Kasus intoleransi kembali terjadi di sekolah.
Institusi pendidikan yang seharusnya menjadi habitus yang kondusif bagi
keberagaman justru dikembangkan ke arah yang keliru. Beredarnya sebuah video di
media sosial yang menunjukkan adu argumen antara orangtua siswa dengan pihak
guru soal kewajiban menggunakan hijab, termasuk kepada siswi non-muslim adalah
salah satu bukti bahwa persoalan intoleransi masih menjadi masalah di institusi
pendidikan.
Jeni Cahyani Hia yang merupakan salah satu murid
non-muslim di SMK 2 Padang menolak mengenakan hijab. Dengan dalih sudah
merupakan aturan sekolah dan kelaziman, dalam video terungkap bagaimana pihak
sekolah bersikeras agar siswa non-muslim seperti Jeni mau memakai hijab. Di SMK
2 Padang tersebut ternyata ada 46 siswi non-muslim yang mengenakan hijab dalam
aktivitas sehari-hari di sekolah, kecuali Jeni.
Bukan
Hal Baru
Di Indonesia, tindakan mendiskriminasi siswa yang
berbeda agama bukanlah hal yang baru. Sebelum kasus SMK 2 Padang terungkap,
kasus serupa pernah pula terjadi di DKI Jakarta. Salah seorang guru mengirim
pesan di Grup WhatsApp siswa agar memiliki Ketua OSIS yang seakidah. Di
berbagai sekolah ditengarai kasus intoleransi tidak hanya terjadi di satu-dua
sekolah.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa praktik
intoleransi keagamaan di Indonesia dan di berbagai belahan dunia dari tahun ke
tahun terus mengalami peningkatan (Hamayotsu, 2013; Qodir, 2016; Mietzner,
2018). Bentuk-bentuk tindakan intoleransi keagamaan yang terjadi di Indonesia
bukan hanya berupa diskriminasi perlakuan terhadap agama minoritas, pembatasan
aktivitas ibadah, pelarangan pendirian tempat ibadah, tetapi juga terjadi di
sekolah.
Dalam sebuah laporan bertajuk Global Uptick in
Government Restrictions on Religion in 2016, Pew Research Center mencatat
terjadinya peningkatan praktik intoleransi keagamaan terhadap kelompok-kelompok
agama minoritas. Dari 198 negara yang disurvei, Pew Research Center menemukan
28% di antaranya melakukan pembatasan ketat atau sangat ketat terhadap
aktivitas keagamaan minoritas melalui undang-undang atau tindakan aparat
negara.
Di samping itu, terdapat 27% negara yang memiliki tingkat kekerasan terhadap
agama yang tinggi atau sangat tinggi yang dilakukan oleh individu atau
organisasi non-negara. Secara keseluruhan, terdapat 83 negara (42%) yang
memiliki tingkat pembatasan atau pelarangan aktivitas keagamaan yang tinggi
atau sangat tinggi di seluruh dunia (Pew Research Center, 2018).
Di Indonesia, salah satu hal yang mencemaskan adalah
ketika praktik intoleransi mulai banyak bermunculan di institusi pendidikan.
Hasil penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif
Hidayatullah, misalnya, menunjukkan bahwa 43,88% dari 1.859 pelajar SMA yang
menjadi responden penelitian ini cenderung mendukung tindakan intoleran dan
6,56% mendukung paham radikal keagamaan (PPIM-UIN, 2017).
Studi yang dilakukan Suyanto dkk (2019) dari FISIP
Universitas Airlangga menemukan di kalangan pelajar, sikap dan perilaku
intoleransi di berbagai sekolah telah berkembang dalam skala yang cukup
meresahkan. Sekolah tidak hanya menjadi tempat bagi pelajar untuk belajar dan
menuntut ilmu demi masa depannya, tetapi juga menjadi ruang bagi terjadinya
infiltrasi pengaruh buruk dalam pergaulan sosial terhadap sesama pelajar.
Meski 67,6% responden mengaku tidak pernah melakukan
tindakan intoleransi kepada pelajar yang lain, tetapi sebanyak 32,4% mengaku
pernah, sedangkan 29,2% mengaku jarang dan 3,2% mengaku sering.
Memang, tidak selalu setiap waktu para pelajar
melakukan tindakan intoleran kepada teman sekolahnya. Pada saat tidak ada momen
yang memungkinkan dan menstimulasi mereka melakukan tindakan intoleran,
kehidupan dan pola pergaulan antarpelajar di sekolah berlangsung biasa-biasa
saja. Tetapi, lain soal ketika ada momen yang menstimulasi kemungkinan pelajar
tertentu melakukan tindakan intoleransi kepada pelajar yang lain.
Studi ini menemukan, pada saat ramai perbincangan
tentang pemilu, misalnya, sebagian pelajar terkadang terdorong melakukan
tindakan intoleransi kepada pelajar yang lain. Perbedaan ideologi dan siapa
tokoh yang mereka idolakan dalam pemilu menyebabkan sebagian pelajar tak segan
melakukan tindakan intoleransi kepada temannya.
Bersikap dan bertindak intoleran bagi sebagian
pelajar sudah bukan hal yang terlalu mengherankan. Tidak hanya melakukan
tindakan intoleransi yang dilandasi oleh sikap menolak perbedaan, dalam
kehidupan sehari-hari di sekolah sebagian pelajar mengaku juga terbiasa melakukan
tindakan perundungan atau persekusi.
Sebanyak 36,2% responden mengaku pernah melakukan
tindakan perundungan meski intensitasnya jarang. Sementara itu, sebanyak 5,8%
responden mengaku sering melakukan tindakan persekusi kepada teman yang lain.
Bentuk persekusi yang dilakukan pelajar kepada
teman-temannya sebagian besar (33%) dalam bentuk verbal abuse, yakni
berkata kasar, seperti memaki, menghardik, dan sejenisnya yang menyakitkan
hati. Sementara itu, bentuk persekusi lain adalah melakukan tindakan bullying (14,4%),
menyebarkan rumor yang tidak benar (11,4%), atau melakukan tindakan fisik
kepada temannya, seperti memukul, menendang, dan sejenisnya (6,4%).
Fakta Menarik Pelantikan Joe Biden-Kamala Harris Sebagai Presiden dan Wakil Presiden AS (21/01/2021)
VIRAL Cari Uang Jajan,Gadis 21 Tahun Nekat Lakukan Adegan Asusila di Halte Busway Dibayar Rp 22 Ribu
Berefek Buruk
Secara sosiologis, tindakan intoleransi keagamaan di
Indonesia, termasuk di kalangan pelajar, umumnya dipengaruhi oleh berbagai
faktor. Qodir (2016) menyatakan bahwa faktor keagamaan (pemahaman dangkal
terhadap ajaran agama), faktor psikologis (usia remaja yang labil), faktor
politik (akses politik anak muda yang relatif minim), serta faktor ekonomi
(kemiskinan dan ketimpangan kondisi ekonomi) turut berperan penting dalam
mendorong peningkatan praktik intoleransi keagamaan di Indonesia.
Di sisi lain, tren peningkatan praktik intoleransi keagamaan ini tampaknya juga
sejalan dengan fenomena makin maraknya praktik politik identitas, meningkatnya
aksi terorisme, dan pembusukan sistem demokrasi yang tengah terjadi di banyak
negara di dunia (Clarke, 2013; Fukuyama, 2018).
Terlepas dari faktor apa yang mempengaruhi, praktik
intoleransi --seperti pemaksaan pemakaian hijab kepada siswi non-muslim yang
terjadi di SMK 2 Padang-- niscaya akan bisa berefek buruk bagi perkembangan
sosial-psikologis siswa. Tindakan pemaksaan itu bukan hanya melanggar hak asasi
anak, tetapi juga berisiko menjadi investasi sikap sempit dan bahkan kultur
kekerasan menghadapi keberagaman yang sebetulnya menjadi roh dan identitas
bangsa Indonesia yang multipluralis.
Mendikbud Nadiem Makarim telah menegaskan bahwa
sistem pendidikan di Indonesia tidak diskriminatif. Seorang kepala sekolah,
guru, dan juga siswa, mereka semua tak pelak harus inklusif, terbuka, dan
antidiskriminasi.
Inspirasi Jalan Setapak,
Selasa, 26 Januari 2021
https://studio.youtube.com/channel/UCxVQCeJUIoheaOCYsSSBCXw