Belakangan ini, tiap
kali ada demo terutama dari mahasiswa pasti muncul komentar yang meremehkan:
“Cuma bisa teriak-teriak, nggak ngaruh juga,” atau “Kenapa nggak demo di dunia
nyata aja, jangan di jalanan.” Lucunya, yang komentar begitu seringnya orang
yang tak pernah tahu rasanya hidup di bawah tekanan sistem yang seolah tuli.
Saya tidak sedang
memuja demo sebagai jalan satu-satunya. Tapi mari jujur apa yang tersisa saat
ruang aspirasi dikunci rapat, saat kritik dikriminalisasi, dan saat yang punya
kuasa lebih sibuk bermain citra daripada mendengar? Demo hadir bukan karena
suka ribut, tapi karena diam pun tak lagi didengar.
Demo itu tentang
menyuarakan yang tidak punya ruang bicara. Saat harga naik, upah tetap, dan
aturan makin mencekik, siapa lagi yang akan berteriak kalau bukan mahasiswa
atau rakyat yang sadar? Kita terlalu sering diminta bersabar, diminta memahami
keadaan negara, diminta menunggu janji yang entah kapan lunasnya. Tapi sampai
kapan?
Yang lebih menyakitkan,
reaksi terhadap demo kadang lebih keras dari pada terhadap penyebab demo itu
sendiri. Mahasiswa dibungkam, dibentak, ditarik, bahkan dicap radikal. Padahal,
yang mereka lakukan hanyalah membunyikan alarm: “Ada yang tidak beres di atas
sana!”
Apakah semua demo
selalu benar? Tentu tidak. Ada yang rusuh, ada yang ditunggangi. Tapi jangan
karena sebagian, kita lantas menutup mata terhadap substansi. Lihat
tuntutannya, dengar alasannya. Jangan hanya nilai dari keramaian dan spanduk
marah. Karena di balik poster itu, ada cerita hidup, ada keresahan nyata.
Demo adalah wajah lain
dari demokrasi. Kalau negara ini masih mau menyebut dirinya demokratis, maka
suara di jalan jangan dimatikan justru harus dicatat, dikaji, dan dijawab.
Sebab demo bukan gangguan, tapi pengingat: bahwa negara ini punya rakyat yang
masih peduli, yang masih mau bersuara, bahkan saat harapan
nyaris tak tersisa.