Di atas kertas,
pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, kenyataan di lapangan berkata
lain. Yang tampak justru kebingungan struktural, kebijakan tambal sulam, dan
semangat belajar yang tak seragam nadanya. Di kota, anak-anak menatap masa
depan dengan penuh harapan. Sementara di desa, terlebih di wilayah tertinggal
dan marjinal, mimpi-mimpi harus dipangkas oleh keterbatasan fasilitas dan
kebijakan yang tak berpihak.
Ironi ini tampak nyata:
di negeri yang menjunjung tinggi asas keadilan dalam semangat nilai Pancasila,
masih banyak anak yang harus berjuang sekadar untuk mengakses ruang belajar
yang layak. Di balik laporan resmi dan statistik keberhasilan, luka ketimpangan
belum juga sembuh. Kurikulum nasional, yang sejatinya menjadi alat pemersatu,
justru menjelma menjadi medan kontestasi ideologis, sarana untuk mengukuhkan
arah politik kekuasaan yang datang dalam momentumnya.
Setiap kali kursi
menteri berganti, semangat perubahan datang tanpa peta jalan yang jelas. Guru
dilanda kebingungan, siswa kehilangan pegangan, dan sekolah berjalan seolah
tanpa arah. Pendidikan nasional pun tampak seperti ladang eksperimen yang tak
pernah tuntas, dihiasi jargon baru saban periode kekuasaan.
Alih-alih meretas
ketimpangan, pemerintah pusat justru sibuk memperkenalkan model-model sekolah
baru: Sekolah Rakyat, Sekolah Unggulan, hingga Sekolah Garuda. Namun
sekolah-sekolah lama masih terseok. Ruang kelas bocor, bangunan kelas numpang,
dan guru honorer yang nasibnya tidak menetu, menjadi potret suram pendidikan
Nasional.
Fokus anggaran lebih
banyak diarahkan pada pembangunan infrastruktur simbolik yang dekat dengan
pusat kekuasaan. Sekolah unggulan terus dipoles seolah menjadi etalase
keberhasilan, sementara sekolah-sekolah di pelosok menanti uluran tangan yang
tak kunjung tiba.
Padahal, sehebat apa
pun kurikulum dirancang, para gurulah ujung tombaknya. Namun, bagaimana mereka
bisa berkarya jika kesejahteraan mereka diabaikan? Bagaimana pembelajaran bisa
berlangsung jika ruang kelas masih menumpang di bangunan lain?
Lihatlah di daerah
Huamual, Seram Bagian Barat, Maluku. Seperti dilaporkan trenstv45.com (15 Mei
2025), sebuah sekolah negeri di sana belum memiliki satu ruang kelas pun sejak
berdiri pada 2016. Papan nama dan kantor guru terpaksa dipasang di ruang kelas
SD yang dipinjamkan. Di atas kertas, standar nasional ditegakkan. Tapi di
lapangan, ruang belajar pun belum tersedia. Apakah kita masih berharap kualitas
pendidikan bisa tumbuh dari ketimpangan semacam ini?
Mimpi Indonesia Emas
seolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang lahir di sekitar pusat kekuasaan.
Anak-anak di pelosok harus berjalan lebih jauh hanya untuk mengakses hak dasar
mereka. Skema lama terus berulang: menarik anak-anak desa untuk “diselamatkan”
di kota. Sebagian berhasil, tapi banyak yang tak pernah kembali, meninggalkan
desa tanpa regenerasi.
Kini saatnya arah
dibalik. Bukan anak kampung yang datang ke kota, tapi kualitas pendidikan kota
yang menjangkau kampung. Pemerataan pendidikan harus dimulai dari infrastruktur
dasar: ruang kelas yang layak, guru berkualitas, fasilitas pembelajaran yang
memadai—semuanya harus hadir hingga pelosok negeri, tanpa kecuali.
Jika itu diwujudkan,
anak-anak di pedalaman pun akan mampu bersaing. Namun selama ketimpangan
sistemik dibiarkan, pendidikan hanya akan melanggengkan ketertinggalan. Seolah
Indonesia hanya milik mereka yang dekat kekuasaan.
Ketimpangan pendidikan
kian menguat ketika Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi
(Kendiktisaiklnstek) mengalihkan haluan kurikulum dari semangat Merdeka
Belajar–Kampus Merdeka menuju paradigma baru: Disaintek Berdampak.
Fokus utama diarahkan
pada inovasi dan riset. Namun ironis, lembaga yang dibentuk untuk memperkuat
pendidikan tinggi justru mulai menjangkau wilayah pendidikan menengah. Dua
model sekolah pun diperkenalkan: Garuda Transformasi dan Garuda Baru.
Sekilas, kebijakan ini
tampak progresif. Namun dalam realitahnya, akan memperlebar jurang pemisah.
Sekolah unggulan dirancang eksklusif, disokong subsidi besar dan menerapkan
kurikulum ganda: nasional dan internasional (IB). Anak-anak dari kalangan
berada dipersiapkan menjadi “warga global”. Sementara itu, Sekolah Rakyat hadir
sebagai tempat penampung bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin
ekstrem, dengan harapan yang kecil untuk menembus batas sosial.
Di tengah skema ini,
sekolah-sekolah yang dibangun atas prakarsa masyarakat nyaris terabaikan.
Satuan pendidikan itu hanya bisa bertahan sejauh kebijakan memberi ruang. Tanpa
dukungan nyata, sekolah itu tetap terpinggirkan.
Ketimpangan semakin
menjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi ruang keadilan, tetapi ajang seleksi
siapa yang dianggap layak “diinvestasikan”, dan siapa yang sekadar “dirawat”
agar tidak jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan struktural.
Kurikulum Merdeka yang
sempat dielu-elukan kini mulai kehilangan daya dobrak. Skema lintas minat yang
menggantikan sistem penjurusan di SMA justru menimbulkan kebingungan baru, baik
bagi siswa maupun guru. Program Guru Penggerak yang dulu menggeliat di
ruang-ruang virtual kini meredup di lapangan. Menanggapi kekacauan ini,
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendismen) kembali mewacanakan
sistem penjurusan, kali ini dibalut pendekatan Deep Learning. Di saat yang
sama, Kementerian Agama memperkenalkan Kurikulum Cinta, sementara Kementerian
Sosial turut turun gelanggang melalui platform Sekolah Rakyat.
Dampaknya, arah
pendidikan terus bergeser tanpa arah yang jelas. Padahal, masih banyak satuan
pendidikan baru mulai menerapkan Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran 2024/2025.
Belum ada lulusan pertama, belum sempat dipahami secara utuh, apalagi
dievaluasi menyeluruh—kebijakan baru sudah kembali diluncurkan.
Kini, ada pula sekolah
unggulan, Garuda Transformasi dan Garuda Baru, mengusung kurikulum hibrida yang
menggabungkan standar nasional dan International Baccalaureate. Di sisi lain,
Sekolah Rakyat menyusun kurikulumnya sendiri. Lanskap pendidikan nasional pun
menjadi terpecah-pecah.
Alih-alih menyatukan,
sistem ini justru menciptakan fragmentasi yang dilembagakan. Setiap menteri
seakan berlomba meninggalkan jejak dalam bentuk kurikulum baru. Padahal
pendidikan bukan panggung pencitraan, melainkan tiang penyangga peradaban.
Dalam pusaran kebijakan yang berubah cepat, yang paling terhimpit adalah guru
dan siswa—mereka yang berada di garda terdepan, namun kerap diabaikan dalam
perencanaan.
Indonesia tidak butuh
kurikulum baru saban lima tahunan. Yang dibutuhkan adalah konsensus nasional:
kurikulum yang stabil, ilmiah, tahan terhadap arus politik sesaat, dan berpijak
pada realitas pendidikan di lapangan. Jika kurikulum terus menjadi alat legitimasi
kekuasaan, maka pendidikan akan kehilangan jiwanya.
Saat itu terjadi, yang
hilang bukan sekadar arah, tapi masa depan bangsa. Ketika kurikulum tak lagi
berpihak pada guru, murid, dan kebutuhan sekolah, maka ia kehilangan makna
sebagai alat pembebasan, tetapi justru berubah menjadi panggung politik yang
mengekang. **