Pertama, eksistensi koperasi tidak perlu
dipertahankan. Kedua, koperasi perlu dipertahankan seadanya saja agar tidak
menentang UUD 1945. Terakhir, koperasi harus dikembangkan dalam rangka proses
demokrasi ekonomi. Mana yang akan menjadi nasib koperasi, akan ditentukan oleh
kepedulian pemerintah dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi ini.
Padahal, jika menegok ke masa lalu, lahirnya
koperasi tidak bisa lepas dari peran pemerintah. Bahkan sejak pemerintahan
penjajahan Belanda telah mulai diperkenalkan. Uniknya, koperasi yang pernah
lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah
kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam
penjelasan undang-undang dasar.
Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai
penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar
yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat
tiga pola pengembangan koperasi.
Secara khusus pemerintah memerankan fungsi regulatory dan development sekaligus
(Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan
pola penitipan kepada program. Pertama, Program pembangunan secara sektoral
seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD. Lalu, pada Lembaga-lembaga
pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya.
Terakhir, melalui perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam wadah
koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang
dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Yang paling menonjol, selama ini koperasi
dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan
distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk
Indonesia.
Sebagai contoh sebagian besar KUD sebagai
koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program
pembangunan untuk membangun KUD. Disisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk
mendukung program pembangunan pertanian untuk swasembada beras seperti yang
selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi.
Secara eksplisit, koperasi ditugasi melanjutkan
program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank
pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras
pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
Sehingga nasib koperasi harus memikul beban
kegagalan program, sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari
perhatian berbagai kalangan termasuk para peneliti dan media masa. Dalam
pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di
Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian
(Sharma, 1992).
Jika melihat posisi koperasi saat ini sebenarnya
masih ada secercah harapan. Memasuki tahun 2000 silam, posisi koperasi
Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai
antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi.
Sementara itu dilihat dari populasi koperasi yang
terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25 persen dari populasi
koperasi atau sekitar 35 persen dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir
ini posisi koperasi dalam pasar perkreditan mikro menempati tempat kedua
setelah BRI-unit desa sebesar 46 persen dari KSP/USP dengan pangsa sekitar 31
persen.
Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup
gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi
hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada
dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Dan, pertumbuhan koperasi itu semakin menunjukkan
tren meningkat. Pada 2003-2005, Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah mencatat pertumbuhan koperasi sekitar 12 persen. Bahkan, data
Potensi Desa yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik pada periode yang sama
mencatat pertumbuhan koperasi mencapai 57,6 persen. Meski kedua sumber
menampilkan data berbeda, intinya menunjukkan pertumbuhan positif.
Namun, bila merunut lebih spesifik pada koperasi
unit desa (KUD), data Potensi Desa menunjukkan tren yang sebaliknya. Jumlah KUD
tahun 2005 berkurang 22,7 persen dibandingkan 2003. Dalam beberapa dekade ke
depan, jika tidak dilakukan perubahan signifikan, mungkin KUD hanya akan
tinggal papan nama.
Kontradiksi pertumbuhan ini, menurut Direktur
Lembaga Bina Swadaya Bambang Ismawan, sudah diketahui sejak dulu. Koperasi yang
ditargetkan jumlahnya sebagai tolok ukur pengembangan, berakibat bukan
kepentingan masyarakat yang terakomodasi, melainkan kepentingan birokrat. Tak
heran, cukup banyak koperasi yang tidak aktif, bahkan bercitra negatif.
Hasil penelitian lembaga ini di tiga wilayah sentra
pertanian yang memiliki cukup banyak KUD, yakni Kabupaten Indramayu (Jabar),
Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur (Sumsel), dan Kabupaten Pinrang
(Sulsel) menunjukkan KUD kurang diandalkan petani untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka dan bahkan bercitra negatif akibat salah kelola.
Berubah Peran
Penyebab KUD tidak lagi menjadi gantungan petani
dalam kegiatan perekonomian mereka, antara lain akibat berubahnya peran
koperasi sejak beberapa dekade yang lalu, terutama ketika krisis moneter
melanda negeri ini. Sebelum krisis moneter melanda, pemerintah masih memegang
peranan penting memosisikan KUD dalam proses produksi dan pascapanen hasil
pertanian seperti beras. Saat pemerintah disibukkan agenda reformasi di bidang
politik, kebijakan ekonomi, terutama pertanian, banyak diserahkan mengikuti
kehendak pasar bebas.
Salah satu contohnya adalah pupuk. Dahulu penyaluran
pupuk dikendalikan KUD, dan KUD diharuskan membeli gabah petani untuk suplai ke
Bulog. Sekarang, penyaluran pupuk diserahkan ke distributor. KUD tidak lagi
mampu membeli gabah atau beras petani karena ketiadaan dana dan tidak bermitra
dengan Bulog.
Konsolidasi
Perubahan peran KUD juga diikuti dengan memburuknya
citra lembaga ini akibat segelintir pengurus yang lebih mementingkan
kepentingan pribadi dan melakukan penyalahgunaan dana koperasi. Krisis
kepercayaan terhadap KUD pun meruak. Petani semakin tidak yakin KUD dapat
membantu melayani kebutuhan mereka.
Secara teknis intern, KUD mengalami perlemahan
akibat beberapa faktor. Selain faktor permodalan karena kesulitan mendapat dana
dari pihak perbankan, persoalan lain yang dihadapi KUD adalah menyangkut sumber
daya manusia. Secara kuantitas, sedikit sekali yang berminat menjadi pengurus
koperasi karena kompensasi yang kecil, sementara kerja mereka dibayangi
kecurigaan masyarakat akan kemungkinan terjadinya penyelewengan dana.
Secara kualitas, pengurus koperasi kurang memiliki
jiwa kewirausahaan untuk melakukan inovasi usaha. Sebuah inovasi tak jarang
terhambat karena masalah modal. Jika tak mendapat suntikan dana dari
pemerintah, koperasi hanya mengandalkan dana sendiri melalui simpanan pokok,
wajib, dan sukarela dari anggotanya. Namun, tak semua anggota membayar
kewajibannya, apalagi yang sifatnya sukarela.
Kewenangan pengurus dalam mengelola usaha koperasi
pun masih terbatas. Sebagai contoh, ketua atau pengurus koperasi tidak bisa
memutuskan sendiri tentang laba suatu usaha, khususnya yang terkait dengan
pengadaan pangan. Setiap keputusan harus diambil berdasarkan musyawarah dengan
anggota sehingga dalam prosesnya membutuhkan waktu yang cukup lama. Akibatnya,
gerak koperasi kalah cepat dengan manuver pedagang atau tengkulak.
Selain itu, acap pula dikatakan koperasi tidak
memiliki koordinasi antara pengurus dan petani. Hal-hal inilah yang menyebabkan
koperasi, terutama KUD, sulit berkembang.
Untuk mengatasi kendala dan perlemahan yang dihadapi
KUD, konsolidasi pembinaan koperasi yang difasilitasi oleh pemerintah mendesak
untuk dilakukan. Konsolidasi itu menyangkut lima hal. Pertama, konsolidasi
kelembagaan dalam semua aspek sehingga perangkat pengurus dapat menjalankan fungsinya.
Kedua, konsolidasi sumber daya manusia dengan
memberikan pelatihan-pelatihan di bidang kewirausahaan agar pengurus mampu
melakukan inovasi usaha. Selain itu, pembenahan kompensasi yang layak bagi
perangkat pengurus juga harus dilakukan untuk mengikat loyalitas terhadap
koperasi.
Ketiga, konsolidasi permodalan termasuk memberikan
pelatihan manajemen keuangan. Keempat, konsolidasi pembinaan usaha inti yang
sesuai dengan karakteristik daerah. Terakhir, konsolidasi perluasan kemitraan,
baik dengan sesama koperasi atau lembaga lainnya seperti BUMN atau dengan
pengusaha-pengusaha lainnya.
Selain lima hal di atas, masih ada 3 syarat yang
mesti diperhatikan yakni
Skala usaha koperasi harus layak
secara ekonomi. |
Harus memiliki cakupan kegiatan yang
menjangkau kebutuhan masyarakat luas, kredit (simpan-pinjam) dapat menjadi
platform dasar menumbuhkan koperasi. |
Posisi koperasi produsen yang
menghadapi dilema bilateral monopoli menjadi akar memperkuat
posisi tawar koperasi. |
Syarat 4 : Pendidikan dan peningkatan
teknologi menjadi kunci untuk meningkatkan kekuatan koperasi (pengembangan
SDM). |
Upaya konsolidasi ini sangat penting untuk menjaga
agar koperasi tidak tersingkir dari perkembangan pasar yang kian bebas dan
mengglobal, serta mengembalikan peran koperasi sebagai wadah yang melayani dan
menyejahterakan petani.