Ilustrasi Cerita
Dunia online telah
melahirkan premanisme. Saya akhirnya menyadari kenyataan itu, ditambah lagi
fakta bahwa ternyata bentuk premanisme digital tersebut sangat mirip dengan
premanisme konvensional yang selama ini kita kenal.
Ada satu cerita.
Seorang lelaki tiba di bandara Semarang. Dia memegang tiket untuk penerbangan
ke Jakarta dengan jadwal pukul delapan malam. Sesampai di gerai check in,
dia celingak-celinguk. Suasana sepi sekali, padahal pukul delapan masih satu
setengah jam lagi. Maka, dia pun bertanya ke petugas gerai.
Tak dinyana,
petugas menjawab dengan tegang campur kasihan, bahwa pesawat sudah terbang
pukul empat sore. Lha kok bisa? Ternyata, jadwal penerbangan
dimajukan sejak tiga hari sebelumnya, dan lelaki malang itu sudah dikirimi
pemberitahuan resmi beberapa kali.
Sialnya,
pemberitahuan itu dikirim via SMS. Memangnya siapa di zaman ini yang masih
membuka SMS? Semua tahu, inbox SMS hanya berisi pesan-pesan semacam
"Selamat, nomor Anda terpilih sebagai pemenang undian...." dan
"Kami menawarkan pinjaman online tanpa agunan...." Membuka
kotak SMS adalah tindakan nyata membuang-buang waktu yang tidak sesuai dengan
spirit produktivitas dan percepatan ekonomi era Jokowi.
Tapi apa pun
itu, secara legal pihak maskapai sudah menjalankan kewajibannya, dan toh
jelas-jelas penumpang yang datang sesuai jadwal lama hanya lelaki itu saja.
Artinya, semua penumpang lain ternyata membaca SMS! (Tampaknya mereka tidak
peduli dengan target percepatan ekonomi era Jokowi).
Lelaki itu pun
protes, kenapa cuma SMS dan bukan telepon. Petugas menjawab bahwa memang via
SMS-lah peraturannya. Si lelaki meminta ganti dengan penerbangan berikutnya,
tapi kata petugas, jadwal terbang selanjutnya baru akan tiba jam sembilan
keesokan paginya (sementara jam segitu acara di Jakarta sudah mulai). Hingga
kemudian, lelaki itu mengambil HP-nya, dan...menunjukkan jumlah follower medsosnya!
"Tolong carikan solusi, atau saya bikin ramai," katanya.
Ajaib. Si
petugas sontak memanggil kawan-kawannya, berbisik-bisik, lalu salah satu di
antara mereka menelepon ke sebuah nomor. Dua menit kemudian petugas
menyampaikan, "Baik, Pak. Besok ada penerbangan jam enam. Sebenarnya sudah
penuh, tapi kami ambilkan satu kursi buat Bapak."
***
- Lihat Juga:
- Berorganisasi sebagai Upaya Optimalisasi Diri dan Menambah Relasi
- Cinta "Filosofi Opa Philipus Berek" Hidup adalah Berjuang dan Bersyukur
- Viral, Polisi Gagal Tilang Pengendara di Tol Gara-gara Punya CCTV
Cerita kecil di atas itu true story. Tampaknya biasa saja, dan kita bisa menanggapinya cukup
dengan tertawa. Tapi kalau kita merasa bahwa tertawa saja tidak cukup, akan
tampak satu realitas di hadapan kita, bahwa jumlah follower medsos
seseorang ternyata bukan lagi berfungsi sebatas sebagai aset kekuatan
persebaran informasi. Ia sudah menjelma menjadi senjata penekan yang dapat
dikapitalisasi untuk banyak sekali tujuan.
Celakanya, yang dimaksud dengan tujuan di situ bukan
lagi sebatas tujuan-tujuan kehumasan, melainkan sudah mirip permainan preman.
"Kamu nurut enggak sama aku? Kalau enggak, aku bikin viral!"
Kekuatan follower akhirnya bisa menciptakan ancaman-ancaman.
Ancamannya memang bukan fisik, tapi konsekuensinya sangat nyata, dan masif
sekali efeknya.
Dari situlah, diam-diam hierarki tercipta;, peta
sosial yang baru memunculkan kasta-kasta, melahirkan para warlord baru,
dan panglima-panglima baru itu menciptakan chaos dalam berbagai
skala.
Kemarin, lewat medsos, beberapa kali saya mengejek
seorang tokoh politik, sebab tokoh itu tampak agak norak dalam ambisinya untuk
maju di bursa pertempuran 2024. Beberapa kawan yang paham dunia politik, dan
yang melihat saya punya follower meski cuma beberapa puluh ribu,
langsung mengira saya sedang bermain. Saya diduga sedang menjalankan mekanisme
"pengajuan proposal", agar diajak bergabung ke tim tokoh yang saya
ejek itu.
Kontan saja saya tertawa. Tapi ketika saya berpikir
lagi, lalu menyadari bahwa tertawa saja tidak cukup, akhirnya saya memahami
kecurigaan beberapa kawan tadi. Masuk akal mereka menduga begitu. Kenapa? Kita
bisa melihat polanya. Pola ini sering kita saksikan dalam beberapa aksi
premanisme "betulan" yang terjadi di banyak tempat, di sepanjang
sejarah dunia politik kita.
Misalnya, beberapa tahun lalu ada satu laskar di
Jogja yang menyerbu sebuah hajatan tradisional. Kata mereka, itu acara yang
penuh kemusyrikan. Demi menyelamatkan akidah umat, ritual tersebut harus
dibabat.
Kalau Anda melihatnya sebatas dengan perspektif
kebebasan berkeyakinan, tentu saja itu merupakan aksi intoleransi, dan cara
pandang seperti itu sah-sah saja. Namun, itu belum mewakili segenap peta
persoalan riilnya.
Jika kita jeli dan paham analisis aktor serta
analisis sejarah politik lokal, kemudian paham momentum, gambarannya akan jadi
beda. Intoleransi memang digunakan sebagai instrumennya. Tapi itu cuma
instrumen. Selebihnya, mesti dilihat bahwa aksi tersebut berjalan menjelang
rangkaian pesta politik. Di situlah poinnya.
Jadi, ketika suatu kelompok preman mulai tak
terdengar gaung namanya, mereka harus tampil. Show of force. Promo besar-besaran. Celakanya, salah satu cara
unjuk kekuatan yang paling menyedot perhatian adalah dengan menggebuk kelompok liyan,
yang rata-rata ya minoritas. Itu pilihan aman, minim potensi serangan balasan.
Lagi pula berita itu pasti viral, brand ormas pelaku akan
melejit lagi, nama pimpinannya pun akan kondang lagi.
Apakah ada tindakan hukum yang tegas? Rata-rata,
kita tahu, kasus seperti itu menguap. Kenapa menguap? Ini jawabannya: si
pimpinan ormas dan wadyabala-nya akan segera tampak perkasa, tampak punya
daya tawar tinggi untuk menggalang dukungan massa, dan itu ibarat lampu merkuri
bagi laron-laron politik. Si ormas akan segera direkrut dan dilindungi
laron-laron itu, diberi proyek politik, dan selanjutnya Anda bisa bayangkan
mekanismenya seperti apa.
Itu baru satu versi. Versi lainnya juga pernah saya
lihat di Jogja, yaitu kekuatan ormas menembak langsung sasarannya, dan si
sasaran itu akan menutup mulut ormas tersebut dengan membagi kue ekonomi kepada
mereka. Dengan pengelolaan lahan parkir, contoh paling umumnya.
Demikianlah cara bermain preman-preman. Kalau Anda
sudah membaca buku Ian Wilson, Politik Jatah Preman, di situ digambarkan
bahwa pola seperti itu sudah berjalan sejak era Orde Baru. Ormas-ormas jalanan
menjalankan proses "perburuan rente" dengan menegaskan identitas
sebagai wakil kelompok tertindas, misalnya, lalu dari situ mereka mendapatkan
celah peluang ekonomi lewat para politisi.
Dengan realitas seperti itu, bukankah kecurigaan
kawan-kawan saya itu dapat dipahami?
***
Lihat Juga:
- Gunung Berapi Erupsi Serentak, Kebetulan?Gunung Merapu, Semeru dan Sinabung erupsi (Fenomena Alam)
- Asyik, Seru dan Gokil Panen Ikan Nila di Kolam SMK NEGERI KLetek Suai, Kabupaten Malaka-NTT
- Aksi Nyata..DPC Projamin Malaka, Pengisian tanah di Polibag untuk penanaman anakan pohon Sengon Laut
Tenang, saya jamin ejekan saya ke tokoh politik yang
kemarin itu cuma bercanda karena sebal saja, dan saya tidak sedang
"bermain". Tapi sekali lagi, kecurigaan kawan-kawan saya itu bukan
tanpa alasan. Toh, selama ini aktivitas orang-orang yang terindikasi sebagai
buzzer politik (dari kubu mana pun) juga lekat dengan pola-pola semacam itu.
Ya, mereka memainkan "massa", meskipun
massa yang mereka kelola tidak bisa menggebuk pakai pentungan bambu atau
membubarkan acara dengan razia-razia. Tapi gebukan-gebukan digital oleh
kekuatan "ormas" mereka itu selalu efektif, dan dari situlah
premanisme dijalankan dengan model yang sebenarnya sama persis dengan
laskar-laskar jalanan. Semakin banyak follower-nya, apalagi sampai
berjuta-juta, semakin efektif pula perburuan rente yang mereka lakukan.
Maka, alih-alih buzzer atau pendengung,
mereka sebenarnya lebih cocok disebut sebagai preman. Preman online,
preman digital. Masalahnya, saya tidak ingin sebutan itu menjadi bumerang.
Kenapa?
Dengan sepenuh pengakuan dosa, saya harus membuka
aib diri sendiri: lelaki yang celingukan di bandara itu adalah saya.
Iqbal Aji Daryono warga masyarakat baik-baik,
tinggal di Bantul