Banyak orang yang
saling injak demi mendapatkan hadiah utama alias doorprize yang telah
disediakan. Para politisi tersebut berangkat dalam koloni-koloni kelompok yang
seakan solid. Dalam prosesnya, saling menginjak dan mengangkat satu sama lain.
Yang diinjak tak boleh marah, sebab memang begitu aturan mainnya. Urutannya,
yang menjadi pemain pertama dan kedua harus rela dijadikan ‘tumbal’, sementara
politisi kelas kakap mengincar bagian paling nikmat, yakni pemanjat terakhir
dengan rasio diinjak lebih sedikit. Ironisnya, setelah sampai di atas, banyak
yang akhirnya mengkhianati rekan seperjuangannya. Rasa tamak mendapat hadiah
utama, membuatnya gelap mata dan berujung mementingkan diri sendiri.
Adapun contoh
konkretnya tampak dalam fenomena menjelang pemilu 2024 saat ini. Awalnya,
Presiden Jokowi tergabung dalam Partai PDI Pejuangan yang digawangi oleh
Megawati Soekarnoputri. Ia diusung sejak periodenya yang pertama oleh partai
berlogo banteng tersebut hingga menang dua periode kepresidenan. Para rekan dan
timnya sudah berusaha semaksimal mungkin demi pemenangan tersebut. Tapi
sayangnya, menjelang pemilu 2024, Jokowi pun membelot. Ia mengajukan putra
sulungnya, Gibran Rakabuming menjadi calon wakil presiden (cawapres)
mendampingi Prabowo Subianto. Gibran dijadikan pion untuk memperpanjang
kekuasaannya di RI dengan slogram ‘Keberlanjutan’. Keputusan tersebut sontak
ditolak mentah-mentah oleh PDIP yang selama ini mendukungnya. Sebab, PDIP pun
punya pasangan calonnya sendiri yakni Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Keputusan
tersebut diambil Jokowi saat dirinya sudah berada di puncak kekuasaan. Ia bebas
menggerakan berbagai lembaga negara dan power yang dimiliki untuk memenangkan
Gibran Rakabuming. Lantas, apa yang terjadi selanjutnya? Tentu menghalalkan
segala cara demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mulai dari mengubah
putusan MK terkait aturan usia cawapres, bagi-bagi bansos atas nama pribadi,
terang-terangan memihak salah satu paslon dalam kontestasi pemilu dan lain
sebagainya. Semua upaya tersebut dilakukan untuk memuluskan jalan sang putra
mahkota menempati kursi pemimpin yang paling nyaman.
Fenomena tersebut dalam
di dunia politik akrab disebut sebagai kakistokrasi. Kakistokrasi merupakan
pemerintahan yang dijalankan oleh warga negara yang paling buruk, paling tidak
memenuhi syarat, atau paling tidak bermoral (Bowler, 1985). Kata ini berasal
dari dua kata Yunani, kakistos (κάκιστος; terburuk) dan kratos (κράτος;
pemerintahan), yang secara harfiah berarti pemerintahan oleh orang-orang
terburuk (Evans, 2011). Contoh terjadinya kakistokrasi dapat dijumpai di
Amerika Serikat. Banyak para pengamat politik yang kaget atas terpilihnya
Donald Trump sebagai orang nomor satu di Negeri Paman Sam tersebut. Betapa
tidak, karakter Trump dianggap tak cocok menjadi presiden AS yang merupakan
kiblat demokrasi dunia. Mulai dari adanya kerusuhan di Gedung Captiol yang
fenomenal, menghabiskan anggaran untuk menyewa jet, bahkan dalam kondisi
perjalanan jarak dekat, dan lain sebagainya. Sosok Trump lantas dinobatkan menjadi
ikon kakistokrasi AS.
Sementara di Indonesia,
istilah kasistokrasi barangkali masih belum begitu familiar. Publik lebih
familiar dengan padanan katanya yang lain, yakni oligarki, otoriter, korupsi,
dinasti politik dan sejenis. Namun, memang seluruh istilah tersebut masing
saling berkaitan satu sama lain sehingga banyak yang menganggapnya sama. Akan
tetapi, praktik-praktik kakistokrasi di Indonesia pun mulai mengikuti jejak AS,
termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi.
Lantas, apa dampaknya ?
Hal ini praktis membuat
orang-orang yang kompeten di lembaga pemerintahan bakal tersingkir dengan
mudah. Jangankan terpilih sebagai pemimpin baru, bisa bersaing pun rasanya
berat. Sebab, kekuasaan yang terjadi di hierarki paling tinggi tak mudah diganggu
gugat karena memiliki banyak sumber daya lebih luas. Tersingkirnya orang-orang
yang kompeten nantinya bakal semakin melanggengkan kakistokrasi yang terjadi.
Bagaikan lingkaran setan, semuanya terjadi berulang kali dan sulit untuk bisa
lepas dari sana.
Barangkali Presiden
Jokowi perlu belajar banyak dari AS yang lebih dulu mencontohkan betapa
buruknya aksi kakistokrasi. Hal ini supaya tidak semakin buruk dan membuat
rakyat geram. Sebab, pergolakan rakyat terpantau makin masif. Para mahasiswa
mulai turun ke jalan dalam rangka pemakzulan Jokowi, para civitas akademika
dari berbagai kampus juga ramai-ramai menyatakan pelanggaran demokrasi yang
dilakukan di era Jokowi. Jangan sampai, karena terlalu terlena berada di atas
pohon pinang dengan segala hadiah yang didapat, menjadi tuli pada kebutuhan
rakyatnya. Republik ini sudah jauh merdeka dalam reformasi, tak perlu lagi
mengulang sejarah seperti tahun 1998 bersama kerusuhan yang terjadi. ***