Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan
sejumlah NGO memperingatkan potensi konflik yang kemungkinan melibatkan 16.800
orang dari 21 masyarakat adat di sekitar IKN Nusantara.
Seorang staf ahli dari Kantor Staf Presiden
menjanjikan ibu kota yang berkelanjutan, dan memberi "perlindungan besar"
kepada masyarakat adat, termasuk membuka ruang pada masyarakat untuk
menyempurnakan ibu kota baru melalui peraturan presiden.
Presiden Joko Widodo menuang air dan menabur tanah
dalam sebuah gentong besar yang dibawakan oleh 34 gubernur dari masing-masing
wilayah. Sebuah ritual yang ia sebut sebagai bentuk simbol "Persatuan yang
kuat di antara kita dalam rangka membangun ibu kota Nusantara."
"Kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, TNI, Polri, swasta dan seluruh masyarakat dalam mendukung pembangunan
ibu kota negara ini, akan sangat membantu agar apa yang kita cita-cita kan ini
segera terwujud," kata Presiden Jokowi di titik nol lokasi pembangunan IKN
Nusantara, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin (14/03).
Sekitar 10 kilometer dari sana, Dahlia Yati dari
Suku Paser Balik - penduduk asli setempat - mengatakan kedatangan Presiden
Jokowi "Bukan sesuatu yang mengejutkan dan bukan juga hal yang
menggembirakan."
Kata Dahlia, saat ini patok-patok wilayah ibu kota
sudah masuk perkampungan, menerobos tanah yang secara turun temurun mereka
garap menjadi perkebunan.
"Lahannya orang tua, saudara. Sekitar empat
hektar, ada banyak juga [lahan] saudara-saudara di sekelilingnya lahan-lahan
itu," kata Dahlia, yang menambahkan lahan yang diperoleh turun temurun itu
berstatus "segel tanah" atau penguasaan lahan berdasarkan surat
bermaterai yang diketahui oleh apartur desa.
"Lahan-lahan kami jangan dirambah lah,"
kata Dahlia.
Kepala Suku Adat Paser Balik, Sabukdin memperkirakan
di Kecamatan Sepaku - lokasi IKN Nusantara - terdapat sekitar 5000 - 6000
hektar lahan nenek moyang, yang belum mendapat sertifikat kepemilikan.
Lahan-lahan itu disebut Sabukdin sebagai
satu-satunya "penopang hidup" karena "hutan kami habis, semua,
mata pencarian ini habis."
Ia berharap sebelum pembangunan ibu kota negara
benar-benar dimulai, urusan kepemilikan lahan tersebut diperjelas, dengan
berharap pemerintah memberikan surat-surat kepemilikan tanah kepada masyarakat
adat.
"Tanggung jawab kita hanyalah mempertahankan
tempat tinggal kami. Tempat kami bercocok tanam. Jangan sampai anak cucu saya
itu tidak punya tempat tinggal," kata Sabukdin, yang juga mengkhawatirkan
jika itu tak diindahkan, "maka ini akan mengundang keributan."
Lusinan
komunitas adat terancam terusir
Suku Paser Balik merupakan bagian dari 21 komunitas
masyarakat yang telah diverifikasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN).
Dari 21 komunitas masyarakat yang berada di kawasan
IKN Nusantara ini, hanya "perwakilan 1-2 orang komunitas" yang
dilibatkan dalam proses pembangunan karena "secara umum belum
dilibatkan".
Deputi Sekretaris Jenderal AMAN, Erasmus Cahyadi
mengatakan, 21 komunitas masyarakat melaporkan total 30.000 hektar lahan adat
mereka tumpang tindih dengan izin konsesi perkebunan dan pertambangan, bahkan
sebelum ada proyek IKN Nusantara.
"Tetapi, sebagian dari 30.000 [hektar] ini
diprediksi, kalau kita lihat anggota AMAN yang 21 itu, sebagian itu masuk ke
IKN," kata Erasmus.
Jumlah masyarakat adat yang terverifikasi oleh AMAN
setidaknya dalam satu komunitas berjumlah 200 keluarga, sehingga bisa
diperkirakaan persoalan lahan ini akan melibatkan paling sedikit 16.800 jiwa.
Pilihan yang paling mungkin dilakukan, kata Erasmus,
pemerintah melibatkan masyarakat adat dengan menawarkan kontrak kerja sama,
bukan membeli lahan mereka.
"Kalau ganti rugi, hak atas tanahnya itu akan
beralih. Tetapi kita kerja sama, atau kontrak. Maka itu tidak beralih.
Masyarakat adat juga diharapkan akan mendapatkan, benefit dari proses
itu," kata Erasmus.
Potensi skala
konflik
Kondisi wilayah di Sepaku, yang menjadi salah satu lokasi ibu kota baru. |
Sementara itu, Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Roni Septian mengutarakan kekhawatirannya tentang
konflik yang akan terjadi di IKN Nusantara, yang masuk dalam Proyek Strategis
Nasional (PSN).
"Intervensi tentara bersenjata itu tentu akan
ditemukan di wilayah-wilayah karena mereka akan beralasan mengamankan proses
pembangunan Pak Jokowi, sehingga konflik agraria itu mau tidak mau akan
dihadapi olah rakyat-rakyat di Kalimantan Timur," kata Roni.
KPA mencatat selama 2021, terdapat 38 kasus konflik
agraria yang berasal dari PSN. Jumlahnya meningkat 123% dari tahun sebelumnya
yaitu 17 kasus.
Konflik agraria terkait PSN yang menjadi perhatian
publik baru-baru ini adalah proyek pembangunan Bendungan Bener di wilayah Desa
Wadas, Jawa Tengah. Dalam kasus ini lebih dari 60 warga sempat ditahan.
Roni Septian yang mewakili KPA serta AMAN, ELSAM,
Walhi dan sejumlah LSM lain yang tergabung dalam Komite Nasional untuk
Pembaruan Agraria "Menolak seluruh pembangunan IKN, dan mendesak Presiden
Joko Widodo untuk segera menghentikan seluruh agenda pembangunan IKN demi
kebaikan dan keselamatan masyarakat Indonesia."
Bukan kota biasa
Di sisi lain, Wandy Tuturoong, Tenaga Ahli Utama
Kantor Staf Presiden mengatakan konsep IKN Nusantara berbeda dari kota besar
lainnya dengan apa yang ia sebut sebagai kota yang keberlanjutan "smart
forest city".
"Justru konsep forest city ini kan melindungi
masyarakat adat, ketimbang pembangunan kota megapolitan yang akan mendatangkan
puluhan juta orang," katanya kepada BBC News Indonesia.
Pondasi dasar dari "smart forest city",
kata Wandy diantaranya meliputi nol penebangan hutan, penjagaan keanekaragaman hayati,
rendah karbon, serta konservasi budaya dan masyarakat adat.
"Artinya, dari total wilayah [IKN Nusantara]
265.000 hektar itu, ruang hijaunya kan 75% hutan," lanjut Wandy.
Landasan IKN Nusantara ini nantinya akan tertuang
dalam Peraturan Presiden yang rencananya terbit 15 April mendatang. Perpres ini
merupakan aturan turunan dari Undang Undang No. 3 tahun 2022 tentang IKN.
Wandy mengatakan, pihaknya masih terbuka untuk
mendengarkan aspirasi dari pihak-pihak yang menolak pembangunan IKN Nusantara.
"Kan sekarang ada waktu untuk memberi masukan
supaya perpresnya itu lebih sesuai lagi. Katakanlah, mereka berasumsi ada yang
kurang dari perpresnya, mari kita sempurnakan perpresnya," katanya.
Ia juga menambahkan selama ini perwakilan masyarakat
adat juga kerap diajak berdialog oleh pemerintah, meskipun sekelompok orang
mengatakan 'yang diundang hanya elit'.
Bagaimanapun, di tengah persoalan ini, Dahlia Yati
dari masyarakat adat Paser Balik tak pernah bisa tidur nyenyak.
"Di zaman sekarang saja kami sudah kesusahan
mencari pekerjaan. Apalagi nanti, lebih susah lagi, bagaimana cara kami membiayai
anak kami sekolah. Anak-anak saya mau seperti apa. Mau tinggal di mana,"
kata ibu dua anak ini.
***
Sumber: BBC NEWS INDONESIA