Jika sejarah adalah perkara makna, maka sejarah pun
bersifat "menegur" seperti seorang kakek yang menceritakan
serangkaian kisah berharga kepada cucunya.
Sumpah Pemuda merupakan salah satu titik monumental
dalam sejarah Indonesia yang merajut makna persatuan dan kegigihan.
"Produk" dari Kongres Pemuda II itu dipercaya sebagai tonggak sejarah
kita dalam mengawali kesadaran kebangsaan.
Sumpah Pemuda menjadi kisah penuh lobi-lobi rasional
politis tingkat tinggi di antara pemuda Indonesia untuk menguraikan identitas
nasionalnya.
Ini merupakan sesuatu yang luar biasa, karena mereka
belum memiliki gambaran sebagai bangsa dan belum berada pada wilayah
konteks negara-bangsa. Tapi toh kenyataannya, mereka telah berani dan berhasil
secara gemilang mendefinisikan identitas nasional.
Para deklarator "satu bangsa" ini mengukuhkan
perjuangannya sebagai api mercusuar abadi yang membimbing perjuangan masa depan
Indonesia hingga lenyapnya zaman. Sumpah Pemuda muncul sebagai pemantik bagi
bara api yang telah lama kehilangan jati dirinya.
Saya pikir itulah bagian dari momen "pencerahan"
bangsa kita. Jika kita mengenal "Aufklarung"
(Abad Pencerahan) di Eropa dengan semboyannya "Sapere Aude", maka kita memiliki Sumpah Pemuda sebagai
momentum "Sapere Aude-nya"
Indonesia.
Sapere Aude dicetuskan oleh Immanuel Kant yang merujuk pada
tindakan atau gerakan keberanian untuk berpikir sendiri. "Berpikir
sendiri" di sini maksudnya berani untuk keluar dari inferioritas,
ketidakdewasaan, dan kepicikan diri sendiri.
Kalimat-kalimat dalam Sumpah Pemuda melukiskan
pergumulan rasionalitas, politik, dan kultural sekaligus.
Mereka bukan saja telah menampilkan keberanian untuk
berpikir sendiri, melepaskan diri dari keterkungkungan siasat kolonial, atau
representasi dari perlawanan nasional.
Lebih dari itu, mereka juga telah berani
menyeberangi lautan dan gunung penghalang sekat-sekat kesukuan agama, budaya,
dan aneka dorongan primordialnya.
Jadi pikirkan sekali lagi bahwa mereka
mendeklarasikan diri sebagai bangsa jauh sebelum Indonesia menjadi
negara-bangsa. Itu seperti Anda berteriak di depan publik bahwa Anda merupakan
anggota Kompasiana, jauh sebelum kelahiran dari Kompasiana itu sendiri.
Namun belakangan, Sumpah Pemuda tidak lagi dimaknai
sebagai sesuatu yang berharga, melainkan sekadar peringatan tahunan untuk
diceritakan pada anak-anak bahwa suatu masa pernah terjadi keberanian pemuda
Indonesia dalam melawan penjajah.
Sumpah Pemuda pun tampil seperti aktor papan atas
yang terlanjur tua dan kehilangan banyak tepuk tangan. Itu mendorong saya untuk
mengajukan satu pertanyaan besar terkait eksistensi Sumpah Pemuda: Masih
relevankah?
Milenial dan
Post-truth
Sumpah Pemuda, secara esensial, membawa semangat
"Sapere Aude" bagi kita
yang hidup di tengah arogansi teknologi. Jika mulanya semboyan tersebut berada
dalam konteks "keterbatasan pengetahuan", maka kita berada di kondisi
sebaliknya.
Kita terjebak dalam Paradoks Informasi di mana
semakin luas akses kita terhadap informasi, justru membuat kita semakin rentan
untuk terjebak dalam disinformasi. Opini menyamar menjadi fakta, dan fakta itu
sendiri melebur hingga tercecer entah ke mana.
Gelombang informasi yang kita miliki sebenarnya
berpotensi menjadikan kita sebagai peradaban yang paling "maju",
tetapi kasus yang sama juga sangat mungkin untuk menggiring kita ke dalam
jurang gelap peradaban yang belum pernah ditempati siapa pun.
Selamat datang
di era Post-truth!
Kita berada pada masa di mana "fakta
objektif" dikubur dari publik oleh longsoran informasi yang memikat
emosi dan keyakinan pribadi. Kita lebih suka diberitahu bahwa es krim itu
enak daripada mengakui potensinya untuk membuat kita obesitas.
Retorika yang berkelok-kelok dirancang untuk
menyihir serta memperdaya kita, dan itulah mengapa semua kebohongan yang kita
dengar terkesan memesona.
Mereka menekankan bahwa kebohongan politik itu
adalah jahat, tetapi mereka pun membumbui cerita mereka dengan berita palsu dan
berbagai "fakta alternatif". Gelar akademik yang tinggi dijadikan
bungkus kepalsuan, dan lalu kita pun mengaguminya.
Dalam kata-kata Paul Goebbels, "Kebohongan yang
diceritakan satu kali adalah kebohongan, tapi kebohongan yang diceritakan
ribuan kali akan menjadi kebenaran."
Harus diakui bahwa kemampuan kritis kita menurun:
sulit untuk membedakan antara apa yang baik dan apa yang benar. Kita meluncur,
hampir tanpa menyadarinya, kembali ke masa penuh takhayul dan kegelapan.
Kita ditantang untuk menghadapi serbuan informasi yang
sangat ambigu kebenarannya. Kita dibuat ragu akan pengertian kebenaran, dan
kerap kali merasa takut terhadap pandangan yang berbeda dengan kita.
Orang-orang menjadi lebih suka mendengar gema
suaranya sendiri daripada memedulikan pendapat lainnya yang meluaskan
perspektif. Kebenaran menjadi sedemikian elastis keabsahannya karena banyak
disesuaikan dengan kepentingan masing-masing.
Sekarang jika saya melaporkan sebuah berita buruk
bahwa seorang anak 14 tahun ditemukan meninggal di bawah jembatan selepas
pulang divaksin, akankah Anda mempercayainya?
Beberapa orang akan (mutlak) menganggukkan kepala
sehingga mereka merasa yakin untuk tidak pergi divaksin, dan mengatakannya ke
muka publik bahwa vaksin itu berbahaya serta berpotensi "meracuni"
mereka.
Kemudian beberapa hari kemudian, saya memberikan
berita lanjutan bahwa setelah dilakukan autopsi yang panjang, anak tersebut
meninggal karena dicekik oleh seseorang yang hingga sekarang belum diketahui
identitasnya.
Akankah mereka menarik ucapannya dan mengatakan apa
yang sesungguhnya terjadi? Sulit.
Sumpah Pemuda lahir dari pemberontakan menuju
kebebasan dari siasat penjajah. Mereka tidak rela menjadi kambing hitam dari
kelicikan penjajah dan memilih untuk menegaskan diri sebagai manusia Indonesia
yang bernaung dalam kesatuan sebagai "bangsa".
Lantas beranikah kita untuk menelan ludah kita
sendiri yang begitu pahit dan berancang-ancang meneriakkan kebenaran yang kerap
kali berada di pihak minoritas? Bersediakah kita ditertawakan karena menjadi
berbeda dari mayoritas?
Itulah semangat yang hendak disampaikan oleh para
deklarator Sumpah Pemuda. Ikrar mereka merupakan kristalisasi kegigihan untuk
menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Tapi karena lawan yang kita hadapi bukanlah penjajah
asing, melainkan ego diri kita sendiri; bersediakah kita membawa semangat
Sumpah Pemuda ke dalam keseharian kita yang selalu diselubungi penindasan dan
kepalsuan?
Semangat Sapere Aude yang juga dibawa oleh Sumpah
Pemuda patut menjadi cermin kita bersama tentang seberapa jauh kita mampu
merangkul kebenaran secara mandiri dan terlepas dari dogma apa pun yang
dipenuhi ranjau ganas.
Kita perlu berpikir mandiri secara kritis untuk
menentukan sikap kita sendiri terhadap segala informasi yang ditawarkan pada
kita.
Relevansi Sumpah Pemuda untuk kita sekarang ini
adalah keberanian untuk berdiri teguh di spektrum kebenaran tanpa
terombang-ambing oleh kepalsuan dan kesesatan yang enak didengar.
Tekad pemuda kala itu untuk menetapkan identitas
nasional dapat kita maknai sebagai kesediaan kita dalam menunjukkan jati diri
sebagai manusia sejati, dan sesungguhnya itu lebih dari cukup karena belakangan
banyak orang hanya "mengaku-ngaku" sebagai manusia.
Nilai-nilai Sumpah Pemuda sebenarnya dapat membantu
kita untuk bertahan dalam kengerian era post-truth, tapi toh kita memilih untuk
mengabaikannya demi duduk nyaman bersama mayoritas dalam manipulasi yang begitu
enak didengar.
Sebagian dari kita menyangkal pemikiran lain dan
hanya gemar mendengarkan pendapat sendiri seperti berteriak di dalam gua yang
kemudian bergema untuk dirinya sendiri. Mereka lebih mengagumi
parasnya daripada menilik keindahan lainnya dalam selimut kosmos.
Kini sudah waktunya kita berani untuk memproduksi
pemikiran sendiri dan bukannya sekadar mencerna dan menelan informasi.
Pengetahuan melahirkan kekuatan bagi siapa pun yang memilikinya, dan itu cukup
untuk membuatnya bahagia dalam keanggunan dunia ini.
Memproduksi pemikiran sendiri bukan berarti
menciptakan kebohongan lainnya. Itu hanyalah indikasi sederhana bahwa kita
mesti meningkatkan ketajaman intelektualitas kita, dan berarti senantiasa
belajar lebih banyak dan lebih banyak lagi.
Mungkin dalam kebisingan yang tiada henti ini, kita
didorong untuk belajar "tidak bicara", dan coba untuk mengutarakan
makna lewat pikiran serta perasaan. Maka akankah dunia menjadi lebih baik dalam
keheningan yang mendamaikan itu?
Sebenarnya post-truth juga merupakan anugerah
tersendiri, karena sekarang informasi dan kebenaran apa pun tidak hanya
dimiliki oleh otoritas tertentu, tetapi siapa pun dapat memilikinya di tengah
akses yang serba terbuka dan bebas.
Tetapi ironi lainnya juga berjalan bersamaan: tidak
setiap orang mampu bertanggung jawab terhadapnya. Barangkali paradoks pahit
lainnya yang mesti kita telan adalah, semakin maju peradaban kita, semakin
mungkin pertarungan ego menghancurkan semuanya.
Indonesia digadang-gadang akan mengalami bonus demografi
pada tahun 2030. Apabila semangat Sapere Aude yang ditinggalkan Sumpah
Pemuda tidak berkobar sejak hari ini, saya khawatir bahwa bonus demografi yang
dimaksud hanyalah bumerang (lainnya) untuk kita.
"Berpikir besar, kemudian bertindak," ujar
Tan Malaka.