banner Ketika Kurikulum Tak Lagi Milik Pendidikan

Ketika Kurikulum Tak Lagi Milik Pendidikan



Suara Numbei News -Kurikulum tak lagi menjadi instrumen pendidikan, melainkan produk politik lima tahunan. Seperangkat rancangan pendidikan itu, datang membawa identitas, jargon, dan agenda masing-masing, semuanya diklaim demi “anak bangsa”.

Di atas kertas, pendidikan adalah hak setiap warga negara. Namun, kenyataan di lapangan berkata lain. Yang tampak justru kebingungan struktural, kebijakan tambal sulam, dan semangat belajar yang tak seragam nadanya. Di kota, anak-anak menatap masa depan dengan penuh harapan. Sementara di desa, terlebih di wilayah tertinggal dan marjinal, mimpi-mimpi harus dipangkas oleh keterbatasan fasilitas dan kebijakan yang tak berpihak.

Ironi ini tampak nyata: di negeri yang menjunjung tinggi asas keadilan dalam semangat nilai Pancasila, masih banyak anak yang harus berjuang sekadar untuk mengakses ruang belajar yang layak. Di balik laporan resmi dan statistik keberhasilan, luka ketimpangan belum juga sembuh. Kurikulum nasional, yang sejatinya menjadi alat pemersatu, justru menjelma menjadi medan kontestasi ideologis, sarana untuk mengukuhkan arah politik kekuasaan yang datang dalam momentumnya.

Setiap kali kursi menteri berganti, semangat perubahan datang tanpa peta jalan yang jelas. Guru dilanda kebingungan, siswa kehilangan pegangan, dan sekolah berjalan seolah tanpa arah. Pendidikan nasional pun tampak seperti ladang eksperimen yang tak pernah tuntas, dihiasi jargon baru saban periode kekuasaan.

Alih-alih meretas ketimpangan, pemerintah pusat justru sibuk memperkenalkan model-model sekolah baru: Sekolah Rakyat, Sekolah Unggulan, hingga Sekolah Garuda. Namun sekolah-sekolah lama masih terseok. Ruang kelas bocor, bangunan kelas numpang, dan guru honorer yang nasibnya tidak menetu, menjadi potret suram pendidikan Nasional.

Fokus anggaran lebih banyak diarahkan pada pembangunan infrastruktur simbolik yang dekat dengan pusat kekuasaan. Sekolah unggulan terus dipoles seolah menjadi etalase keberhasilan, sementara sekolah-sekolah di pelosok menanti uluran tangan yang tak kunjung tiba.

Padahal, sehebat apa pun kurikulum dirancang, para gurulah ujung tombaknya. Namun, bagaimana mereka bisa berkarya jika kesejahteraan mereka diabaikan? Bagaimana pembelajaran bisa berlangsung jika ruang kelas masih menumpang di bangunan lain?

Lihatlah di daerah Huamual, Seram Bagian Barat, Maluku. Seperti dilaporkan trenstv45.com (15 Mei 2025), sebuah sekolah negeri di sana belum memiliki satu ruang kelas pun sejak berdiri pada 2016. Papan nama dan kantor guru terpaksa dipasang di ruang kelas SD yang dipinjamkan. Di atas kertas, standar nasional ditegakkan. Tapi di lapangan, ruang belajar pun belum tersedia. Apakah kita masih berharap kualitas pendidikan bisa tumbuh dari ketimpangan semacam ini?

Mimpi Indonesia Emas seolah hanya diperuntukkan bagi mereka yang lahir di sekitar pusat kekuasaan. Anak-anak di pelosok harus berjalan lebih jauh hanya untuk mengakses hak dasar mereka. Skema lama terus berulang: menarik anak-anak desa untuk “diselamatkan” di kota. Sebagian berhasil, tapi banyak yang tak pernah kembali, meninggalkan desa tanpa regenerasi.

Kini saatnya arah dibalik. Bukan anak kampung yang datang ke kota, tapi kualitas pendidikan kota yang menjangkau kampung. Pemerataan pendidikan harus dimulai dari infrastruktur dasar: ruang kelas yang layak, guru berkualitas, fasilitas pembelajaran yang memadai—semuanya harus hadir hingga pelosok negeri, tanpa kecuali.

Jika itu diwujudkan, anak-anak di pedalaman pun akan mampu bersaing. Namun selama ketimpangan sistemik dibiarkan, pendidikan hanya akan melanggengkan ketertinggalan. Seolah Indonesia hanya milik mereka yang dekat kekuasaan.

Ketimpangan pendidikan kian menguat ketika Kementerian Pendidikan, Sains, dan Teknologi (Kendiktisaiklnstek) mengalihkan haluan kurikulum dari semangat Merdeka Belajar–Kampus Merdeka menuju paradigma baru: Disaintek Berdampak.

Fokus utama diarahkan pada inovasi dan riset. Namun ironis, lembaga yang dibentuk untuk memperkuat pendidikan tinggi justru mulai menjangkau wilayah pendidikan menengah. Dua model sekolah pun diperkenalkan: Garuda Transformasi dan Garuda Baru.

Sekilas, kebijakan ini tampak progresif. Namun dalam realitahnya, akan memperlebar jurang pemisah. Sekolah unggulan dirancang eksklusif, disokong subsidi besar dan menerapkan kurikulum ganda: nasional dan internasional (IB). Anak-anak dari kalangan berada dipersiapkan menjadi “warga global”. Sementara itu, Sekolah Rakyat hadir sebagai tempat penampung bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, dengan harapan yang kecil untuk menembus batas sosial.

Di tengah skema ini, sekolah-sekolah yang dibangun atas prakarsa masyarakat nyaris terabaikan. Satuan pendidikan itu hanya bisa bertahan sejauh kebijakan memberi ruang. Tanpa dukungan nyata, sekolah itu tetap terpinggirkan.

Ketimpangan semakin menjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi ruang keadilan, tetapi ajang seleksi siapa yang dianggap layak “diinvestasikan”, dan siapa yang sekadar “dirawat” agar tidak jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan struktural.

Kurikulum Merdeka yang sempat dielu-elukan kini mulai kehilangan daya dobrak. Skema lintas minat yang menggantikan sistem penjurusan di SMA justru menimbulkan kebingungan baru, baik bagi siswa maupun guru. Program Guru Penggerak yang dulu menggeliat di ruang-ruang virtual kini meredup di lapangan. Menanggapi kekacauan ini, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendismen) kembali mewacanakan sistem penjurusan, kali ini dibalut pendekatan Deep Learning. Di saat yang sama, Kementerian Agama memperkenalkan Kurikulum Cinta, sementara Kementerian Sosial turut turun gelanggang melalui platform Sekolah Rakyat.

Dampaknya, arah pendidikan terus bergeser tanpa arah yang jelas. Padahal, masih banyak satuan pendidikan baru mulai menerapkan Kurikulum Merdeka pada tahun ajaran 2024/2025. Belum ada lulusan pertama, belum sempat dipahami secara utuh, apalagi dievaluasi menyeluruh—kebijakan baru sudah kembali diluncurkan.

Kini, ada pula sekolah unggulan, Garuda Transformasi dan Garuda Baru, mengusung kurikulum hibrida yang menggabungkan standar nasional dan International Baccalaureate. Di sisi lain, Sekolah Rakyat menyusun kurikulumnya sendiri. Lanskap pendidikan nasional pun menjadi terpecah-pecah.

Alih-alih menyatukan, sistem ini justru menciptakan fragmentasi yang dilembagakan. Setiap menteri seakan berlomba meninggalkan jejak dalam bentuk kurikulum baru. Padahal pendidikan bukan panggung pencitraan, melainkan tiang penyangga peradaban. Dalam pusaran kebijakan yang berubah cepat, yang paling terhimpit adalah guru dan siswa—mereka yang berada di garda terdepan, namun kerap diabaikan dalam perencanaan.

Indonesia tidak butuh kurikulum baru saban lima tahunan. Yang dibutuhkan adalah konsensus nasional: kurikulum yang stabil, ilmiah, tahan terhadap arus politik sesaat, dan berpijak pada realitas pendidikan di lapangan. Jika kurikulum terus menjadi alat legitimasi kekuasaan, maka pendidikan akan kehilangan jiwanya.

Saat itu terjadi, yang hilang bukan sekadar arah, tapi masa depan bangsa. Ketika kurikulum tak lagi berpihak pada guru, murid, dan kebutuhan sekolah, maka ia kehilangan makna sebagai alat pembebasan, tetapi justru berubah menjadi panggung politik yang mengekang. **

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama