Melihat Benang Kusut Pencalonan Vicente sebagai Cawabup Belu

Melihat Benang Kusut Pencalonan Vicente sebagai Cawabup Belu

Ahli Pihak Terkait saat menyampaikan keterangan pada persidangan Perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Bupati Kabupaten Belu, Selasa (11/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto Humas/Bayu


Suara Numbei News - Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Belu Nomor Urut 2 Taolin Agustinus-Yulianus Tai Bere selaku Pemohon menghadirkan Dosen Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana Bernard Leo Odom Tanya sebagai Ahli dalam perselisihan hasil pemilihan umum bupati (PHPU Bupati) Kabupaten Belu. Dalam sidang tersebut, ia menyorot pelaksanaan tahapan penetapan hingga rekapitulasi suara pemilihan bupati (Pilbup) Kabupaten Belu yang cacat hukum karena meloloskan Vicente Hornai Gonsalves sebagai Calon Wakil Bupati Nomor Urut 1 atau Pihak Terkait.

Hal tersebut disampaikannya dalam Persidangan Pemeriksaan Lanjutan dengan agenda Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli untuk Perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 pada Selasa (11/2/2025). Adapun sidang tersebut dilaksanakan Panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Bernard melanjutkan, Vicente Hornai Gonsalves merupakan mantan terpidana kasus kejahatan terhadap anak di bawah umur. Calon Wakil Bupati Belu Nomor Urut 1 itu dikenakan Pasal 332 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berkaitan dengan perbuatan melarikan seorang perempuan yang usianya belum mencapai usia dewasa.

"Kejahatan pasal itu dikenal dalam bahasa Belanda sebagai ‘schaking’, yang secara leksikal berasal dari kata kerja ‘schaken’ yang berarti 'mencuri gadis'," ujar Bernard di Ruang sidang Pleno, Gedung I Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

Pemohon sendiri mendalilkan Vicente Hornai Gonsalves tak memenuhi persyaratan calon kepala daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Pilkada dijelaskan 21 syarat yang harus dipenuhi calon kepala daerah, salah satunya pada huruf g yang pada pokoknya mengatur mantan terpidana boleh mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), selama telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengumumkan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana.

Selanjutnya dalam Bab Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g UU Pilkada dijelaskan pengertian 'mantan terpidana'. Mantan terpidana adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik teknis maupun administratif, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.

"Keikutsertaan pasangan calon nomor urut 1 tidak sah sejak awal, maka seluruh tahap yang diikuti pasangan tersebut juga dianggap tidak sah dan melawan hukum," ujar Bernard.

Karena Pihak Terkait yang tak memenuhi syarat untuk maju dalam Pilbup Kabupaten Belu, sudah sewajarnya keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Belu terkait pemenang kontestasi juga batal demi hukum. Karena berdasarkan prinsip keadilan, tidaklah adil jika kerugian yang diakibatkan kesalahan KPU Kabupaten Belu selaku Termohon harus ditanggung pasangan calon yang tidak bermasalah.

Diskualifikasi Pihak Terkait adalah konsekuensi yang harus diterima KPU Kabupaten Belu sebagai penyelenggara yang meloloskan seseorang yang tak memenuhi syarat. Termasuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU) Pilbup Kabupaten Belu tanpa mengikutsertakan pasangan calon nomor urut 1.

"Konsekuensi logis terhadap Termohon adalah semua keputusan Termohon mulai dari penetapan pasangan calon, penetapan nomor urut, sampai dengan keputusan tentang penetapan hasil harus dinyatakan batal," ujar Bernard.

Sementara itu, KPU Kabupaten Belu selaku Termohon menghadirkan Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu periode 2017-2022 Ida Budhiati sebagai Ahli. Menurutnya, beban kesalahan terkait penetapan Pihak Terkait tidaklah bisa ditimpakan kepada KPU Kabupaten Belu.

Sebab KPU Kabupaten Belu pada dasarnya sudah melaksanakan tahapan penetapan pasangan calon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada pokoknya, Vicente Hornai Gonsalves sebagai Pihak Terkait telah memenuhi seluruh persyaratan kepesertaan Pilbup Kabupaten Belu, termasuk melampirkan surat catatan keterangan kepolisian (SKCK).

Jika terdapat kesalahan dari pihak yang berwenang menerbitkan SKCK untuk Vicente Hornai Gonsalves, tentu hal tersebut bukan merupakan kesalahan KPU Kabupaten Belu. Karenanya, ia meminta MK untuk melakukan pencermatan terkait fakta tersebut.

"Kesalahan tidak dapat ditimpakan kepada Pihak Terkait apabila yang bersangkutan telah mengurus berkas dokumen yang pada pokoknya mengisi pilihan keterangan "Pernah Dipidana" dan yang terbit justru adalah dokumen yang justru menyatakan sebaliknya tidak pernah dipidana," ujar Ida.

"Peristiwa demikian tidak perlu terjadi apabila lembaga-lembaga berwenang dalam menerbitkan dokumen tersebut menerbitkan keterangan sebagaimana yang diajukan sesuai dengan data yang sebenarnya," tegasnya.

Di samping itu, ia mengatakan bahwa KPU Kabupaten Belu juga sudah menindaklanjuti rekomendasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Belu soal dugaan pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilihan yang dilakukan Vicente Hornai Gonsalves. Telaah dan kajian sudah dilakukan Termohon terkait rekomendasi itu, tetapi pada akhirnya tetap menetapkan kepesertaan Pihak Terkait.

"Termohon telah melaksanakan tahapan pencalonan sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar Ida.

Saksi Pihak Terkait diambil sumpahnya pada persidangan Perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Bupati Kabupaten Belu, Selasa (11/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Foto Humas/Bayu


Bukan Kekerasan Seksual Terhadap Anak

Diketahui, Vicente Hornai Gonsalves sebagai calon wakil bupati nomor urut 1 pernah terlibat kasus tindak pidana melarikan anak di bawah umur pada 2003 dan divonis 11 bulan penjara pada Januari 2004. Yafet Yosafet Wilben Rissy yang dihadirkan sebagai Ahli Pihak Terkait menjelaskan, kasus tersebut bukanlah tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor: 186/PID/B/2003/PN.ATB tanggal 17 Januari 2004.

Guru Besar Universitas Ilmu Hukum Kristen Satya Wacana (UKSW) itu menyampaikan, Vicente Hornai Gonsalves dikenai Pasal 332 ayat 1 KUHP yang berkaitan dengan melarikan perempuan di bawah umur. Calon wakil bupati nomor urut 1 itu tidaklah dijatuhkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Jika dibaca putusan Pengadilan Negeri (Nomor) 186 Tahun 2004 itu secara nyata dan ini saya kutip di amar putusan nomor tiga menyatakan terdakwa Vicente dan seterusnya terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melarikan perempuan yang belum dewasa tanpa seizin orang tua atau walinya, menjatuhkan pidana oleh karena itu terdakwa 11 bulan penjara," ujar Yafet.

"Jadi tidak ada kejahatan kekerasan seksual di sana," sambungnya.

Lanjutnya dari sisi pengaturan Pasal 332 ayat 1 KUHP, melarikan perempuan di bawah umur adalah salah satu jenis tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sedangkan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak seperti pemerkosaan, pencabulan, dan persetubuhan diatur dalam Pasal 287 sampai Pasal 295 KUHP.

"Ahli berpendapat, jika dibandingkan antara Pasal Pasal 332 ayat 1 dengan Pasal 287 sampai Pasal 295, terlihat jelas bahwa tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tidaklah sama dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak. Tindak kekerasan seksual terhadap anak, tindak pidana itu diatur dalam undang-undang tersendiri, yakni dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual," ujar Yafet.

Dipenjara karena Hukum Adat

Sementara itu, saksi dari Pihak Terkait bernama Manuel Da Silva menceritakan bahwa Vicente Hornai Gonsalves memiliki hubungan asmara dengan seorang perempuan bernama Juliana Luisa Tai. Baik Manuel, Vicente Hornai Gonsalves, maupun Juliana Luisa Tai dulunya merupakan warga Timor Timur.

Untuk menikahi seorang perempuan, dalam adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenal istilah Belis, yakni tradisi pemberian mahar dari pihak laki-laki ke perempuan. Namun Manuel mengatakan, mahalnya mahar terkadang membuat seorang laki-laki dan perempuan memutuskan pura-pura kabur untuk melihat reaksi orang tua kedua pihak.

Hal tersebutlah yang terjadi kepada Vicente Hornai Gonsalves yang ingin menikahi Juliana Luisa Tai. Karena pada akhirnya orang tua kedua pihak tidak menyetujui hal tersebut, Vicente Hornai Gonsalves tak dapat menikahi Juliana Luisa Tai dan menerima hukum adat untuk dipenjara.

"Hukum adat itu kalau dia hukum adatnya tidak mampu karena takut sama keluarga, malu, itu harus dipenjarakan. Makanya itu seperti yang dimaksudkan Saudara Vicente maksud itu karena hukum adatnya, salah satu hukum adatnya," ujar Manuel.

Dalam Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 pada Selasa (14/1/2025), Pemohon mendalilkan calon wakil bupati nomor urut 1, Vicente Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan, karena pernah lakukan tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Salah satu petitumnya, mereka meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kabupaten Belu Nomor 746 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2024 tertanggal 5 Desember 2024 sepanjang perolehan suara Willybrodus Lay-Vicente Hornai Gonsalves.(*) mkri.id



 

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama