Ada tiga alasan
Kemdikbud menghapus jurusan di SMA. Pertama,
selama puluhan tahun penjurusan di SMA, seolah-olah mendiskriminasi peserta
didik berdasarkan jurusan yang mereka pilih. Di mana jurusan IPA dianggap lebih
superior dibanding dua jurusan lainnya yaitu IPS dan Bahasa. Peserta didik yang
memilih jurusan IPA bisa memilih semua jurusan ketika masuk perguruan tinggi
sementara IPS dan Bahasa hanya bisa memilih jurusan yang berkaitan dengan IPS
atau Bahasa ketika kuliah. Di sinilah konon aspek ketidakadilan tersebut
menyeruak.
Kedua, alasan dihapuskannya jurusan di SMA karena
pengkotak-kotakan jurusan dianggap sudah tidak relevan karena peserta didik
hanya mempelajari jurusan yang telah dipilih sehingga wawasan mereka tidak
berkembang, Padahal secara logika, justru dengan adanya penjurusan, peserta
didik sudah bisa menentukan mau jadi apa kelak, dan belajar secara mendalam di
jurusan yang dipilih.
Saat ini justru terjadi
pendangkalan ketika jurusan dihapuskan yang kelak akan memilih jurusan-jurusan
eksakta di perguruan tinggi tidak mempelajari keseluruhan mata pelajaran yang
beririsan dengan jurusan tersebut sehingga bagaimana pemahaman mereka kelak
tidak bisa diukur secara mendalam. Begitu pula IPS dan Bahasa tidak mempelajari
keseluruhan secara mendalam semua mata pelajaran yang berkaitan dengan IPS dan
Bahasa.
Tes masuk perguruan
tinggi juga menjadi terlalu umum hanya berisi tes potensi skolastik, penalaran
matematika dan literasi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saat ini
mereka harus adaptif dengan cara mempelajari lintas mata pelajaran yang sesuai
dengan minat dan bakatnya sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman.
Ketiga, dengan penghapusan jurusan di SMA, maka semua
peserta didik bisa memilih jurusan yang diinginkan ketika kuliah melalui jalur
tes tanpa melihat latar belakang jurusan ketika di SMA.
Banyak kalangan yang
menyambut positif kebijakan ini, namun euforia ini hendaknya diimbangi dengan
melihat kesiapan infrastruktur sekolah dalam pelaksanaanya. Dengan
dihapuskannya jurusan di SMA, maka sebagai gantinya, peserta didik akan memilih
mata pelajaran sesuai dengan minatnya. Di sinilah letak masalah krusialnya jika
sekolah –sekolah yang menerapkan kurikulum Merdeka mengalami paceklik guru
serta minim sarana pendukung.
Bukan rahasia lagi jika
sekolah-sekolah di pelosok Indonesia hanya memiliki segelintir guru.
Berdasarkan data BPS tahun 2020/2021, dari 6.899 jumlah SMA Negeri hanya ada
339 ribu orang. Data Kemdikbud Ristek tahun 2024, Indonesia kekurangan 1,3 juta
guru. Bahkan di Papua, ada 600 ribu lebih anak Papua yang tidak bersekolah.
Pakar pendidikan Universitas Papua, Dr Agus Irianto Sumule menyebut,
ketersediaan guru sebagai salah satu persoalan utama. Ada lebih 244 ribu anak
jenjang SD tidak sekolah, 224 ribu lebih di jenjang SMP dan 151 ribu lebih di
jenjang SMA/SMK. Angka totalnya adalah 620.724.
Lantas bagaimana di
daerah lain? Silakan search tentang kekurangan guru di daerah-daerah bahkan di
Jakarta pun potensi kekurangan guru juga bisa terjadi. Terlebih baru-baru ini
ada kejadian yang cukup menghebohkan di mana guru-guru honorer yang berjumlah ratusan
orang dipecat mendadak yang dikenal dengan istilah “ cleansing” atau
pembersihan.
Istilah yang kurang
manusiawi sebenarnya untuk dilekatkan pada pahlawan tanpa tanda jasa.
Seolah-olah mereka adalah sampah yang harus dimusnahkan. Tentu saja pemecatan
guru-guru honorer tersebut akan menyebabkan efek domino, di mana mata pelajaran
yang diampu para guru honorer tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal
karena para guru honorer adalah garda depan ketika guru-guru ASN tidak bisa
menangani semua kelas yang ada.
Kebijakan penghapusan
jurusan di SMA saat ini, menjadi langkah revolusioner di Indonesia. Namun, yang
menjadi pertanyaan paling penting adalah bagaimana implementasinya di sekolah?
Bukan sekadar teori di atas kertas dengan gambaran peserta didik menemukan rasa
keadilan tanpa penjurusan dan bebas memilih mata pelajaran yang paling
diminatinya tanpa lagi terkekang dengan mata pelajaran yang wajib dipelajari
dengan terpaksa.
Gambaran singkatnya
seperti ini, mata pelajaran wajib di SMA Kelas XI dan XII adalah Pendidikan
agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila, Bahasa Indonesia , Matematika,
Bahasa Inggris, Pendidkan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Sejarah dan Seni
Budaya. Sedangkan mata pelajaran pilihan adalah: Biologi, Kimia, Fisika,
Matematika Tingkat Lanjut, Informatika, Sosiologi, Ekonomi, Geografi,
Antropologi, Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut, Bahasa Inggris Tingkat Lanjut,
Bahasa Korea, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman,
Bahasa Prancis, Prakarya dan Kewirausahaan dan Mata Pelajaran Lainnya yang
dikembangkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Peserta didik yang duduk
di kelas XI dan XII akan memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat mereka
yang nantinya akan menjadi landasan memilih jurusan ketika kuliah dan mungkin
juga adalah secara garis besar gambaran profesi mereka di kemudian hari.
Setiap sekolah wajib
menyediakan tujuh mata pelajaran pilihan. Namun, peserta didik bisa saja merasa
kewalahan dengan banyaknya pilihan di usia yang relatif muda, mereka mungkin
belum memiliki pemahaman yang jelas tentang minat dan bakat mereka. Alih-alih
merasa bebas, mereka bisa merasa tersesat dalam lautan pilihan yang tak
terbatas. Di Singapura negara yang juga tidak menerapkan penjurusan di SMA agar
peserta didiknya tidak galau dan salah dalam menentukan mata pelajaran yang
diminati, sekolah berinisiatif menyiapkan Konsultan Akademik yang memberikan
saran dan masukan apa dan bagaimana mata pelajaran yang cocok untuk peserta
didik. Hal ini penting, dengan adanya konsultan akademik, peserta didik tentu
saja lebih mantap memilih mata pelajaran yang mereka minati.
Bagaimana di Indonesia,
apakah sekolah-sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka juga menyediakan
konsultan akademik di sekolah? Jika tidak, apakah ada jaminan setiap peserta
didik telah memilih dengan tepat mata pelajaran yang cocok untuk mereka, bukan
sekadar ikut-ikutan atau bahkan dalam kondisi bimbang karena berbagai faktor?
Untuk mengatasi hal
ini, Kemdikbud telah mengeluarkan buku “Panduan Pemilihan Mata Pelajaran
Pilihan” yang mensyaratkan keterlibatan guru bimbingan konseling yang akan
bertugas membimbing peserta didik dalam memilih mata pelajaran yang diminati
bahkan mewawancarai peserta didik dan orang tua tentang pilihan anaknya dan
karirnya kelak. Kedengarannya cukup sederhana hanya melibatkan guru BK. Namun
sekali lagi masalah klasik muncul, di mana tidak semua SMA –SMA di Indonesia
memiliki guru BK. Hingga tahun 2023, Indonesia kekurangan 242 ribu guru Bimbingan
Konseling. Hal ini sedikit banyak akan mengganggu proses pemilihan mata
pelajaran yang diminati siswa jika guru BK tidak ada di sekolah.
Masalah lain yang perlu
untuk dicarikan solusi oleh Kemdikbud Ristek selaku pembuat kebijakan, jika terjadi
hal-hal diluar prediksi, berkaitan dengan jumlah siswa yang akan memilih mata
pelajaran jika terlalu banyak atau bahkan terlalu sedikit pada mata pelajaran
tertentu. Misalnya saja, dalam satu sekolah, ada satu mata pelajaran peminatan,
pesertanya sangat banyak namun pada mata pelajaran lain sepi peminat. Bagaimana
seandainya tenaga guru terbatas pada mata pelajaran yang peminat membludak? Apa
disiapkan lagi penambahan guru dan kelas? Dan bagaimana pula pada mata
pelajaran yang sepi peminat? Apa yang harus dilakukan oleh guru yang
bersangkutan? Apakah bisa dibenarkan kemudian jika ada pihak sekolah yang
misalnya memaksa peserta didik untuk memilih mata pelajaran yang sepi peminat
supaya ada keseimbangan?
Belum lagi jika menoleh
kepada masalah infrastruktur atau fasilitas sekolah. Data tahun 2022, ada
21.983 sekolah yang rusak dari SD hingga SMA. Apakah semua sekolah sudah
selesai direhab dan layak digunakan untuk belajar? Jika sekolah-sekolah
tersebut sudah diperbaiki, bagaimana kemudian infrastruktur pendukung
penghapusan jurusan di SMA? Apakah semua sekolah sudah memiliki laboratorium
bahasa dan IPA sebagai pendukung? Masalah kemudian semakin kompleks jika
melihat list pilihan mata pelajaran bahasa.
List mata pelajaran
Bahasa yang disiapkan terlihat keren. Ada Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa
Mandarin, Bahasa Jerman, Bahasa Korea dan Prancis. Satu hal yang paling penting
dengan mata pilihan bahasa-bahasa asing tersebut adalah lagi-lagi ketersediaan
tenaga pengajar. Karena sampai saat ini pun kampus sebagai penghasil guru-guru
bahasa asing masih sangat sedikit yang memiliki jurusan bahasa-bahasa tersebut.
Bisa dilihat pada
kampus-kampus di Indonesia, kampus mana saja yang sudah menyediakan jurusan
bahasa Korea atau Bahasa Prancis? Jika sangat sedikit, lalu dari mana kira-kira
guru-guru bisa diambil untuk mengajarkan bahasa Korea dan Prancis di
sekolah-sekolah? Untuk Jakarta, Jawa dan sekitarnya mungkin bukan masalah
mencari guru-guru bahasa asing kategori langka tersebut. Bagaimana kondisi
mayoritas sekolah luar Jawa? Untuk menyediakan guru Bahasa Jerman saja di
banyak sekolah waktu masih ada penjurusan di sekolah-sekolah di sana sangat
susah mengadakannya.
Terlebih jumlah
mahasiswa pada jurusan-jurusan bahasa yang ada dalam list mata pelajaran
pilihan juga tidak banyak sehingga output yang dikeluarkan oleh perguruan
tinggi juga sedikit dengan demikian, tenaga pengajar yang tersedia juga langka.
Berkenaan dengan Bahasa-bahasa asing yang ada dalam list. Jika fasilitas dan
sarana bahasa asing mata pelajaran pilihan tersebut tidak bisa disiapkan, oleh
pihak sekolah, lalu apa bedanya dengan kurikulum lama dan sebelum penjurusan
dihapus? Jika mata pelajaran yang disiapkan hanya disesuaikan dengan aset
sekolah, peserta didik di sekolah yang minim fasilitas juga akan tetap belajar
dengan model yang lama tanpa ada hal yang baru.
Peserta didik tidak
bisa memilih mata pelajaran yang katanya akan menjadi penopang karir mereka di
masa depan. Dengan fasilitas yang tidak lengkap dan terbatas tersebut, gambaran
karir apa yang bisa mereka harapkan? Dengan model fasilitas yang tetap pas-pasan
tanpa ada perubahan sama sekali dengan sebelum penjurusan dihapuskan mereka
hanya akan melihat bahwa penghapusan jurusan nyatanya tidak memberi perubahan
apa pun.
Contoh kecil, Misalnya
saja ada peserta didik di sekolah pelosok yang sangat ingin nantinya masuk
jurusan Hubungan Internasional ketika kuliah, namun untuk memilih bahasa Korea
kondisi tidak memungkinkan bahkan untuk sekadar membayangkan saja tidak bisa
karena pengajar bahasa Korea tidak akan pernah ditemukan di daerahnya bahkan di
ibukota Provinsi. Mungkin sebagai solusinya, semua Universitas harus membuka
jurusan-jurusan bahasa Asing yang ada di mata pelajaran peminatan yang artinya
butuh waktu yang lama untuk mempersiapkannya dan bersifat jangka panjang
sementara penghapusan Jurusan di SMA sudah dimulai tahun ini.
Hal-hal di atas
hendaknya dipikirkan sebelum mengambil dan memutuskan suatu kebijakan untuk
diterapkan. Okelah kalau sekiranya semua sekolah menengah atas di Indonesia
memiliki fasilitas yang sama dengan sekolah-sekolah unggulan di Jakarta,
kebijakan penghapusan jurusan tidak akan menemui kendala berarti. Namun sungguh
disayangkan, sekolah –sekolah di Indonesia masih banyak yang memiliki fasilitas
ala kadarnya yang bahkan banyak sekolah yang berlokasi di daerah yang belum tersentuh
listrik dan internet.
Data tahun 2020, ada
8.522 sekolah yang belum teraliri listrik dan 12 ribu sekolah yang belum
tersentuh internet dan 48 ribu sekolah yang memiliki internet dengan jaringan
yang buruk. Sekolah-sekolah tersebut, jangankan menyediakan guru untuk mata
pelajaran peminatan, guru yang tersedia bahkan bisa dihitung dengan jari dan
merangkap mengajar beberapa mata pelajaran.
Penghapusan jurusan di
SMA adalah langkah yang penuh dengan harapan untuk masa depan pendidikan yang lebih
adaptif dan inklusif. Namun, langkah besar dalam sejarah pendidikan Indonesia
ini jangan diwarnai oleh paradoks. Kebebasan bisa menjadi kebingungan,
fleksibilitas bisa menjadi beban dan ambisi bisa bertabrakan dengan kenyataan.
Dalam menghadapi kebijakan
penghapusan jurusan di SMA ini, kita perlu kehati-hatian, perencanaan yang
matang, dan adaptasi yang bijaksana. Hanya dengan demikian, kita bisa
memastikan bahwa perubahan ini benar-benar membawa kita ke arah yang lebih
baik, bukan sekadar menjadi catatan kaki dalam sejarah sebagai kesalahan yang
tidak terduga. Jangan sampai kebijakan penghapusan jurusan ini hanya bintang
lima secara teori namun sekolah-sekolah yang ada masih banyak yang fasilitasnya
kaki lima sehingga kurang mendukung aktivitas peserta didik mencapai cita-cita
yang mereka idam-idamkan.