banner Mahalnya Sebuah Buku, Serangan Brain Rot, dan Krisis Minat Baca

Mahalnya Sebuah Buku, Serangan Brain Rot, dan Krisis Minat Baca



Suara Numbei News - Di bulan Mei, kita memperingati Hari Buku Nasional. Akan tetapi, jika 
berbicara tentang literasi, umumnya informasi yang kita terima menyatakan bahwa tingkat literasi di Indonesia masih tergolong rendah. Namun, apakah benar bahwa rendahnya tingkat literasi ini terjadi karena banyak masyarakat Indonesia yang tidak suka membaca? Mengapa minat baca di Indonesia bisa rendah? Bahkan meskipun kita telah memasuki era digital, mengapa masyarakat Indonesia masih saja rentan termakan berita hoaks? Oleh karena itu, marilah kita bersama-sama merefleksikan kondisi literasi yang berkaitan dengan minat baca di Indonesia pada era digital ini.

Apakah Buku Masih Dianggap Sebagai Kebutuhan?

Sebenarnya, jika kita mencari tahu lebih lanjut, dapat dipahami bahwa ternyata ada banyak faktor yang menyebabkan rendahnya minat baca di Indonesia. Faktor yang pertama adalah kurangnya akses terhadap buku itu sendiri. Setiap tahunnya, harga buku terus mengalami kenaikan. Kenaikan harga buku dipengaruhi oleh naiknya biaya produksi dan bahan baku. Misalnya ketika harga kertas yang merupakan bahan baku mengalami kenaikan, maka biaya produksi pun akan meningkat sehingga harga buku menjadi lebih tinggi (Sari, 2018). Saat ini, harga buku lokal rata-rata berada pada kisaran Rp 70.000 hingga Rp 150.000. Buku-buku yang berasal dari luar negeri bahkan biasanya dipatok dengan harga lebih tinggi, yang tidak jarang mencapai harga diatas Rp200.000 (Tifanaas, 2025). Alhasil, bagi sebagian orang, buku dianggap sebagai kebutuhan tersier karena harganya yang tergolong mahal. Artinya, harga buku yang semakin tinggi menyebabkan kurangnya daya beli, sehingga buku menjadi semakin tersisihkan dari kebutuhan masyarakat. Fenomena ini tidak bisa dianggap sepele. Ketika buku dan kegiatan membaca tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, kita bisa mengalami penurunan kemampuan berpikir kritis, bernalar, dan memahami suatu hal secara utuh. Akibatnya, tidak heran jika banyak yang mudah terjebak dalam informasi dangkal, berita hoaks, dan pemikiran instan. Hal ini diperparah dengan hadirnya media sosial yang menyajikan konten secara instan, masif, dan mudah diakses oleh masyarakat.

Media Sosial dan Fenomena Brain Rot

Sebagian besar masyarakat saat ini lebih memilih untuk bermain media sosial selama berjam-jam dibandingkan menghabiskan waktu untuk membaca buku. Fenomena ini dapat memicu brain rot, yang merujuk pada dampak buruk akibat seringnya mengonsumsi konten media sosial yang kurang berkualitas, sehingga menandakan bahwa upaya masyarakat untuk berpikir mendalam dan serius menjadi semakin menurun (Luthfia, 2025). Singkatnya, brain rot dapat dipahami sebagai kemunduran kapasitas berpikir akibat terlalu lama terpapar informasi yang cepat, ringan, dan tidak mendalam. Budaya scrolling tanpa henti menciptakan generasi yang kehilangan daya tahan membaca. Membaca satu paragraf panjang saja sudah membuat bosan, apalagi satu bab buku. Ketika otak terlalu lama dimanjakan dengan visual cepat dan ringan, ia akan kemampuan untuk berpikir secara mendalam cenderung akan berkurang. Di sinilah brain rot itu mengakar.

Keinginan untuk Memperoleh Informasi Secara Instan

Selain itu, jika dibandingkan dengan kemudahan bersosial media yang biasanya bersifat gratis, harga buku yang tinggi membuatnya seolah menjadi barang mewah yang hanya dapat dinikmati oleh kalangan tertentu. Kecenderungan mengenai rendahnya minat membaca ini juga bisa dilihat dari rendahnya minat terhadap buku fisik di kalangan remaja dan mahasiswa. Contohnya, mahasiswa saat ini cenderung lebih memilih untuk mencari ringkasan di internet ketimbang membaca satu buku secara utuh. Informasi dari internet atau media sosial disajikan dengan cepat dan singkat, sehingga tidak memakan waktu yang lama untuk mencari dan membacanya. Sementara itu, membaca buku membutuhkan kesabaran, ketekunan, dan keinginan untuk memahami isi dari buku tersebut. Permasalahan mengenai fasilitas perpustakaan juga masih kerap ditemui di beberapa daerah non perkotaan. Misalnya beberapa sekolah yang perpustakaannya masih kekurangan buku menandakan bahwa akses para siswanya terhadap buku pun menjadi terhambat. Watson (2019) juga menyatakan bahwa “Buku ujian pun sering kali tidak sesuai dengan tingkat pendidikan”.

Kehadiran iPusnas yang Potensinya Masih Belum Maksimal

Di era digital ini, pemerintah memang telah menunjukkan upaya terhadap peningkatan akses buku dengan menyediakan platform membaca berupa perpustakaan digital yang di dalamnya berisi berbagai buku digital gratis, salah satunya adalah iPusnas. Akan tetapi, sangat disayangkan karena aplikasi tersebut masih sering mengalami eror sehingga penggunanya terkadang mengalami kesulitan untuk mengakses buku yang ada di iPusnas. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan perpustakaan digital berbasis nasional ini masih kurang efektif. Padahal, iPusnas sebagai perpustakaan digital yang gratis dan legal untuk diakses oleh masyarakat Indonesia dapat berperan besar dalam meningkatkan minat baca karena memberikan akses terhadap buku-buku berkualitas yang harga belinya tergolong mahal.

Masalah Literasi Bukan Sekadar “Malas Membaca”

Rendahnya minat baca di Indonesia bukan semata soal kemalasan, namun juga soal akses, lingkungan, dan budaya.

Jadi, apa solusinya?

Apakah semua ini tidak bisa diubah? Tentu saja bisa. Namun, perubahan tidak bisa hanya dibebankan kepada generasi muda. Diperlukan adanya sinergi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pendidik, keluarga, penerbit, dan masyarakat. Pemerintah perlu serius menjadikan buku sebagai kebutuhan pokok pendidikan. Sekolah dan guru perlu berupaya untuk menjadikan membaca sebagai kegiatan yang menyenangkan, bukan sekadar tugas yang harus dipenuhi. Kurikulum pendidikan juga perlu mendorong pemahaman, bukan hanya hafalan saja.

Orang tua juga punya peran penting. Anak-anak yang tumbuh di rumah yang penuh buku akan terbiasa melihat membaca sebagai bagian dari hidup, bukan kewajiban. Kita juga perlu membentuk komunitas literasi yang aktif dan kreatif. Diskusi buku, klub membaca, atau bahkan konten media sosial yang membahas buku bisa menjadi jembatan antara generasi digital dengan dunia literasi.

Kita perlu memahami bahwa membaca bukan hanya aktivitas, tetapi investasi untuk masa depan. Jika kita ingin masa depan Indonesia dipimpin oleh generasi yang cerdas dan berintegritas, maka budaya membaca harus ditanamkan sejak dini. Membaca bukan untuk mengejar nilai ujian, tetapi untuk memahami berbagai hal yang ada di dunia ini. Bukan untuk sekadar menyelesaikan tugas, tetapi untuk membentuk kepribadian dan cara berpikir. Karena itu, mari kita mulai dari hal kecil. Matikan notifikasi media sosial sebentar. Ambil satu buku, baca satu bab. Biarkan otak kita kembali bekerja, mencerna, dan bertumbuh. Karena bangsa besar bukan hanya dibangun oleh teknologi, tetapi oleh masyarakat yang gemar membaca.

Referensi

Luthfia, A. (2025). Brain Rot, Penurunan Kualitas Otak Akibat Kebiasaan Scroll Tanpa Henti. Antara. https://www.antaranews.com/berita/4558822/brain-rot-penurunan-kualitas-otak-akibat-kebiasaan-scroll-tanpa-henti

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama