungan bagi diri, keluarga, atau kelompoknya sendiri dengan merugikan orang lain. Oleh karena itu, setiap pribadi harus menyadari bahwa akar kejahatan ini hanya dapat dilenyapkan apabila ia mengembangkan hubungan yang sehat dengan orang lain. Hubungan yang sehat mengandaikan tidak adanya sikap saling curiga, iri hati atau prasangka negatif (gosip) antara satu dengan yang lain. Hubungan yang sehat ini dapat di mulai dalam keluarga masing-masing di mana setiap orangtua tidak lagi menakutkan anak dengan cerita-cerita tentang suanggi dengan maksud pendidikan dan mendisiplinkan anak.
Ketiga, keterbukaan dari setiap pribadi terhadap berbagai persoalan yang dialaminya. Keterbukaan ini dimaksudkan agar orang tidak secara sepihak mengambil keputusan terhadap persoalan yang dihadapi dan juga agar orang tidak lekas menuduh orang lain sebagai suanggi yang menyebabkan persoalan tersebut. Keterbukaan juga perlu dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah dituduh sebagai suanggi. Hemat kelompok, mereka yang dituduh sebagai suanggi akan menjadi tertutup dan menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini bisa jadi semakin menguatkan stigmatisasi atau tuduhan yang diberikan kepada mereka. Maka, keterbukaan menjadi penting agar ada saling pengertian dan relasi yang harmonis di antara masyarakat. 

4.2. Secara Pastoral
Pertama, para agen pastoral hendaknya menyadarkan umat bahwa kepercayaan terhadap suanggi membawa dampak bagi merebaknya kejahatan di tengah masyarakat. Gereja Universal mengakui adanya kekuasaan jahat dalam kerangka kedatangan Kerajaan Allah.[10] Kekuasaan-kekuasaan jahat itulah yang diterjemahkan dan dibahasakan secara berbeda dalam masing-masing suku dan wilayah. Untuk konteks masyarakat Belu kekuasan jahat itu dimafestasikan salah satunya dalam kepercayaan terhadap suanggi. Maka tradisi Gereja pertama-tama mengajarkan bahwa kekuasaan-kekuasaan jahat inilah yang menyebabkan timbulnya kejahatan yang menghantar manusia kepada dosa. Kejahatan dan dosa tidak hanya terbatas dalam suanggi itu sendiri, tetapi juga berkembang manakala ada sikap saling iri hati, dendam, tuduh-menuduh dan saling curiga. Oleh karena itu, akar kejahatan ini perlu untuk disadari dan perlahan dilenyapkan dari dalam hati manusia.
Kedua, para agen pastoral juga hendaknya mewartakan tentang Allah yang merangkul dan mengampuni manusia. Allah yang demikian tidak menghitung-hitung kesalahan, tetapi mau mengangkat manusia dari lumpar dosa supaya manusia bisa hidup lagi secara bebas dan wajar.[11] Kita semua adalah satu kesatuan yang membentuk Tubuh Kristus di mana seharusnya tumbuh dan berkembang sikap saling mendukung, memperhatikan dan mencintai. Maka, para agen pastoral juga harus menjadi pemersatu dan perangkul segala keterpecahan yang dialami umat sambil berusaha untuk mengembangkan semangat cinta kasih dan pengampunan sebagaimana diwartakan oleh Kristus sendiri.
Ketiga, berkaitan dengan praktek eksorsisme yang dibuat oleh agen-agen pastoral hendaknya diperhatikan agar sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Bapa Suci.[12] Hal ini penting karena eksorsisme yang pada awalnya mempunyai maksud “mengusir roh jahat dengan keras berkat kuasa ilahi” itu telah menjadi kabur dalam sejarah. Eksorsisme sering mencari caranya sendiri agar laris dan dibutuhkan oleh banyak orang.
Adapun usaha-usaha penyadaran dan pewartaan kepada umat ini dapat dilaksanakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan pastoral seperti Doa Rosario dan Novena bersama, kegiatan katekese dan sharing bersama, perayaan sakramen dan sakramentali, pertemuan-pertemuan antar organisasi-organisasi kerohanian gereja seperti Legio Maria, St. Anna, THS-THM, Orang Muda Katolik  (OMK), dll. Kegiatan-kegiatan seperti ini tidak hanya diprakarsai oleh agen-agen pastoral saja seperti para pastor paroki, biarawan/I, katekekis, dewan dan pengurus paroki, tetapi juga oleh semua umat sebagai satu kesatuan dari Gereja.

4.2. Secara Teologis
Kelompok menganjurkan agar fenomena kepercayaan terhadap suanggi ini perlu untuk direfleksikan secara khusus dalam ajaran teologis yang resmi dari Magisterium Gereja. Hal ini dimaksudkan agar umat memiliki referensi yang kuat ketika berbicara tentang suanggi dan mampu merefleksikan secara mendalam pengaruh kepercayaan terhadap suanggi ini dalam praksis hidup mereka sehari-hari.
Dalam surveinya tentang ketakpercayaan dan ketakpedulian keagamaan pada bulan Maret 2004, Ketua Dewan Kepausan untuk Bidang Kebudayaan mengatakan bahwa: “Mereka yang berpandangan negatif terhadap bentuk kesalehan dalam bentuk penghormatan kepada para leluhur cenderung untuk menganggapnya sebagai berhala, kepercayaan sia-sia, takhayul, animisme atau nekromasi. Orang yang mempraktikkannya adalah orang Kristen pada siang hari dan animis pada malam hari”.[13] Tanpa diikuti oleh sebuah usaha untuk studi dan mengerti praktik kesalehan agama-agama asli secara mendalam, semua pernyataan ini akan tetap tinggal tanpa dasar yang benar. Hemat kelompok, fenomena kepercayaan terhadap suanggi juga perlu mendapat refleksi teologis yang mendalam agar dapat “dipertanggungjawabkan” sesuai dengan terang iman.

4.3. Misi Anda Sekarang
Kelompok menganjurkan dua misi penting yang perlu untuk dilakukan saat ini berkaitan dengan fenomena kepercayaan terhadap suanggi.
Pertama, memberikan penyadaran tentang efek negatif yang telah terjadi dari kepercayaan masyarakat Belu terhadap suanggi, yakni timbulnya keterpecahan, baik dalam hal iman maupun dengan sesama anggota gereja yang lain. Dalam kaitannya dengan iman, kelompok berusaha untuk menyadarkan umat akan adanya bahaya dari kekuatan-kekuatan jahat seperti itu dan oleh karenanya sangat diperlukan iman yang matang dan dewasa dari dalam diri umat itu sendiri. Iman yang matang dan dewasa kiranya juga dapat menjadi kekuatas yang dapat mempersatukan kembali umat dan membebaskan umat dari sikap-sikap seperti iri hati dan kebencian.
Kedua, berkaitan dengan pengalaman nyata di mana orang-orang yang dituduh sebagai suanggi itu  telah disingkirkan dan diekskomunikasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka kelompok merasa penting untuk membuat pendekatan yang personal-persuasif dengan mereka. Jadi pendekatan ini tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang merasa diri sebagai “korban suanggi”, tetapi juga terhadap mereka yang dituduh sebagai suanggi itu sendiri. Hal ini dimaksudkan agar akar persoalan dapat menjadi jelas dan umat dapat dipersatukan kembali ke dalam satu wadah yaitu Gereja.

V. Kesimpulan Teologis Bagi Pastoral Parokial
Berdasarkan uraian dan refleksi kritis terhadap fenomena kepercayaan suanggi dalam kaitannya dengan penghayatan iman dari masyarakat Belu, maka kelompok memberikan beberapa kesimpulan teologis yang kiranya menjadi bahan pertimbangan bagi pelaksanaan pastoral parokial.
Pertama, fenomena kepercayaan terhadap suanggi dalam konteks kehidupan masyarakat Belu dapat dimengerti dalam terang iman dan teologi. Fenomena ini ibarat suatu proses panjang yang lahir dari dosa dan pengalaman kejatuhan yang dialami oleh manusia. Fenomena ini menampakkan secara jelas inti dari mekanisme dosa yakni kehilangan kepercayaan akan Allah, sumber dan penjamin hidup manusia. Keterpisahan dengan Allah menghasilkan suatu ketakutan eksistensial akan kehilangan hidup sehingga memaksa manusia untuk mencari jaminan hidup dengan daya sendiri walaupun mengorbankan orang lain. Dosa dan kejahatan manusia semakin kelihatan manakala manusia memandang kekuatan-kekuatan jahat itu sebagai pemberi jaminan bagi hidup dan keselamatan manusia sendiri.
Kedua, fenomena suanggi, dalam konteks masyarakat Belu, adalah “ciptaan yang persona” (pribadi).[14] Dalam hal ini, Suanggi dimengerti sebagai persona dan personifikasi. Suanggi dikatakan sebagai persona karena ia adalah mahluk spiritual yang mempunyai peranan dalam kehidupan manusia, tetapi ia juga dipahami sebagai pelambangan atau pengumpamaan sesuatu sebagai orang (personifikasi). Misalnya, sosok suanggi yang diidentikkan dengan seseorang atau pribadi tertentu. Hal ini menampakkan secara jelas bahwa suanggi atau kekuatan-kekuatan jahat itu dipahami sebagai seorang manusia tertentu sehingga perlu ada sikap saling curiga dan waspada satu terhadap yang lain.

Ketiga, perjalanan panjang dosa dan kesalahan manusia sampai kepada kepercayaan terhadap suanggi menuntut sebuah kesadaran dalam diri manusia untuk bertobat dan kembali kepada Allah. Dosa dan kesalahan itu telah menyebabkan iman manusia kepada Allah menjadi kabur dan merusakkan hubungan manusia, baik dengan Allah, sesama dan alam lingkungan sekitar. Maka pertobatan diperlukan agar manusia dapat dibebaskan dari dosa dan dipersatukan kembali, baik dengan Allah sendiri, sesama di sekitar dan alam lingkungan tempat di mana manusia hidup.

VI. Penutup
Kepercayaan terhadap suanggi dalam masyarakat Belu memang membawa dampak negative, baik itu dalam kehidupan iman umat maupun dalam kehidupan sosial masyarakat pada umumnya. Kepercayaan terhadap suanggi juga telah membawa kerugian bagi hubungan relasi dan kekerabatan masyarakat Belu sendiri. Hal ini dikarenakan wujud dari suanggi atau kekuatan-kekuatan jahat itu dipersonifikasikan dalam diri wujud seorang manusia yang serupa dengan sesamanya. Maka tidak salah juga kalau dikatakan bahwa kepercayaan terhadap suanggi ini telah menjadikan manusia menjadi serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus).
Adanya dualisme kepercayaan, perpecahan ditengah umat, sikap iri hati dan dendam, permusuhan dan kebencian, menyadarkan manusia bahwa semuanya itu merupakan akibat lanjut dari dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya. Kiranya kesadaran ini lantas tidak membuat manusia kehilangan arah, melainkan berusaha untuk memperbaiki hubungan yang rusak dengan sesama serta bertobat dan kembali kepada Allah. Dengannya, manusia akan memperoleh rahmat penebusan dan keselamatan sebagaimana yang diwartakan oleh Yesus Kristus.







DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-Buku Dan Manuskrip:

Doredae Ansel, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Mn.). Maumere: Ledalero. Tanpa Tahun.

Jebadu, Alex. Bukan Berhala: Penghormatan Kepada Para Leluhur. Maumere: Ledalero. 2009.

Kirchberger, Georg. Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani. Maumere: Ledalero. 2007.

Poerwanto, YR. Edy. OMK Alergi Politik? No Way?!. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

Pranjana, Stefanus. Setan Menurut Orang Katolik: Perspektif Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 2009.

Kamus:

Sugono, Dendy et al. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Wehmeier, Sally (ed). Oxford Advanced Learner,s Dictionary. New York: Oxford University Press.  2005.

Internet:


Wawancara:

Bpk. Fransiskus Fahik via Handphone pada hari Rabu, tanggal 7 Maret 2012, pkl. 15.00 WITA.






[1] Ansel Doredae, Manusia dan Kebudayaan Indonesia (Mn.) ( Maumere: Ledalero),  hlm. 42.
[2] Bahan dalam Bab II ini merupakan hasil wawancara kelompok dengan Bpk. Fransiskus Fahik via Handphone pada hari Rabu, tanggal 7 Maret 2012, pkl. 15.00 WITA dan ditambah dengan beberapa sumber lain. Bpk. Fransiskus Fahik saat ini berdomisili di Kampung Adat Taeksoruk, Atambua. Beliau  adalah seorang tokoh adat dan tokoh masyarakat yang cukup berpengaruh dan sering dipercaya untuk menangani masalah-masalah berhubungan dengan adat istiadat – kepercayaan  masyarakat setempat.

[3] Dendy Sugono et al., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), p. 1343.

[4] Sally Wehmeier (ed), Oxford Advanced Learner,s Dictionary (New York: Oxford University Press, 2005), hal. 1753.
[5] Atambua adalah ibukota Kabupaten Belu, dengan luas wilayah 2445,6 km2 dan berada 500 meter di atas permuksaan laut. Jarak Kupang dan Atambua lebih kurang 290 km.

[6] http://www.nttprov.go.id/ntt_09/index.php?hal=budtimor. Di akses  pada tanggal 16 Februari 2012.

[7] Bdk. YR. Edy Poerwanto, OMK Alergi Politik? No Way?! (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 10-15.

[8] Gereja, seturut ajaran Magisteriumnya, berbicara tentang dosa manusia yang merusakkan dunia yang  pada mulanya diciptakan oleh Allah dalam keadaan baik. Lht. Georg Kirchberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), hlm. 297-329.
[9] Ibid., hlm. 336.

[10] Stefanus Pranjana, Setan Menurut Orang Katolik: Perspektif Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 161.

[11] Kirchberger,  Loc. cit.

[12] Dalam Kitab Hukum Kanonik no. 1172 dijelaskan tentang izin eksorsisme dari Ordinaris Wilayah atau Keusukupan. Sesudah Konsili Vatikan II tata upacara eksorsisme mengikuti Rituale Romanum tahun 1952. Adapun tentang Aturan umum pelaksanaan eksorsisme, lht. Pranjana, op.cit., hlm. 177-186.
[13] Alex Jebadu, Bukan Berhala: Penghormatan Kepada Para Leluhur  (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 5.
[14] Pranjana, op.cit., hlm. 126

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama