Dikutip Uca News, dosen
STF Driyakarya itu mengatakan, penghargaan tersebut adalah bentuk pengakuan
bagi dirinya yang mempelajari bidang ateisme.
“ Pertama, ini adalah
kompetensi dan apa yang saya pelajari. MURI mungkin berpikir aneh seorang imam
Katolik mempelajari ateisme,” ungkapnya seperti dikutip Uca News.
Pastor
Simon menyelesaikan pendidikan doktoral pada tahun 2004, dari
University of Johann Wolfagang Goethe, Frankrut, Jerman tahun 2000. Sebelumnya
ia meraih gelar master filsafat Jerman di sebuah universitas di Munich.
Imam kelahiran 13 Juni
1963 itu menerima tahbisan imamat pada 18 Agustus 1992. Ia mengaku, dirinya
tidak menghadapi tantangan serius menulis disertasinya.
“ Itu hanya bagaimana
saya harus memiliki argumen yang baik dengan cara berpikir Jerman, karena saya
belajar di sana. Akan lebih mudah Anda berbicara dalam bahasa Anda sendiri.
Selebihnya baik-baik saja,” katanya seperti dilansir Uca News.
Terlahir Seorang Buddhis
Sebelum menjadi
Katolik, Pastor Simon tumbuh dan besar dalam agama Buddha. Ia baru memeluk
Katolik ketika usianya 15 tahun. Pastor Simon mengatakan bahwa akar ateisme di
Indonesia adalah kedewasaan psikologis.
“Seorang teolog
Lutheran Jerman, Gerhard Ebeling, mengatakan bahwa hanya ketika Allah
dipertahankan dengan segala cara, maka dapat menumbuhkan benih ateisme”.
Di Indonesia sendiri,
dirinya mengaku tidak mengetahui pasti seberapa besar jumlah masyarakat
Indonesia yang ateis.
“ Dari pengalaman saya,
mereka yang memilih ateisme tampaknya tidak benar-benar ateis. Mereka hanya
memiliki pemahaman yang berbeda tentang Allah. Misalnya, mereka percaya kepada
Tuhan hanya sebagai entitas yeng memberi kehidupan.
Tetapi mereka tidak
percaya kepada Tuhan sebagai pribadi atau monoteisme”.
Dengan kondisi
Indonesia yang secara umum memiliki ragama agama resmi, dan ratusan agama
kepercayaan, Pastor Simon mengatakan kondisi itu menjadi positif.
Sebab ateisme tidak
menjadi ancaman serius bagi bangsa. Ateisme menjadi masalah ketika mengganggu
kehidupan kemanusiaan dan agama.
Bagi Pastor Simon,
mempelajari ateisme sebagai ilmu pengetahun itu penting. Tetapi, hanya cukup
pada pengetahuan saja, bukan menekuninya. Dia percaya bahwa ateisme tidak akan
pernah bertahan hidup.
“ Mempelajari ateisme
membantu kita menjadi introspeksi, baik secara pribadi maupun sosial. Ini buka
tabu. Jangan pernah takut mempelajari ateisme, dan jangan pernah berpikir bahwa
itu tabu. Pelajari saja secara kritis sebagai ilmu bukan ideologi”.
Diterjemahkan dari Uca
News
Lihat Juga:
Paus Minta Rusia dan Ukraina Segera Rekonsiliasi
Emak-emak bikin Lagu Buat Suami Yang Sibuk Dengan Gadget
Mengenang Kembali Ir. Sutami, Menteri Termiskin Penuh Dedikasi