…Sunyi adalah minuman keras
— Sapardi Djoko Damono.
Sunyi adalah dunia para sufi. Di sanalah ia bisa memabukkan. Barangkali jiwa begitu merasuk ke dalamnya hingga kabur batas antara “aku” dan “bukan-aku”, sadar dan tak sadar. Setidaknya dalam sajak Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Malam”, efek sunyi bisa dibandingkan dengan alkohol yang tak terlihat tapi dialami dengan nikmat hingga bisa menghilangkan kewaspadaan.
Saya kira itu sebabnya kini sunyi disingkirkan. Ia dijauhi mereka yang ingin agar hidup sepenuhnya dibangun oleh kata yang tegas, diarahkan logos, dengan kesadaran penuh, hingga dapat dirumuskan sebagai wacana, disusun rapi dan diperkuat mufakat.
Dengan kata lain, sunyi bukan bagian dunia yang diidamkan mereka yang menentukan masa kini: para perancang bisnis, pengatur kampanye politik, ahli hukum negara dan pengkhotbah, para eksekutif pemasaran, dan pembikin mesin-mesin.
Sunyi: dunia para sufi.
Para sufi sering merayakan kesunyian dan memakai kata “mabuk” sebagai kiasan. Satu bait puisi Jalaluddin Rumi, sang sufi yang berabad-abad mempesona dunia:
Aku kosongkan cawan ini,
Sampai kering, dan tak ada sisa lagi
Kecuali mabuk dan ekstasi
Kita tahu, “mabuk,” dalam puisi mistik, berarti rasa cinta dan gandrung kepada Yang Maha Pengasih. Hubungan antara sang sufi dan Tuhannya bukanlah hubungan yang datar. Intensitasnya menggeser kesadaran sebagai pusat pengalaman.
Memang ada yang terasa tak cocok antara “mabuk” dan “sunyi”. Tapi keduanya punya pertalian: “mabuk” dan “sunyi” menunjukkan jauhnya sang sufi, sang pencinta Tuhan, dari “orang ramai”. Mabuk biasanya ditolak tatanan sosial, dan sunyi jauh dari tatanan itu.
Dalam tatanan itu, orang ramai tiap hari menyebut Tuhan sebagai hafalan. Sikap takzim mereka hanya meniru, kata-kata mereka hanya celoteh yang artinya ditetapkan di luar diri mereka dan jarang mereka hayati. Mereka sibuk dengan yang rutin dan repot dengan ketertiban.
Mereka, orang ramai, hidup dirantai bahasa yang telah kehilangan sisinya yang tak diungkapkan. Makna kata terbatas kepada yang harfiah, yang memudahkan konsensus, bukan makna yang mengguncang batin yang sering tak terduga.
Walhasil, dunia verbal orang ramai cuma brisik. Makin lama makin dilupakan: bahasa bukan hanya terdiri atas suara dan bunyi, tapi juga kebisuan. Tiap kalimat yang kita ucapkan dan yang diucapkan orang lain mengandung sesuatu yang tak terucapkan. Dan yang membisu, yang non-verbal itu, sesungguhnya lebih dalam ketimbang sisi yang diutarakan. Ada makna yang tak bisa disederhanakan dengan kalimat pendek atau panjang.
Dalam keadaan itu, komunikasi selalu dicegat salah paham dan salah tafsir. Bahwa pada umumnya saling pengertian bisa tetap terjadi, itu karena pada manusia ada satu dosis kepercayaan kepada liyan. Dengan kepercayaan itu, sikap tak percaya, saling curiga, dapat teratasi, berkali-kali.
Komunikasi memang tak lengkap, tapi pada umumnya kita hidup dengan sejenis rasa hormat kepada sisi yang diam, dengan kesabaran kepada sunyi.
Tapi tak selalu. Kini kita hidup di masa ketika sunyi, juga kesabaran kepadanya, telah aus. Latar belakang sosial berubah. Kota-kota tumbuh. Pelbagai kelas masyarakat saling mendesak atau berunding; wilayah kian padat, tapi tak selamanya terbentuk pertalian husnuzon. Bersangka baik kepada liyan lebih sulit, karena sebuah kota — setidaknya di Indonesia sejak tahun 1950-an — adalah lalu lintas para pendatang dengan sejarah yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan arah.
Dalam keadaan itu, orang mencoba tegak, dan tak jarang bersikap defensif. Ia tak ingin hanyut, apalagi tenggelam. Ia butuh pelampung, dengan asumsi bisa awet. Orang ramai perlu merasa aman dengan mudah.
Dalam mencari rasa aman itu, dalam sikap defensif itu, waswas amat gampang berjangkit. Cemburu dan kecemasan mudah datang. Saya kira itu sebabnya orang kini takut kepada sunyi. Hening digantikan bising.
Keadaan jiwa itu muncul dalam pelbagai gejala — dan tiap hari.
Di kota-kota Indonesia, jalanan adalah teriakan knalpot . Orang bukan saja cemas tabrakan, tapi juga takut diabaikan. Tiap maghrib udara dikuasai 1000 loudspeaker, sebagai pengingat saat bersembahyang, yang sebenarnya — seperti di Mekah atau Kuala Lumpur — cukup diseru satu dua pengeras suara yang berkumandang. Di sekitar kita, ada sikap waswas: jangan-jangan seruan agama kalah bersaing dengan iklan Indomie.Di luar tempat ibadah, gejala itu sama: di bar dan rumah makan, kita akan dikepung musik yang memekik, bunyi yang takut tak didengarkan.
Maka ada seseorang dari sebuah kota besar Jawa yang pada suatu malam menginap di satu sudut Australia. Ia tak bisa tidur. Jika dulu orang tak bisa tidur karena gaduh, tamu itu terganggu suasana tanpa bunyi
Dan sunyi pun disingkirkan, hening ditiadakan; kota adalah paranoia menghadapi apa yang tak diungkapkan.
— Sapardi Djoko Damono.
Sunyi adalah dunia para sufi. Di sanalah ia bisa memabukkan. Barangkali jiwa begitu merasuk ke dalamnya hingga kabur batas antara “aku” dan “bukan-aku”, sadar dan tak sadar. Setidaknya dalam sajak Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Malam”, efek sunyi bisa dibandingkan dengan alkohol yang tak terlihat tapi dialami dengan nikmat hingga bisa menghilangkan kewaspadaan.
Saya kira itu sebabnya kini sunyi disingkirkan. Ia dijauhi mereka yang ingin agar hidup sepenuhnya dibangun oleh kata yang tegas, diarahkan logos, dengan kesadaran penuh, hingga dapat dirumuskan sebagai wacana, disusun rapi dan diperkuat mufakat.
Dengan kata lain, sunyi bukan bagian dunia yang diidamkan mereka yang menentukan masa kini: para perancang bisnis, pengatur kampanye politik, ahli hukum negara dan pengkhotbah, para eksekutif pemasaran, dan pembikin mesin-mesin.
Sunyi: dunia para sufi.
Para sufi sering merayakan kesunyian dan memakai kata “mabuk” sebagai kiasan. Satu bait puisi Jalaluddin Rumi, sang sufi yang berabad-abad mempesona dunia:
Aku kosongkan cawan ini,
Sampai kering, dan tak ada sisa lagi
Kecuali mabuk dan ekstasi
Kita tahu, “mabuk,” dalam puisi mistik, berarti rasa cinta dan gandrung kepada Yang Maha Pengasih. Hubungan antara sang sufi dan Tuhannya bukanlah hubungan yang datar. Intensitasnya menggeser kesadaran sebagai pusat pengalaman.
Memang ada yang terasa tak cocok antara “mabuk” dan “sunyi”. Tapi keduanya punya pertalian: “mabuk” dan “sunyi” menunjukkan jauhnya sang sufi, sang pencinta Tuhan, dari “orang ramai”. Mabuk biasanya ditolak tatanan sosial, dan sunyi jauh dari tatanan itu.
Dalam tatanan itu, orang ramai tiap hari menyebut Tuhan sebagai hafalan. Sikap takzim mereka hanya meniru, kata-kata mereka hanya celoteh yang artinya ditetapkan di luar diri mereka dan jarang mereka hayati. Mereka sibuk dengan yang rutin dan repot dengan ketertiban.
Mereka, orang ramai, hidup dirantai bahasa yang telah kehilangan sisinya yang tak diungkapkan. Makna kata terbatas kepada yang harfiah, yang memudahkan konsensus, bukan makna yang mengguncang batin yang sering tak terduga.
Walhasil, dunia verbal orang ramai cuma brisik. Makin lama makin dilupakan: bahasa bukan hanya terdiri atas suara dan bunyi, tapi juga kebisuan. Tiap kalimat yang kita ucapkan dan yang diucapkan orang lain mengandung sesuatu yang tak terucapkan. Dan yang membisu, yang non-verbal itu, sesungguhnya lebih dalam ketimbang sisi yang diutarakan. Ada makna yang tak bisa disederhanakan dengan kalimat pendek atau panjang.
Dalam keadaan itu, komunikasi selalu dicegat salah paham dan salah tafsir. Bahwa pada umumnya saling pengertian bisa tetap terjadi, itu karena pada manusia ada satu dosis kepercayaan kepada liyan. Dengan kepercayaan itu, sikap tak percaya, saling curiga, dapat teratasi, berkali-kali.
Komunikasi memang tak lengkap, tapi pada umumnya kita hidup dengan sejenis rasa hormat kepada sisi yang diam, dengan kesabaran kepada sunyi.
Tapi tak selalu. Kini kita hidup di masa ketika sunyi, juga kesabaran kepadanya, telah aus. Latar belakang sosial berubah. Kota-kota tumbuh. Pelbagai kelas masyarakat saling mendesak atau berunding; wilayah kian padat, tapi tak selamanya terbentuk pertalian husnuzon. Bersangka baik kepada liyan lebih sulit, karena sebuah kota — setidaknya di Indonesia sejak tahun 1950-an — adalah lalu lintas para pendatang dengan sejarah yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan arah.
Dalam keadaan itu, orang mencoba tegak, dan tak jarang bersikap defensif. Ia tak ingin hanyut, apalagi tenggelam. Ia butuh pelampung, dengan asumsi bisa awet. Orang ramai perlu merasa aman dengan mudah.
Dalam mencari rasa aman itu, dalam sikap defensif itu, waswas amat gampang berjangkit. Cemburu dan kecemasan mudah datang. Saya kira itu sebabnya orang kini takut kepada sunyi. Hening digantikan bising.
Keadaan jiwa itu muncul dalam pelbagai gejala — dan tiap hari.
Di kota-kota Indonesia, jalanan adalah teriakan knalpot . Orang bukan saja cemas tabrakan, tapi juga takut diabaikan. Tiap maghrib udara dikuasai 1000 loudspeaker, sebagai pengingat saat bersembahyang, yang sebenarnya — seperti di Mekah atau Kuala Lumpur — cukup diseru satu dua pengeras suara yang berkumandang. Di sekitar kita, ada sikap waswas: jangan-jangan seruan agama kalah bersaing dengan iklan Indomie.Di luar tempat ibadah, gejala itu sama: di bar dan rumah makan, kita akan dikepung musik yang memekik, bunyi yang takut tak didengarkan.
Maka ada seseorang dari sebuah kota besar Jawa yang pada suatu malam menginap di satu sudut Australia. Ia tak bisa tidur. Jika dulu orang tak bisa tidur karena gaduh, tamu itu terganggu suasana tanpa bunyi
Dan sunyi pun disingkirkan, hening ditiadakan; kota adalah paranoia menghadapi apa yang tak diungkapkan.