Perkembangan kebijakan kurikulum akan selalu menjadi
perhatian public yang tiada habisnya untuk dibahas, karena kurikulum selalu up to date dengan relevansi terhadap
tuntutan dan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna pendidikan secara langsung.
Perubahan kurikulum di Indonesia biasanya dilakukan
hampir setiap lima tahun sekali. Namun, terkadang bisa lebih cepat atau pun
lebih lama.
Tradisi dan pameo “ganti menteri ganti kurikulum” sepertinya akankah berlaku juga pada
era Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim. Hal tersebut tiada lain ramai isu akan
adanya perubahan kurikulum yang disampaikan oleh Mas Menteri dalam perayaan
Hari Guru Nasional 25 November lalu.
Mulai tahun depan kurikulum yang ditawarkan adalah
kurikulum yang lebih fleksibel. Kurikulum tersebut akan lebih berfokus pada
materi yang esensial, tidak terlalu padat materi. Menurut Mas Menteri hal ini
dinilai penting agar guru punya waktu untuk pengembangan karakter dan kompetensi.
Mas Menteri menegaskan bahwa kurikulum itu bukanlah
kurikulum baru, namun sekadar penyempurnaan dan penyederhanaan dari
kurikulum yang ada saat ini yakni kurikulum 2013. Akan tetapi wewenang
penerapan kurikulum terbaru ini diberikan kepada masing-masing sekolah.
Berdasarkan penuturannya, sekolah tidak akan dipaksa untuk menerapkan kurikulum
tersebut.
Senyatanya perubahan kurikulum adalah keniscayaan,
tugas kita para guru adalah bisa memberikan bekal yang cukup bagi siswa-siswi
kita untuk hidup di zamannya.
Keterampilan abad 21 yang dibutuhkan murid untuk Communication, Collaboration, Critical
Thinking, dan Creativity akan menjadi pepesan kosong ataupun slogan semata
jika dalam sistem pendidikan itu sendiri kurikulumnya sudah tidak lagi relevan.
Bukankah Pendidikan yang ideal hakikatnya selalu
bersifat “antisipatoris” dan “prepatoris”, yakni selalu mengacu ke masa depan,
dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk kehidupan masa depan yang jauh
lebih baik, bermutu, dan bermakna (Buchori, 2001a; 2001b). Dalam konteks
pemikiran seperti itu pula, maka konstruksi kurikulum pun secara ideal
seharusnya bersifat antisipatoris dan prepatoris bagi terwujudnya pendidikan
nasional yang ideal.
Kurikulum yang baru harus dipahami dan dilaksanakan
mengusung konsep merdeka belajar, para guru harus adaptif dan "agile". Hemat penulis, berdasar
pemahaman dan pengalaman karena sekolah terpilih sebagai SMK Pusat Keunggulan
dan sekolah pun lolos otomatis terpilih jadi sekolah penggerak dan menggunakan
kurikulum merdeka. Jika melihat uji coba kurikulum di sekolah penggerak
dipastikan bahwa pembelajaran berpusat pada siswa dengan Profil Pelajar
Pancasila (PPP), karena memang menjadi penuntun arah yang memandu kebijakan
pembaruan pendidikan termasuk pembelajaran dan asesmen.
Selanjutnya dalam pembelajaran akan ditemui istilah
baru seperti Capaian Pembelajaran (CP) sebagai pengganti Kompetensi Inti (KI)
dan Kompetensi Dasar (KD). Isinya kompetensi dan karakter yang dicapai murid
dalam periode tertentu, CP ini dibagi dalam beberapa fase. CP ini digunakan
untuk menyusun tujuan pembelajaran (TP) dan alur tujuan pembelajaran (ATP).
Pengembangan pembelajaran dilakukan seperti Literasi
dasar dan STEAM (Science, Technology,
Engineering, Art, and Mathematics), STEAM harus dikenalkan sejak pendidikan
PAUD. Mata pelajaran IPAS sebagai gabungan pelajaran IPA dan IPS di SD, dan
baru akan kembali menjadi mapel IPA dan IPS sebagai mapel di SMP. Mata
pelajaran Informatika menjadi mapel wajib di SMP setelah sebelumnya dibuang,
era digital menjadi salah satu alasannya.
Selanjutnya menjawab tantangan global dalam hal
komunikasi, dan kemampuan berkomunikasi menjadi hal primer yang harus dimiliki
siswa untuk menyampaikan ide dan gagasannya. Keterampilan-keterampilan seperti
menulis dan public speaking menjadi sebuah tuntutan.
Siswa harus bisa berbicara di depan public tentu
saja tidak sekadar berbicara tetapi bagaimana berbicara dengan runut,
berlogika, isi pembicaraan bernas, yang menurut anak zaman sekarang
isinya daging semua, dan menghormati lawan bicara.
Siswa harus memiliki enam keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, berbicara, dan menulis)
berkembang dua keterampilan penambahan untuk memirsa (viewing) dan mempresentasikan (presenting).
Pada fase F SMA untuk output pembelajaran bahasa
Inggris harus setara B1 skala CEFR (Common
European Framework of Reference) yaitu Standar Eropa untuk menentukan level
bahasa yang dikuasai seseorang. B1 itu setara dengan Pre-Intermediate, dan
untuk tingkat lanjut di SMA yang diharapkan mencapai B2 alias Intermediate.
Sebelumnya pembelajaran dan sertifikat Bahasa Inggris di SMK sudah diperoleh
oleh para siswa dengan menerapkan standar TOEC.
Jika sebelumnya dikenal penjurusan atau peminatan,
maka program peminatan/penjurusan tidak diberlakukan. Di kelas 10 murid
menyiapkan diri menentukan pilihan mapel di kelas 11. Di kelas 11 dan 12 murid
mengikuti mapel dari kelompok mapel wajib dan memilih mapel dari kelompok MIPA,
IPS, Bahasa, dan keterampilan vokasi sesuai minat, bakat, dan aspirasinya.
Lalu tidak kalah pentingnya pembelajaran lainnya
adalah siswa dibekali dengan keterampilan berkolaborasi yang baik tentu akan survive
di zamannya. Kemudian keterampilan berpikir kritis dan kreativitas sangat
mendukung bagi keberhasilan seseorang yang hidup di era disrupsi dan disaat
krisis seperti pandemi saat ini.
Pembelajaran saintifik dan Model pembelajaran PJBL
atau Project Based Learning menjadi
pilihan untuk meningkatkan keterampilan abad 21 (kecakapan 4C). Selain project,
para siswa di tingkat SMA pun harus menulis esai ilmiah sebagai syarat
kelulusan. Pada tingkat SMK, pembelajaran berbasis produk dan project bukan hal
baru. Pun siswa kelas XII sudah dibiasakan dengan uji pertanggung jawaban hasil
Praktek Kerja Industri (Prakerin) atau magang dan juga presentasi sidang uji
kompetensi (ujikom) keahliannya.
Alhasil, yakin saja kita semua bisa mengikuti
perubahan yang ada. Kita semua harus bisa beradaptasi dengan menjadi guru dan
siswa yang agile. Perubahan adalah
sebuah keniscayaan, bergantung bagaimana kita menyikapinya.
Mari bergerak menuju perubahan yang lebih baik.