Affandi dan Chairil
Anwar berkolaborasi menciptakan poster "Boeng Ajo Boeng." Ki Hadjar
Dewantara menyusun kata-kata menjadi tulisan protes tajam berjudul "Als Ik
Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang terbit di
harian De Expres.
Berpindah ke era
politik elektoral multimedia sekarang, kita melihat penggunaan bahasa yang
berbeda namun tetap relevan. Prabowo Subianto, presiden terpilih pada Pemilu
2024, juga mengudara di panggung dengan ciri khasnya yang dikenal oleh
masyarakat Indonesia dengan kata "Gemoy."
Media internasional
menyoroti tarian Prabowo setelah ia mengeklaim keunggulan dalam hasil hitung
cepat. BBC menegaskan sosok berusia 72 tahun itu menggambarkan dirinya sebagai
“kakek yang menggemaskan” dan sering melakukan gerakan tarian khasnya, baik di
atas panggung maupun dalam beberapa video TikTok.
Akan tetapi hal
tersebut justru disukai oleh generasi Z. Berdasarkan rilis exit poll Pilpres
2024 dari Indikator Politik Indonesia, 71 persen responden yang merupakan
generasi Z atau anak muda berusia kurang dari 27 tahun memilih Prabowo.
Media sosial telah
merombak dinamika komunikasi dan struktur kekuasaan dalam masyarakat
kontemporer. Tokoh-tokoh politik menggunakan bahasa untuk memengaruhi massa di
berbagai era dengan ciri khas tersendiri yang membedakan mereka dari kandidat
lain.
Fenomena ini
mencerminkan bagaimana platform digital telah mengubah cara pesan disampaikan
dan diterima, karena memudahkan setiap politisi untuk membangun citra dan
hubungan yang lebih personal dan langsung dengan konstituen mereka.
Namun, apakah etis jika
seorang kandidat hampir setiap kali berada di panggung, terutama saat kampanye,
melakukan gerakan tarian khas dengan dalih "menggemaskan"? Bahasa
tubuh dan simbol-simbol visual memiliki pengaruh besar dalam politik modern,
tetapi ada garis tipis antara memanfaatkan tren budaya dan mereduksi integritas
politik menjadi sekadar hiburan.
Saat kita merenungkan
sejarah dan peran bahasa dalam politik, penting untuk mempertimbangkan
bagaimana cara komunikasi kita mencerminkan nilai-nilai dan visi yang ingin
kita bawa ke depan. Prabowo sebagai Presiden terpilih, telah menemukan cara
untuk terhubung dengan generasi muda, tetapi kita harus terus kritis terhadap
bagaimana bahasa dan simbol digunakan dalam arena politik.
Siklus Penggunaan Pronomina
Tuturan yang di
hasilkan oleh politisi merupakan bagian dari wacana kampanye. Tindak tutur
mereka hampir selalu termasuk dalam jenis tindak perlokusi (Perlocutionary Act).
Pada dasarnya, tuturan mereka mempengaruhi orang lain, baik secara emosional,
sikap, maupun tindakan, dengan efek yang diharapkan berupa perolehan dukungan
suara sebanyak mungkin. Politisi tidak hanya berbicara, melainkan juga
melakukan tindakan dengan mendorong calon pemilih untuk mengikuti mereka.
Ketika kita menilik
kembali pemilu 2014, kedua kandidat memberdayakan penggunaan pronomina
"kita". Calon presiden nomor satu, Prabowo Subianto, menggunakan
ungkapan lama, "kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita siapa
lagi." Sementara itu, calon presiden nomor dua, Joko Widodo, menggunakan
tagline yang lebih berani, yaitu "Jokowi adalah kita." Kedua kandidat
tersebut memproduksi tagline ini dalam berbagai bentuk komunikasi seperti
pidato, baliho, spanduk, hingga leaflet.
Dibandingkan dengan
pronomina persona lainnya, pronomina "kita" memiliki keunggulan
karena menyiratkan kesatuan antara penutur dan mitra tutur. Dengan menggunakan
pronomina "kita," penutur secara performatif menunjukkan bahwa ia
berada di pihak yang sama dengan mitra tuturnya. Pronomina "kita"
juga menciptakan rasa egalitarianisme, karena menempatkan mitra tutur pada
posisi yang setara dengan penutur. Jika digunakan dalam konteks yang tepat,
pronomina "kita" dapat menumbuhkan empati dan kepedulian terhadap
penutur.
Sedangkan pada pemilu
2024 tagline Prabowo Subianto, "Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia
Emas," menggunakan pronomina "bersama" berbeda dengan penggunaan
pronomina "kita" yang secara eksplisit menyertakan penutur dan
pendengar dalam satu kelompok, "bersama" menekankan kolaborasi tanpa
menyebutkan secara eksplisit pronomina persona. Namun, efeknya tetap sama yaitu
bertujuan mewujudkan kesatuan dan kerja sama secara kolektif dalam masyarakat.
Penggunaan kata
"bersama" memperluas cakupan inklusi, sehingga setiap pemilih merasa
menjadi bagian dari tujuan kolektif tanpa harus merasa terikat pada identitas
tertentu. Ini adalah strategi linguistik yang cerdik, karena menghindari
keterikatan yang terlalu personal namun tetap menggalang rasa persatuan dan
kebersamaan dalam mencapai visi bersama.
Dengan demikian,
penggunaan pronomina dalam wacana politik bukanlah pilihan yang sembarangan.
Setiap kata yang dipilih dan setiap konstruksi kalimat yang digunakan dirancang
untuk mencapai efek psikologis tertentu pada pendengar. Politisi memanfaatkan
pronomina ini untuk menciptakan ilusi kedekatan dan kerja sama, memperkuat
ikatan emosional dengan pemilih, dan akhirnya, mempengaruhi hasil pemilu.
Superfisialitas Bahasa Politik Digital
Berlanjut ke era
politik elektoral multimedia, penggunaan bahasa mengalami transformasi
signifikan. Di masa ini, bahasa tidak lagi terbatas pada orasi di panggung atau
siaran radio, melainkan juga diberdayakan dalam ranah digital. Politisi dan
tokoh masyarakat kini memanfaatkan platform media sosial untuk menyampaikan
pesan dan berinteraksi dengan masyarakat.
Kicauan di Twitter,
unggahan di Instagram, dan video di TikTok maupun YouTube menjadi senjata baru
dalam kampanye politik. Bahasa menjadi lebih ringkas, padat, dan sering kali
disesuaikan dengan selera generasi muda yang menginginkan informasi cepat dan
visual yang menarik.
Dalam menyambut pilkada
serentak 27 November 2024 di seluruh Indonesia ada banyak kandidat menggunakan
tagline di media sosial yang tidak memperhatikan makna mendalamnya. Fokus utama
mereka adalah pada daya tarik instan dan popularitas, Akibatnya, bahasa politik
di era digital cenderung menjadi lebih superfisial, dengan prioritas pada gaya
dan daya tarik visual daripada isi dan makna yang sebenarnya.
Hal ini terlihat dari
banyaknya slogan dan frasa yang cepat populer namun minim substansi contohnya:
“Santuy Aja!” Tagline ini menggunakan bahasa gaul yang sedang populer,
"santuy" (santai), tetapi tidak memberikan gambaran tentang kebijakan
atau program yang dimaksud dengan memuat kata “Santuy Aja”
Hal tersebut tentunya
dirancang untuk memicu reaksi emosional dan meningkatkan keterlibatan pengguna
media sosial. Para politisi mengandalkan tim media sosial yang ahli dalam
strategi pemasaran digital, tetapi kurang memedulikan dampak jangka panjang
dari pesan-pesan yang mereka sebarkan.
Dengan demikian,
fenomena ini mencerminkan perubahan besar dalam cara komunikasi politik
dilakukan, di mana keberhasilan diukur dari seberapa viral sebuah konten, bukan
dari seberapa bermakna dan mendalam pesan yang disampaikan.
Dell Hymes dalam
bukunya "Foundation in Sociolinguistics"1974 mengungkapkan penggunaan
rumus SPEAKING. Ia berpendapat bahwa usaha untuk mengungkap makna tuturan harus
diimbangi dengan usaha untuk mengungkap setting (latar fisik dan batin), key
(nada), instrumentalities (saluran), norms (norma), dan genre (jenis tutur).
Dalam upaya menghindari
jebakan bahasa dalam konteks politik Indonesia saat ini, adagium Hymes dapat
digunakan oleh masyarakat untuk memverifikasi informasi politik yang mereka
terima. Bahasa politik tidak selalu sarat dengan kebohongan, terdapat banyak
informasi yang faktual dan dapat dipercaya dalam wacana politik kita.
Namun, baik kebohongan
maupun kejujuran dalam bahasa politik selalu berorientasi pada kekuasaan. Oleh
karena itu, upaya verifikasi bahasa politik tidak boleh hanya berfokus pada
pemisahan antara jujur-bohong atau faktual-fiktif, melainkan juga harus
mempertimbangkan motif dari penuturnya.