Apakah Buku Masih Dianggap Sebagai Kebutuhan?
Sebenarnya, jika kita
mencari tahu lebih lanjut, dapat dipahami bahwa ternyata ada banyak faktor yang
menyebabkan rendahnya minat baca di Indonesia. Faktor yang pertama adalah
kurangnya akses terhadap buku itu sendiri. Setiap tahunnya, harga buku terus
mengalami kenaikan. Kenaikan harga buku dipengaruhi oleh naiknya biaya produksi
dan bahan baku. Misalnya ketika harga kertas yang merupakan bahan baku
mengalami kenaikan, maka biaya produksi pun akan meningkat sehingga harga buku
menjadi lebih tinggi (Sari, 2018). Saat ini, harga buku lokal rata-rata berada
pada kisaran Rp 70.000 hingga Rp 150.000. Buku-buku yang berasal dari luar
negeri bahkan biasanya dipatok dengan harga lebih tinggi, yang tidak jarang
mencapai harga diatas Rp200.000 (Tifanaas, 2025). Alhasil, bagi sebagian orang,
buku dianggap sebagai kebutuhan tersier karena harganya yang tergolong mahal.
Artinya, harga buku yang semakin tinggi menyebabkan kurangnya daya beli,
sehingga buku menjadi semakin tersisihkan dari kebutuhan masyarakat. Fenomena
ini tidak bisa dianggap sepele. Ketika buku dan kegiatan membaca tidak lagi
menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, kita bisa mengalami penurunan
kemampuan berpikir kritis, bernalar, dan memahami suatu hal secara utuh.
Akibatnya, tidak heran jika banyak yang mudah terjebak dalam informasi dangkal,
berita hoaks, dan pemikiran instan. Hal ini diperparah dengan hadirnya media
sosial yang menyajikan konten secara instan, masif, dan mudah diakses oleh
masyarakat.
Media Sosial dan Fenomena Brain Rot
Sebagian besar
masyarakat saat ini lebih memilih untuk bermain media sosial selama berjam-jam
dibandingkan menghabiskan waktu untuk membaca buku. Fenomena ini dapat memicu brain
rot, yang merujuk pada dampak buruk akibat seringnya mengonsumsi konten media
sosial yang kurang berkualitas, sehingga menandakan bahwa upaya masyarakat
untuk berpikir mendalam dan serius menjadi semakin menurun (Luthfia, 2025).
Singkatnya, brain rot dapat dipahami sebagai kemunduran kapasitas berpikir
akibat terlalu lama terpapar informasi yang cepat, ringan, dan tidak mendalam.
Budaya scrolling tanpa henti menciptakan generasi yang kehilangan daya tahan
membaca. Membaca satu paragraf panjang saja sudah membuat bosan, apalagi satu
bab buku. Ketika otak terlalu lama dimanjakan dengan visual cepat dan ringan,
ia akan kemampuan untuk berpikir secara mendalam cenderung akan berkurang. Di
sinilah brain rot itu mengakar.
Keinginan untuk Memperoleh Informasi Secara Instan
Selain itu, jika
dibandingkan dengan kemudahan bersosial media yang biasanya bersifat gratis,
harga buku yang tinggi membuatnya seolah menjadi barang mewah yang hanya dapat
dinikmati oleh kalangan tertentu. Kecenderungan mengenai rendahnya minat
membaca ini juga bisa dilihat dari rendahnya minat terhadap buku fisik di
kalangan remaja dan mahasiswa. Contohnya, mahasiswa saat ini cenderung lebih
memilih untuk mencari ringkasan di internet ketimbang membaca satu buku secara
utuh. Informasi dari internet atau media sosial disajikan dengan cepat dan
singkat, sehingga tidak memakan waktu yang lama untuk mencari dan membacanya.
Sementara itu, membaca buku membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keinginan
untuk memahami isi dari buku tersebut. Permasalahan mengenai fasilitas
perpustakaan juga masih kerap ditemui di beberapa daerah non perkotaan.
Misalnya beberapa sekolah yang perpustakaannya masih kekurangan buku menandakan
bahwa akses para siswanya terhadap buku pun menjadi terhambat. Watson (2019)
juga menyatakan bahwa “Buku ujian pun sering kali tidak sesuai dengan tingkat
pendidikan”.
Kehadiran iPusnas yang Potensinya Masih Belum
Maksimal
Di era digital ini,
pemerintah memang telah menunjukkan upaya terhadap peningkatan akses buku
dengan menyediakan platform membaca berupa perpustakaan digital yang di
dalamnya berisi berbagai buku digital gratis, salah satunya adalah iPusnas.
Akan tetapi, sangat disayangkan karena aplikasi tersebut masih sering mengalami
eror sehingga penggunanya terkadang mengalami kesulitan untuk mengakses buku
yang ada di iPusnas. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan perpustakaan digital
berbasis nasional ini masih kurang efektif. Padahal, iPusnas sebagai
perpustakaan digital yang gratis dan legal untuk diakses oleh masyarakat Indonesia
dapat berperan besar dalam meningkatkan minat baca karena memberikan akses
terhadap buku-buku berkualitas yang harga belinya tergolong mahal.
Masalah Literasi Bukan Sekadar “Malas Membaca”
Rendahnya minat baca di
Indonesia bukan semata soal kemalasan, namun juga soal akses, lingkungan, dan
budaya.
Jadi, apa solusinya?
Apakah semua ini tidak
bisa diubah? Tentu saja bisa. Namun, perubahan tidak bisa hanya dibebankan
kepada generasi muda. Diperlukan adanya sinergi dari berbagai pihak, mulai dari
pemerintah, pendidik, keluarga, penerbit, dan masyarakat. Pemerintah perlu serius
menjadikan buku sebagai kebutuhan pokok pendidikan. Sekolah dan guru perlu
berupaya untuk menjadikan membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan
sekadar tugas yang harus dipenuhi. Kurikulum pendidikan juga perlu mendorong
pemahaman, bukan hanya hafalan saja.
Orang tua juga punya
peran penting. Anak-anak yang tumbuh di rumah yang penuh buku akan terbiasa
melihat membaca sebagai bagian dari hidup, bukan kewajiban. Kita juga perlu
membentuk komunitas literasi yang aktif dan kreatif. Diskusi buku, klub
membaca, atau bahkan konten media sosial yang membahas buku bisa menjadi
jembatan antara generasi digital dengan dunia literasi.
Kita perlu memahami
bahwa membaca bukan hanya aktivitas, tetapi investasi untuk masa depan. Jika
kita ingin masa depan Indonesia dipimpin oleh generasi yang cerdas dan
berintegritas, maka budaya membaca harus ditanamkan sejak dini. Membaca bukan
untuk mengejar nilai ujian, tetapi untuk memahami berbagai hal yang ada di
dunia ini. Bukan untuk sekadar menyelesaikan tugas, tetapi untuk membentuk
kepribadian dan cara berpikir. Karena itu, mari kita mulai dari hal kecil.
Matikan notifikasi media sosial sebentar. Ambil satu buku, baca satu bab.
Biarkan otak kita kembali bekerja, mencerna, dan bertumbuh. Karena bangsa besar
bukan hanya dibangun oleh teknologi, tetapi oleh masyarakat yang gemar membaca.
Referensi
Luthfia, A. (2025).
Brain Rot, Penurunan Kualitas Otak Akibat
Kebiasaan Scroll Tanpa Henti. Antara.
https://www.antaranews.com/berita/4558822/brain-rot-penurunan-kualitas-otak-akibat-kebiasaan-scroll-tanpa-henti