Hal tersebut
disampaikannya dalam Persidangan Pemeriksaan Lanjutan dengan agenda
Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli untuk Perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025
pada Selasa (11/2/2025). Adapun sidang tersebut dilaksanakan Panel 3 yang
dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat, dengan didampingi oleh Hakim
Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Bernard melanjutkan,
Vicente Hornai Gonsalves merupakan mantan terpidana kasus kejahatan terhadap
anak di bawah umur. Calon Wakil Bupati Belu Nomor Urut 1 itu dikenakan Pasal
332 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang berkaitan dengan
perbuatan melarikan seorang perempuan yang usianya belum mencapai usia dewasa.
"Kejahatan pasal
itu dikenal dalam bahasa Belanda sebagai ‘schaking’, yang secara leksikal
berasal dari kata kerja ‘schaken’ yang berarti 'mencuri gadis'," ujar
Bernard di Ruang sidang Pleno, Gedung I Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.
Pemohon sendiri
mendalilkan Vicente Hornai Gonsalves tak memenuhi persyaratan calon kepala
daerah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
Dalam Pasal 7 ayat (1)
UU Pilkada dijelaskan 21 syarat yang harus dipenuhi calon kepala daerah, salah
satunya pada huruf g yang pada pokoknya mengatur mantan terpidana boleh
mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), selama telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengumumkan kepada publik bahwa yang
bersangkutan adalah mantan terpidana.
Selanjutnya dalam Bab
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf g UU Pilkada dijelaskan pengertian 'mantan
terpidana'. Mantan terpidana adalah orang yang sudah tidak ada hubungan baik
teknis maupun administratif, kecuali mantan terpidana bandar narkoba dan
terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
"Keikutsertaan
pasangan calon nomor urut 1 tidak sah sejak awal, maka seluruh tahap yang
diikuti pasangan tersebut juga dianggap tidak sah dan melawan hukum," ujar
Bernard.
Karena Pihak Terkait
yang tak memenuhi syarat untuk maju dalam Pilbup Kabupaten Belu, sudah
sewajarnya keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Belu terkait
pemenang kontestasi juga batal demi hukum. Karena berdasarkan prinsip keadilan,
tidaklah adil jika kerugian yang diakibatkan kesalahan KPU Kabupaten Belu
selaku Termohon harus ditanggung pasangan calon yang tidak bermasalah.
Diskualifikasi Pihak
Terkait adalah konsekuensi yang harus diterima KPU Kabupaten Belu sebagai
penyelenggara yang meloloskan seseorang yang tak memenuhi syarat. Termasuk
menyelenggarakan pemungutan suara ulang (PSU) Pilbup Kabupaten Belu tanpa
mengikutsertakan pasangan calon nomor urut 1.
"Konsekuensi logis
terhadap Termohon adalah semua keputusan Termohon mulai dari penetapan pasangan
calon, penetapan nomor urut, sampai dengan keputusan tentang penetapan hasil harus
dinyatakan batal," ujar Bernard.
Sementara itu, KPU
Kabupaten Belu selaku Termohon menghadirkan Anggota Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu periode 2017-2022 Ida Budhiati sebagai Ahli. Menurutnya,
beban kesalahan terkait penetapan Pihak Terkait tidaklah bisa ditimpakan kepada
KPU Kabupaten Belu.
Sebab KPU Kabupaten
Belu pada dasarnya sudah melaksanakan tahapan penetapan pasangan calon sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada pokoknya, Vicente Hornai
Gonsalves sebagai Pihak Terkait telah memenuhi seluruh persyaratan kepesertaan
Pilbup Kabupaten Belu, termasuk melampirkan surat catatan keterangan kepolisian
(SKCK).
Jika terdapat kesalahan
dari pihak yang berwenang menerbitkan SKCK untuk Vicente Hornai Gonsalves,
tentu hal tersebut bukan merupakan kesalahan KPU Kabupaten Belu. Karenanya, ia
meminta MK untuk melakukan pencermatan terkait fakta tersebut.
"Kesalahan tidak
dapat ditimpakan kepada Pihak Terkait apabila yang bersangkutan telah mengurus
berkas dokumen yang pada pokoknya mengisi pilihan keterangan "Pernah
Dipidana" dan yang terbit justru adalah dokumen yang justru menyatakan
sebaliknya tidak pernah dipidana," ujar Ida.
"Peristiwa
demikian tidak perlu terjadi apabila lembaga-lembaga berwenang dalam
menerbitkan dokumen tersebut menerbitkan keterangan sebagaimana yang diajukan
sesuai dengan data yang sebenarnya," tegasnya.
Di samping itu, ia
mengatakan bahwa KPU Kabupaten Belu juga sudah menindaklanjuti rekomendasi
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Belu soal dugaan pelanggaran
administrasi dan tindak pidana pemilihan yang dilakukan Vicente Hornai
Gonsalves. Telaah dan kajian sudah dilakukan Termohon terkait rekomendasi itu,
tetapi pada akhirnya tetap menetapkan kepesertaan Pihak Terkait.
"Termohon telah
melaksanakan tahapan pencalonan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan," ujar Ida.
Bukan Kekerasan Seksual Terhadap Anak
Diketahui, Vicente
Hornai Gonsalves sebagai calon wakil bupati nomor urut 1 pernah terlibat kasus
tindak pidana melarikan anak di bawah umur pada 2003 dan divonis 11 bulan
penjara pada Januari 2004. Yafet Yosafet Wilben Rissy yang dihadirkan sebagai
Ahli Pihak Terkait menjelaskan, kasus tersebut bukanlah tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Atambua Nomor:
186/PID/B/2003/PN.ATB tanggal 17 Januari 2004.
Guru Besar Universitas
Ilmu Hukum Kristen Satya Wacana (UKSW) itu menyampaikan, Vicente Hornai
Gonsalves dikenai Pasal 332 ayat 1 KUHP yang berkaitan dengan melarikan
perempuan di bawah umur. Calon wakil bupati nomor urut 1 itu tidaklah
dijatuhkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Jika dibaca
putusan Pengadilan Negeri (Nomor) 186 Tahun 2004 itu secara nyata dan ini saya
kutip di amar putusan nomor tiga menyatakan terdakwa Vicente dan seterusnya
terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melarikan
perempuan yang belum dewasa tanpa seizin orang tua atau walinya, menjatuhkan
pidana oleh karena itu terdakwa 11 bulan penjara," ujar Yafet.
"Jadi tidak ada
kejahatan kekerasan seksual di sana," sambungnya.
Lanjutnya dari sisi
pengaturan Pasal 332 ayat 1 KUHP, melarikan perempuan di bawah umur adalah
salah satu jenis tindak pidana perampasan kemerdekaan. Sedangkan tindak pidana
kekerasan seksual terhadap anak seperti pemerkosaan, pencabulan, dan
persetubuhan diatur dalam Pasal 287 sampai Pasal 295 KUHP.
"Ahli berpendapat,
jika dibandingkan antara Pasal Pasal 332 ayat 1 dengan Pasal 287 sampai Pasal
295, terlihat jelas bahwa tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur
tidaklah sama dengan tindak kekerasan seksual terhadap anak. Tindak kekerasan
seksual terhadap anak, tindak pidana itu diatur dalam undang-undang tersendiri,
yakni dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan
Seksual," ujar Yafet.
Dipenjara karena Hukum Adat
Sementara itu, saksi
dari Pihak Terkait bernama Manuel Da Silva menceritakan bahwa Vicente Hornai
Gonsalves memiliki hubungan asmara dengan seorang perempuan bernama Juliana
Luisa Tai. Baik Manuel, Vicente Hornai Gonsalves, maupun Juliana Luisa Tai
dulunya merupakan warga Timor Timur.
Untuk menikahi seorang
perempuan, dalam adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) mengenal istilah Belis,
yakni tradisi pemberian mahar dari pihak laki-laki ke perempuan. Namun Manuel
mengatakan, mahalnya mahar terkadang membuat seorang laki-laki dan perempuan
memutuskan pura-pura kabur untuk melihat reaksi orang tua kedua pihak.
Hal tersebutlah yang
terjadi kepada Vicente Hornai Gonsalves yang ingin menikahi Juliana Luisa Tai.
Karena pada akhirnya orang tua kedua pihak tidak menyetujui hal tersebut,
Vicente Hornai Gonsalves tak dapat menikahi Juliana Luisa Tai dan menerima
hukum adat untuk dipenjara.
"Hukum adat itu
kalau dia hukum adatnya tidak mampu karena takut sama keluarga, malu, itu harus
dipenjarakan. Makanya itu seperti yang dimaksudkan Saudara Vicente maksud itu
karena hukum adatnya, salah satu hukum adatnya," ujar Manuel.
Dalam Sidang
Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 100/PHPU.BUP-XXIII/2025 pada Selasa
(14/1/2025), Pemohon mendalilkan calon wakil bupati nomor urut 1, Vicente
Hornai Gonsalves tidak memenuhi syarat (TMS) pencalonan, karena pernah lakukan
tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak. Salah satu petitumnya, mereka
meminta MK membatalkan Keputusan KPU Kabupaten Belu Nomor 746 Tahun 2024
tentang Penetapan Hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2024 tertanggal
5 Desember 2024 sepanjang perolehan suara Willybrodus Lay-Vicente Hornai
Gonsalves.(*) mkri.id