Dalam kaitannya dengan
beberapa hal itu, tentu ada ragam pandangan dan pendapat, baik dari kalangan
penyair dan filsuf, maupun dari teoritikus akademis. Ada satu pendapat yang
menarik, sebagaimana dikutip Rene Wellek & Austin Waren dalam buku Teori
Kesusastraan mereka, yang dilontarkan Rudolf Unger bahwa sastra bukanlah
filsafat yang diterjemahkan dalam wujud dan bentuk pencitraan dan dalam wujud
puisi, melainkan ekspressi sikap yang umum terhadap kehidupan. Dan bersamaan dengan
itu pula, penyair atau pun sastrawan biasanya menjawabnya dengan cara yang
tidak sistematis sejumlah persoalan yang biasanya juga merupakan tema-tema
dalam filsafat, dengan cara menjawab yang lebih bersifat puitis ketimbang
sistematis.
Barangkali, berpuisi
dapat saja kita istilahkan sebagai berfilsafat secara longgar, jikapun seorang
penyair memiliki niat menjadikan puisi yang ditulisnya bersifat filosofis, di
saat perlu juga diajukan pertanyaan: adakah sebuah puisi menjadi tinggi nilai dan
posisinya jika berbau, bercitarasa, dan bersifat filosofis? Tidakkah sebuah
puisi dinilai berdasarkan kemampuannya untuk menawarkan suatu wawasan dan
cakrawala yang tidak sistematis dan tidak konseptual? Bila demikian, ternyata,
tema dan materi diskusi Puisi dan Filsafat lebih sebagai kesempatan yang justru
membuka banyak pertanyaan ketimbang jawaban, sebuah moment yang justru mengajak
kita untuk berfilsafat, dan nantinya kalau bisa, berfilsafat dengan berpuisi.
Meski mengutip
pandangan yang bernada kontra terkait korelasi positif antara sastra dan
filsafat, Rene Wellek dan Austin Warren toh tetap pula mengakui sejumlah
penyair yang filsuf dan sejumlah filsuf yang penyair, dan kiranya sejumlah nama
itu (yang di sini saya tambahkan nama-nama lainnya yang tak disebutkan Rene
Wellek & Austin Warren) tidaklah asing bagi kita yang membaca khazanah
sastra, khususnya puisi, semisal nama Sa’adi, Omar Khayyam, Ferdowsi, Goethe,
dan Nietzsche, sembari mengemukakan hubungan personal antara para penyair dan
filsuf dan hubungan intertekstual dan intelektual mereka.
Singkatnya, teoritikus
seperti Rene Wellek dan Austin Warren itu, yang tentu saja berbeda pula dengan
Terry Eagleton dari Ingris itu, adalah para pendukung keunikan dan kekhasan
disiplin masing-masing antara puisi dan filsafat yang lebih banyak perbedaannya
ketimbang persamaannya meski para penyair acapkali membaca karya-karya filsafat
dan begitu pula sebaliknya, kerapkali para filsuf membaca karya-karya sastra,
terlebih lagi jika diantara mereka terjadi kontak dan hubungan personal dalam
keseharian mereka yang memungkinkan terjalinnya intertekstualitas atau
terjalinnya intertekstualitas tanpa hubungan personal, seperti ketika Shaw
membaca Nietzsche dan Samuel Buttler, James Joyce membaca tulisan-tulisannya Thomas
Aquinas, Sighmund Freud, Vico, Carl Gustav Jung, Giardano Bruno dan yang
lainnya, sementara W.B. Yeats adalah pengagum dan pembaca filsafat Berkeley.
Dan begitu pula, ketika para filsuf membaca puisi-puisi para penyair dan
naskah-naskah drama para dramawan dan menjadi para penonton pementasan teater.
Dan bila kita berbicara
tentang kesamaan atau pun kemiripan antara puisi dan filsafat, satu diantara
kesamaan itu adalah baik penyair maupun filsuf adalah sama-sama manusia yang
bertanya tentang semesta dan keseharian mereka, meski metode, cara dan bentuk
jawaban atau tanggapan dan refleksi mereka berbeda. Terkait penyair dan filsuf
yang sama-sama sebagai makhluk penanya dan yang bertanya itu, filsuf Martin
Heidegger bahkan merasa mendapatkan inspirasi filsafatnya ketika membaca
puisi-puisinya Friedrich Holderlin yang sanggup menyingkap eksistensi manusia
sebagai makhluk ‘yang terlempar ke dunia’ sebagai takdir dan nasibnya. Bila
demikian, puisi bahkan memiliki fungsi menyingkap serta menghadirkan ‘wawasan’ dan
‘cakrawala’ baru bagi filsafat selain fungsi katartif dan konsolatifnya sebagai
karya seni dan sastra.
Demikian pula, bila
filsafat kita pahami secara longgar dalam artian tidak melulu akademis, maka
aktivitas dan kegiatan kepenyairan dan kepenulisan puisi bisa saja disebut
aktivitas berfilsafat dengan jalan dan caranya sendiri ketika berusaha
mengajukan pertanyaan-pertanyaan melalui ironi dan metafora, mengakrabi
kehidupan dan keseharian lalu mengekspresikan dan menarasikannya dengan
aforistis atau dengan puisi liris. Bukankah para penyair hebat adalah mereka
yang acapkali mempertanyakan ulang hidup justru dalam rangka menyegarkannya
kembali dan menyadarkan kita akan keberartiannya justru dengan mengajukan
sejumlah ironi dan paradoks sembari menyajikannya secara indah yang akan
membuat kita tersadar akan keberadaan hidup dan kehidupan itu melalui media dan
instrument bahasa yang telah digubah melalui metafora atau perumpamaan di saat
para filsuf melakukannya secara argumentatif?
Martin Heidegger adalah
salah-satu filsuf yang memberi penghormatan dan memiliki kekaguman besar pada
puisi dan penyair, dan kemudian filsuf Jacques Derrida dan sejumlah filsuf
mutakhir pasca Heidegger memiliki minat yang mendalam pula kepada puisi
khususnya dan sastra umumnya. Penyair, dengan merujukkan contohnya kepada
Friedrich Holderlin, adalah wujud manusia otentik dan puisi merupakan bahasa
paling tinggi, yang sanggup mengajak pembacanya menuju pengertian mendalam
tentang otentisitas manusia dan menyingkapkan wajah hidup dan kehidupan yang
jujur dan otentik pula.
Puisi itu sendiri
adalah buah refleksi penyairnya ketika mengada dalam semesta dunia dan
aktivitas menulis dan menghasilkan puisi tentu saja tak lepas dari aktivitas
merenung dan berpikir. Seperti ketika penyair memikirkan dan memilih kata atau
ketika ‘memikirkan’ bagaimana bentuk naratif puisi yang akan ditulisnya.
Tidakkah hal demikian merupakan wujud aktivitas yang juga mirip dan bahkan sama
ketika filsuf “memikirkan” dunia dan hidup yang kemudian ia refleksikan dalam
wujud traktat atau pun risalah pemikiran atau tulisan filsafat yang sistematis
dan argumentatif? Hanya saja, puisi ditulis sembari menghibur dan menghadirkan
keindahan sebagai sebuah seni dan karya sastra, sedangkan filsafat acapkali
dihadirkan sebagai risalah yang sistematis dan argumentatif, hingga seorang
George Santayana pernah berujar bahwa, “filsafat adalah sesuatu yang beralasan
dan berat, sementara puisi adalah sesuatu yang bersayap, berkedip dan
terinspirasi”, sebuah pernyataan yang akan mengesankan bahwa puisi lebih tinggi
posisinya ketimbang filsafat, dalam arti puisi yang memang senantiasa
memancarkan makna dan pemahaman yang senantiasa relevan ketika masih selalu
dibaca, seperti sejumlah puisi-puisinya Jalaluddin Rumi.
Dan bila kita sependapat
dengan Martin Heidegger, anggap saja berpuisi adalah berpikir (berfilsafat)
secara non-konseptual dan non-sistematis, sebagaimana kita pun bisa menganggap
puisi sebagai sebuah filsafat non-konseptual untuk puisi-puisi yang memang
bercitarasa dan bersifat filosofis. Meski acapkali puisi-puisi yang justru
filosofis adalah puisi-puisi yang ketika penyairnya menulis puisi-puisi itu
malah tak memiliki niatan (intensi) menjadi filosofis, seperti ketika
puisi-puisinya William Wordsworth yang hanya sekedar melukiskan keindahan alam
dan kesepian seorang penyair dalam mengarungi nestapa hidup:
Berkelana-lah aku sepi bagai awan
Membubung tinggi atas lembah dan gugusan bukit
Seketika aku berjumpa keriuhan
Serumpun daffodil kuning
Di tepi danau, di naungan pohon
Melambai menari dihembus angin
Berketerusan seumpama bintang-bintang yang
berkilauan
Dan berkerlap-kerlip di angkasa
Terbentang pada garis tak berujung
Sepanjang tapal batas teluk;
Sepuluh ribu kulihat sekali tatap
Melenggokkan kepala dalam tarian bahagia
Ombak di sisi turut menari, namun mereka
Melangkaui gemerlapan ombak yang riang: —
Seorang pujangga mustahil seriang itu,
Layaknya rerimbun penuh kegembiraan
Aku memandang dan terus memandang namun terlintas di pikiran
Khazanah apa yang telah tersingkap padaku
Sebuah puisi yang
terdengar seperti narasi cerita otobiografis moment terilhaminya seorang
penyair di kala tersingkapnya tangan-tangan semesta yang menyentuh bathin
penyair yang kemudian menuntun penyair untuk merenung dan merefleksikan arti
hidup dan perjalanannya dalam mengemban amanat usia sebagai seorang manusia.
Sebuah puisi yang sesungguhnya filosofis karena mengutarakan sebuah pertanyaan
lembut yang sifatnya reflektif sehingga seakan mengajak kita yang membaca
puisinya untuk ‘menghayati’ hidup dan kehidupan yang kadang kita jalani dalam
keadaan nestapa dan kadang dalam kegembiraan yang hadir begitu saja. Selamat
berpuisi sembari berfilsafat dan selamat berfilsafat sembari berpuisi. (*)
Medio Harekain,
Minggu 24 Maret 2024
Tulisan sederhana buat istriku tercinta Febiana dan dua Princess Kecilku Felisha dan Felin