Menyoal Penghapusan Jurusan di SMA agar Tak Sekadar Euforia (Catatan Reflektif Melihat Wajah Pendidikan Indonesia)

Menyoal Penghapusan Jurusan di SMA agar Tak Sekadar Euforia (Catatan Reflektif Melihat Wajah Pendidikan Indonesia)



Suara Numbei News - Tahun 2024 ini, pemerintah resmi menetapkan kurikulum Merdeka menjadi kurikulum Nasional dengan landasan Peraturan Mendikbud Nomor 12 Tahun 2024 yang berisi tentang penerapan kurikulum Merdeka sebagai kurikulum yang berlaku untuk jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, hingga pendidikan menengah. Sebagai konsekuensinya penghapusan jurusan di SMA menjadi salah satu hal yang juga ikut diterapkan sebagai bagian dari implementasi kurikulum tersebut.

Ada tiga alasan Kemdikbud menghapus jurusan di SMA. Pertama, selama puluhan tahun penjurusan di SMA, seolah-olah mendiskriminasi peserta didik berdasarkan jurusan yang mereka pilih. Di mana jurusan IPA dianggap lebih superior dibanding dua jurusan lainnya yaitu IPS dan Bahasa. Peserta didik yang memilih jurusan IPA bisa memilih semua jurusan ketika masuk perguruan tinggi sementara IPS dan Bahasa hanya bisa memilih jurusan yang berkaitan dengan IPS atau Bahasa ketika kuliah. Di sinilah konon aspek ketidakadilan tersebut menyeruak.

Kedua, alasan dihapuskannya jurusan di SMA karena pengkotak-kotakan jurusan dianggap sudah tidak relevan karena peserta didik hanya mempelajari jurusan yang telah dipilih sehingga wawasan mereka tidak berkembang, Padahal secara logika, justru dengan adanya penjurusan, peserta didik sudah bisa menentukan mau jadi apa kelak, dan belajar secara mendalam di jurusan yang dipilih.

Saat ini justru terjadi pendangkalan ketika jurusan dihapuskan yang kelak akan memilih jurusan-jurusan eksakta di perguruan tinggi tidak mempelajari keseluruhan mata pelajaran yang beririsan dengan jurusan tersebut sehingga bagaimana pemahaman mereka kelak tidak bisa diukur secara mendalam. Begitu pula IPS dan Bahasa tidak mempelajari keseluruhan secara mendalam semua mata pelajaran yang berkaitan dengan IPS dan Bahasa.

Tes masuk perguruan tinggi juga menjadi terlalu umum hanya berisi tes potensi skolastik, penalaran matematika dan literasi dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Saat ini mereka harus adaptif dengan cara mempelajari lintas mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan bakatnya sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman.

Ketiga, dengan penghapusan jurusan di SMA, maka semua peserta didik bisa memilih jurusan yang diinginkan ketika kuliah melalui jalur tes tanpa melihat latar belakang jurusan ketika di SMA.

Banyak kalangan yang menyambut positif kebijakan ini, namun euforia ini hendaknya diimbangi dengan melihat kesiapan infrastruktur sekolah dalam pelaksanaanya. Dengan dihapuskannya jurusan di SMA, maka sebagai gantinya, peserta didik akan memilih mata pelajaran sesuai dengan minatnya. Di sinilah letak masalah krusialnya jika sekolah –sekolah yang menerapkan kurikulum Merdeka mengalami paceklik guru serta minim sarana pendukung.

Bukan rahasia lagi jika sekolah-sekolah di pelosok Indonesia hanya memiliki segelintir guru. Berdasarkan data BPS tahun 2020/2021, dari 6.899 jumlah SMA Negeri hanya ada 339 ribu orang. Data Kemdikbud Ristek tahun 2024, Indonesia kekurangan 1,3 juta guru. Bahkan di Papua, ada 600 ribu lebih anak Papua yang tidak bersekolah. Pakar pendidikan Universitas Papua, Dr Agus Irianto Sumule menyebut, ketersediaan guru sebagai salah satu persoalan utama. Ada lebih 244 ribu anak jenjang SD tidak sekolah, 224 ribu lebih di jenjang SMP dan 151 ribu lebih di jenjang SMA/SMK. Angka totalnya adalah 620.724.

Lantas bagaimana di daerah lain? Silakan search tentang kekurangan guru di daerah-daerah bahkan di Jakarta pun potensi kekurangan guru juga bisa terjadi. Terlebih baru-baru ini ada kejadian yang cukup menghebohkan di mana guru-guru honorer yang berjumlah ratusan orang dipecat mendadak yang dikenal dengan istilah “ cleansing” atau pembersihan.

Istilah yang kurang manusiawi sebenarnya untuk dilekatkan pada pahlawan tanpa tanda jasa. Seolah-olah mereka adalah sampah yang harus dimusnahkan. Tentu saja pemecatan guru-guru honorer tersebut akan menyebabkan efek domino, di mana mata pelajaran yang diampu para guru honorer tersebut tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal karena para guru honorer adalah garda depan ketika guru-guru ASN tidak bisa menangani semua kelas yang ada.

Kebijakan penghapusan jurusan di SMA saat ini, menjadi langkah revolusioner di Indonesia. Namun, yang menjadi pertanyaan paling penting adalah bagaimana implementasinya di sekolah? Bukan sekadar teori di atas kertas dengan gambaran peserta didik menemukan rasa keadilan tanpa penjurusan dan bebas memilih mata pelajaran yang paling diminatinya tanpa lagi terkekang dengan mata pelajaran yang wajib dipelajari dengan terpaksa.

Gambaran singkatnya seperti ini, mata pelajaran wajib di SMA Kelas XI dan XII adalah Pendidikan agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila, Bahasa Indonesia , Matematika, Bahasa Inggris, Pendidkan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan, Sejarah dan Seni Budaya. Sedangkan mata pelajaran pilihan adalah: Biologi, Kimia, Fisika, Matematika Tingkat Lanjut, Informatika, Sosiologi, Ekonomi, Geografi, Antropologi, Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut, Bahasa Inggris Tingkat Lanjut, Bahasa Korea, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, Bahasa Jepang, Bahasa Jerman, Bahasa Prancis, Prakarya dan Kewirausahaan dan Mata Pelajaran Lainnya yang dikembangkan sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Peserta didik yang duduk di kelas XI dan XII akan memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat mereka yang nantinya akan menjadi landasan memilih jurusan ketika kuliah dan mungkin juga adalah secara garis besar gambaran profesi mereka di kemudian hari.

Setiap sekolah wajib menyediakan tujuh mata pelajaran pilihan. Namun, peserta didik bisa saja merasa kewalahan dengan banyaknya pilihan di usia yang relatif muda, mereka mungkin belum memiliki pemahaman yang jelas tentang minat dan bakat mereka. Alih-alih merasa bebas, mereka bisa merasa tersesat dalam lautan pilihan yang tak terbatas. Di Singapura negara yang juga tidak menerapkan penjurusan di SMA agar peserta didiknya tidak galau dan salah dalam menentukan mata pelajaran yang diminati, sekolah berinisiatif menyiapkan Konsultan Akademik yang memberikan saran dan masukan apa dan bagaimana mata pelajaran yang cocok untuk peserta didik. Hal ini penting, dengan adanya konsultan akademik, peserta didik tentu saja lebih mantap memilih mata pelajaran yang mereka minati.

Bagaimana di Indonesia, apakah sekolah-sekolah yang menerapkan Kurikulum Merdeka juga menyediakan konsultan akademik di sekolah? Jika tidak, apakah ada jaminan setiap peserta didik telah memilih dengan tepat mata pelajaran yang cocok untuk mereka, bukan sekadar ikut-ikutan atau bahkan dalam kondisi bimbang karena berbagai faktor?

Untuk mengatasi hal ini, Kemdikbud telah mengeluarkan buku “Panduan Pemilihan Mata Pelajaran Pilihan” yang mensyaratkan keterlibatan guru bimbingan konseling yang akan bertugas membimbing peserta didik dalam memilih mata pelajaran yang diminati bahkan mewawancarai peserta didik dan orang tua tentang pilihan anaknya dan karirnya kelak. Kedengarannya cukup sederhana hanya melibatkan guru BK. Namun sekali lagi masalah klasik muncul, di mana tidak semua SMA –SMA di Indonesia memiliki guru BK. Hingga tahun 2023, Indonesia kekurangan 242 ribu guru Bimbingan Konseling. Hal ini sedikit banyak akan mengganggu proses pemilihan mata pelajaran yang diminati siswa jika guru BK tidak ada di sekolah.

Masalah lain yang perlu untuk dicarikan solusi oleh Kemdikbud Ristek selaku pembuat kebijakan, jika terjadi hal-hal diluar prediksi, berkaitan dengan jumlah siswa yang akan memilih mata pelajaran jika terlalu banyak atau bahkan terlalu sedikit pada mata pelajaran tertentu. Misalnya saja, dalam satu sekolah, ada satu mata pelajaran peminatan, pesertanya sangat banyak namun pada mata pelajaran lain sepi peminat. Bagaimana seandainya tenaga guru terbatas pada mata pelajaran yang peminat membludak? Apa disiapkan lagi penambahan guru dan kelas? Dan bagaimana pula pada mata pelajaran yang sepi peminat? Apa yang harus dilakukan oleh guru yang bersangkutan? Apakah bisa dibenarkan kemudian jika ada pihak sekolah yang misalnya memaksa peserta didik untuk memilih mata pelajaran yang sepi peminat supaya ada keseimbangan?

Belum lagi jika menoleh kepada masalah infrastruktur atau fasilitas sekolah. Data tahun 2022, ada 21.983 sekolah yang rusak dari SD hingga SMA. Apakah semua sekolah sudah selesai direhab dan layak digunakan untuk belajar? Jika sekolah-sekolah tersebut sudah diperbaiki, bagaimana kemudian infrastruktur pendukung penghapusan jurusan di SMA? Apakah semua sekolah sudah memiliki laboratorium bahasa dan IPA sebagai pendukung? Masalah kemudian semakin kompleks jika melihat list pilihan mata pelajaran bahasa.

List mata pelajaran Bahasa yang disiapkan terlihat keren. Ada Bahasa Inggris, Bahasa Arab, Bahasa Mandarin, Bahasa Jerman, Bahasa Korea dan Prancis. Satu hal yang paling penting dengan mata pilihan bahasa-bahasa asing tersebut adalah lagi-lagi ketersediaan tenaga pengajar. Karena sampai saat ini pun kampus sebagai penghasil guru-guru bahasa asing masih sangat sedikit yang memiliki jurusan bahasa-bahasa tersebut.

Bisa dilihat pada kampus-kampus di Indonesia, kampus mana saja yang sudah menyediakan jurusan bahasa Korea atau Bahasa Prancis? Jika sangat sedikit, lalu dari mana kira-kira guru-guru bisa diambil untuk mengajarkan bahasa Korea dan Prancis di sekolah-sekolah? Untuk Jakarta, Jawa dan sekitarnya mungkin bukan masalah mencari guru-guru bahasa asing kategori langka tersebut. Bagaimana kondisi mayoritas sekolah luar Jawa? Untuk menyediakan guru Bahasa Jerman saja di banyak sekolah waktu masih ada penjurusan di sekolah-sekolah di sana sangat susah mengadakannya.

Terlebih jumlah mahasiswa pada jurusan-jurusan bahasa yang ada dalam list mata pelajaran pilihan juga tidak banyak sehingga output yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi juga sedikit dengan demikian, tenaga pengajar yang tersedia juga langka. Berkenaan dengan Bahasa-bahasa asing yang ada dalam list. Jika fasilitas dan sarana bahasa asing mata pelajaran pilihan tersebut tidak bisa disiapkan, oleh pihak sekolah, lalu apa bedanya dengan kurikulum lama dan sebelum penjurusan dihapus? Jika mata pelajaran yang disiapkan hanya disesuaikan dengan aset sekolah, peserta didik di sekolah yang minim fasilitas juga akan tetap belajar dengan model yang lama tanpa ada hal yang baru.

Peserta didik tidak bisa memilih mata pelajaran yang katanya akan menjadi penopang karir mereka di masa depan. Dengan fasilitas yang tidak lengkap dan terbatas tersebut, gambaran karir apa yang bisa mereka harapkan? Dengan model fasilitas yang tetap pas-pasan tanpa ada perubahan sama sekali dengan sebelum penjurusan dihapuskan mereka hanya akan melihat bahwa penghapusan jurusan nyatanya tidak memberi perubahan apa pun.

Contoh kecil, Misalnya saja ada peserta didik di sekolah pelosok yang sangat ingin nantinya masuk jurusan Hubungan Internasional ketika kuliah, namun untuk memilih bahasa Korea kondisi tidak memungkinkan bahkan untuk sekadar membayangkan saja tidak bisa karena pengajar bahasa Korea tidak akan pernah ditemukan di daerahnya bahkan di ibukota Provinsi. Mungkin sebagai solusinya, semua Universitas harus membuka jurusan-jurusan bahasa Asing yang ada di mata pelajaran peminatan yang artinya butuh waktu yang lama untuk mempersiapkannya dan bersifat jangka panjang sementara penghapusan Jurusan di SMA sudah dimulai tahun ini.

Hal-hal di atas hendaknya dipikirkan sebelum mengambil dan memutuskan suatu kebijakan untuk diterapkan. Okelah kalau sekiranya semua sekolah menengah atas di Indonesia memiliki fasilitas yang sama dengan sekolah-sekolah unggulan di Jakarta, kebijakan penghapusan jurusan tidak akan menemui kendala berarti. Namun sungguh disayangkan, sekolah –sekolah di Indonesia masih banyak yang memiliki fasilitas ala kadarnya yang bahkan banyak sekolah yang berlokasi di daerah yang belum tersentuh listrik dan internet.

Data tahun 2020, ada 8.522 sekolah yang belum teraliri listrik dan 12 ribu sekolah yang belum tersentuh internet dan 48 ribu sekolah yang memiliki internet dengan jaringan yang buruk. Sekolah-sekolah tersebut, jangankan menyediakan guru untuk mata pelajaran peminatan, guru yang tersedia bahkan bisa dihitung dengan jari dan merangkap mengajar beberapa mata pelajaran.

Penghapusan jurusan di SMA adalah langkah yang penuh dengan harapan untuk masa depan pendidikan yang lebih adaptif dan inklusif. Namun, langkah besar dalam sejarah pendidikan Indonesia ini jangan diwarnai oleh paradoks. Kebebasan bisa menjadi kebingungan, fleksibilitas bisa menjadi beban dan ambisi bisa bertabrakan dengan kenyataan.

Dalam menghadapi kebijakan penghapusan jurusan di SMA ini, kita perlu kehati-hatian, perencanaan yang matang, dan adaptasi yang bijaksana. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa perubahan ini benar-benar membawa kita ke arah yang lebih baik, bukan sekadar menjadi catatan kaki dalam sejarah sebagai kesalahan yang tidak terduga. Jangan sampai kebijakan penghapusan jurusan ini hanya bintang lima secara teori namun sekolah-sekolah yang ada masih banyak yang fasilitasnya kaki lima sehingga kurang mendukung aktivitas peserta didik mencapai cita-cita yang mereka idam-idamkan.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama