Kelompok masyarakat
yang mengalami diskriminasi, memiliki hak yang terbatas dan akses yang terbatas
terhadap platform tata kelola, atau dikucilkan dari jejaring sosial kemungkinan
besar akan mengalami dampak yang tidak proporsional dari risiko iklim dan
memiliki kapasitas adaptasi yang lebih rendah.
Diketahui bersama
tentunya beberapa dekade terakhir, Indonesia telah mencapai kemajuan yang luar
biasa dalam mengurangi kemiskinan. Akan tetapi, apabila prestasi kemajuan yang
sudah diraih akan tergerus cepat jika kita tidak dapat mengatasi dampak yang
terjadi dari perubahan iklim dan kebijakan strategis perubahan iklim.
Di Negara-Negara
berkembang Kemiskinan masih menjadi tantangan pembangunan yang menjadi
prioritas, di mana hanya 20% masyarakat Indonesia yang telah mencapai ekonomi
kelas menengah. Kelompok 40 % terbawah masih mempunyai risiko yang besar untuk
jatuh ke dalam kemiskinan, dan ketimpangan masih tinggi, terutama di
daerah-daerah terpencil atau 3T (Terluar, Tertinggal, Terdalam) yang sangat
bergantung pada sumber daya alam (Sumber : Bank Dunia 2020).
Tentu, agar Indonesia
dapat mempertahankan rekor pengentasan kemiskinannya dan bergerak menuju negara
berpendapatan menengah ke atas, mengatasi dimensi sosial dari perubahan iklim
bukanlah suatu pilihan, namun suatu keharusan serta dibutuhkan gotong royong
dari berbagai pihak.
Dampak perubahan iklim
yang dialami masyarakat tidak hanya bergantung pada paparan mereka terhadap
risiko iklim namun juga pada sensitivitas mata pencaharian dan budaya
masyarakat terhadap perubahan iklim, serta fakta kapasitas masyarakat untuk
beradaptasi dan menanggapi perubahan tersebut. Kerentanan sangat berbeda-beda
antar penduduk tergantung pada faktor geografis, ekonomi, dan sosial. Pandangan
penulis, inilah masalah utama dalam tulisan ini.
Masyarakat yang
mengalami diskriminasi, terbatasnya akses terhadap akses hak dan fasilitas atas
ancaman perubahan iklim, atau dikucilkan dari jaringan sosial, menghadapi
dampak risiko iklim yang tidak proporsional dan memiliki kapasitas adaptasi
yang lebih rendah serta berpotensi menimbulkan jarak keadilan. Dikarenakan hal
tersebut, masyarakat miskin dan paling rentan di daerah pedesaan terpencil
maupun perkotaan padat penduduk diperkirakan akan menghadapi dampak yang paling
parah dari perubahan iklim.
Negara dalam Mitigasi Perubahan Iklim
Indonesia dapat
menyiapkan mitigasi maupun meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim
dengan meningkatkan kemampuan kolektif masyarakat untuk bertahan, pulih lebih
cepat, dan melakukan penguatan kapasitas kelompok masyarakat desa dalam menghadapi
perubahan iklim.
Pengetahuan, tradisi,
dan keterampilan lokal merupakan pendorong penting dari ketahanan sosial di
masyarakat desa, ditambah dengan jaminan akses terhadap hak dan sumber daya,
terutama bagi kelompok-kelompok marginal di wilayah desa.
Wilayah desa menjadi
tumpuan dalam menghadapi berbagai risiko perubahan iklim. Contoh saja daerah
pedesaan termiskin di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua menunjukkan kesamaan
dalam proyeksi tren curah hujan dan suhu akibat perubahan iklim. Proyeksi
perubahan iklim menunjukkan bahwa wilayah tersebut akan mengalami peningkatan
suhu dan perubahan pola curah hujan.
Selain itu,
meningkatnya suhu diperkirakan akan menyebabkan timbulnya gelombang panas yang
lebih sering dan intens, sehingga menimbulkan risiko terhadap kesehatan manusia
dan produktivitas pertanian. Pada saat yang sama, perubahan pola curah hujan
dapat mengakibatkan curah hujan yang lebih tidak menentu, termasuk kekeringan
yang berkepanjangan dan curah hujan yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan
peningkatan kelangkaan air dan potensi banjir atau tanah longsor. Kejadian
tersebut tentu dapat mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana, tempat
tinggal, hilangnya mata pencaharian, dan hilangnya nyawa.
Peristiwa
hidrometeorologi di Maluku yang disebabkan oleh perubahan iklim sudah
menimbulkan kerugian besar. Hujan deras sering menyebabkan banjir bandang dan
tanah longsor di Pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya dan kemungkinan akan terus
meningkat.
Di seluruh provinsi
Maluku, beberapa pulau akan mengalami musim kemarau yang semakin kering dan
musim hujan yang semakin basah, sedangkan pulau-pulau lainnya akan mengalami
cuaca yang lebih panas dan kering di antara musim hujan. Pulau Buru, Ambon, dan
Seram mungkin mengalami penurunan curah hujan di semua musim, sedangkan
pulau-pulau di selatan dan Aru hanya mengalami penurunan curah hujan pada bulan
Desember hingga bulan Mei. Perubahan yang sedang berlangsung ini akan berdampak
pada tanaman pangan, hutan, dan sumber air bersih (Sumber : USAID 2018).
Dalam hal dampak
perubahan iklim, masyarakat yang berprofesi sebagai petani sangat sensitif
terhadap dampak perubahan iklim, di mana masyarakat miskin di pedesaan adalah
kelompok yang paling terkena dampak dari produksi dan konsumsi. Perkiraan
perbedaan curah hujan dan suhu akan berdampak negatif terhadap hasil pertanian,
yang masih menjadi mata pencaharian utama bagi banyak rumah tangga di pedesaan
dan seringkali mendorong ketidakstabilan harga pangan.
Mata pencaharian pertanian
sensitif terhadap perubahan iklim berdasarkan topografi dan kondisi ekologi
lahan. Secara tradisional, banyak petani kecil mengandalkan petunjuk lingkungan
untuk menentukan praktik pertanian. Perubahan pola cuaca dan suhu akibat
perubahan iklim dapat mengacaukan sinyal-sinyal lingkungan ini dan mengganggu
pemahaman petani kecil tentang bagaimana dan kapan saatnya bercocok-tanam dalam
skenario emisi tinggi.
Desa Sebagai Garda Depan Ancaman Perubahan Iklim
Pemerintahan desa
sebagai bagian dari pemerintahan paling bawah secara hierarki, dapat juga
disebut sebagai pintu gerbang yang penting untuk meningkatkan ketahanan sosial
dan mengadvokasi kebutuhan masyarakat. Kepala desa yang terpilih memiliki
kekuasaan dan pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan wilayah dan
terkadang terdapat permasalahan penggunaan lahan dan sumber daya yang dihadapi
masyarakat.
Peran Kepala Desa
sebagai penjaga dan organisator masyarakat merupakan warisan dari masa prakolonial
hingga sekarang. Pemerintahan desa kini terdiri dari kepala desa terpilih,
badan permusyawaratan desa (BPD) terpilih, dan kepala urusan (KAUR) yang
ditunjuk oleh kepala desa.
Program nasional
pembangunan berbasis masyarakat di Indonesia, dan evolusi selanjutnya menjadi
Undang-Undang Nomor 14 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa), telah menunjukkan
efektivitas alat nasional yang serbaguna ini dalam menyalurkan sumber daya
secara langsung ke masyarakat desa.
Pada tahun 2014,
Pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Desa yang ambisius, yang secara
signifikan meningkatkan otonomi sekitar 75.000 pemerintah desa. Sejak
diundangkan, UU Desa telah menjadi instrumen hukum utama dalam memberikan
pelayanan publik di Indonesia (Hartojo dkk. 2022).
Pemerintahan Desa lewat
kepala desa dipilih, KAUR Desa, dan staf administrasi ditunjuk untuk mendukung
kebijakan kepala desa dan desa mendapat jaminan anggaran tahunan sekitar Rp 1,6
miliar (lebih dari US$ 67.000) setiap tahun (angka tahun 2022) untuk
pembangunan desa. Sebagian besar anggaran ini digunakan untuk fokus membangun
sarana dan prasarana berskala kecil dan mendorong pembangunan ekonomi lokal
yang selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) 5
tahunan.
Amanat UU Desa mengamanatkan
implementasi penggunaan anggaran pemerintah desa melaui proses musyawarah dalam
perencanaan dan penganggaran sumber daya desa melalui Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Desa (Musrengbangdesa). Anggaran desa tentunya diketahui bersama
bersumber dari tiga sumber utama yaitu, alokasi langsung dari Kementerian
Keuangan, alokasi dari pemerintah kabupaten, dan pendapatan asli daerah.
Selam aini UU Desa
mencerminkan komitmen yang luas terhadap pemberdayaan desa. Ketika
undang-undang ini disahkan, muncul semangat peningkatan demokrasi desa dan
proses partisipatif serta memberikan sumber daya ekonomi yang lebih besar
kepada desa-desa dengan otonomi desa yang lebih besar atas penggunaan sumber
daya tersebut.
Namun demikian, ada
beberapa permasalahan dalam pelaksanaan UU Desa menghalangi desa untuk
melakukan perencanaan, penganggaran, dan tindakan dalam perubahan iklim.
Beberapa persoalan pelaksanaan tidak spesifik untuk menghadapi perubahan iklim
dan akan mempunyai dampak positif yang lebih luas jika ditangani, sementara
persoalan lainnya adalah spesifik untuk investasi terkait iklim dalam
pengelolaan sumber daya alam dan mitigasi bencana.
Hambatan utamanya
adalah meningkatnya alokasi dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat,
keterbatasan prosedur dalam sistem perencanaan dan penganggaran, terbatasnya
cakupan bantuan teknis untuk menjadi masukan informasi bagi investasi desa, dan
kualitas tata kelola desa yang sangat berbeda-beda. Akibatnya, anggaran desa
terkendala penyelesaian prioritas lokal, tekanan politik, dan hambatan dalam
sistem pengalokasian dana untuk kegiatan adaptasi iklim (seperti kegiatan
tahunan yang sudah membudaya peningkatan sarana dan prasarana).
Selain itu, peraturan
perencanaan dan penganggaran desa memungkinkan untuk membiayai kegiatan
konservasi dan reboisasi, tetapi tidak memberikan insentif secara langsung
(Watts dkk. 2019).
Demi mendorong
perencanaan desa yang lebih inklusif dan tanggap terhadap perubahan iklim,
penulis berpendapat. Pertama, membangun kapasitas SDM atau masyarakat desa
untuk berperan serta dalam program perlindungan lingkungan hidup dan
pembangunan ekonomi serta proses perencanaan dan penganggaran desa.
Mekanisme yang dapat
dicoba adalah melalui kerja sama kemitraan dengan masyarakat sipil dan sektor
swasta yang dapat bekerja secara langsung dengan kelompok-kelompok kepentingan
masyarakat (seperti petani, perempuan, dan pemuda).
Dukungan yang diberikan
akan mencakup perencanaan lokal yang partisipatif, memperkenalkan peningkatan
keterampilan dan teknologi kepada masyarakat, dan memberdayakan
kelompok-kelompok marginal di desa. Sehingga kuat dalam spirit nilai gotong
royong masyarakat desa terhadap perubahan iklim.
Kedua, Mengembangkan
instrumen pelatihan dan penjangkauan yang lebih baik bagi pemerintah desa dan
fasilitator desa untuk mendorong perencanaan dan tindakan mitigasi perubahan
iklim di desa-desa. Dapat juga mengembangkan dan menyusun pedoman perencanaan mitigasi
iklim untuk pemerintah desa dan kelompok masyarakat desa. Langkah-langkah
tersebut dapat merujuk basis data nasional untuk menilai kerentanan spesifik di
desa (seperti peningkatan risiko banjir atau kebakaran).
Ketiga, Memastikan
bahwa, selama penyusunan rencana 5 (lima) tahun, proses perencanaan dan
penganggaran desa melalui Musrengbangdes harus mencakup penilaian kerentanan
iklim partisipatif di desa. Temuan dari penilaian tersebut dapat diintegrasikan
ke dalam biaya operasi dan pemeliharaan. Biaya-biaya tersebut dapat mencakup
penilaian wajib terhadap stabilitas lereng, rencana/penilaian drainase
masyarakat di daerah rawan banjir dan tanah longsor, atau penilaian lokal
terhadap erosi pasang surut daerah pesisir.
Keempat, merevisi pedoman
prioritas anggaran dana desa tahunan, yang dikeluarkan setiap tahun oleh
Kementerian Desa PDTT sebagai pedoman bagi penetapan anggaran desa, yang
didasarkan pada analisis dan data, seperti peta kerentanan sosial masyarakat
desa, dan tidak terlalu bersifat preskriptif. Sehingga, dapat mengurangi
proporsi anggaran Dana Desa yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan tertentu
akan memberikan fleksibilitas yang diperlukan bagi pemerintah desa dan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan aksi iklim di desa.