Para peneliti menemukan
pola yang menarik: resistensi terhadap AI paling kuat muncul dalam tugas-tugas
yang membutuhkan kualitas manusiawi, seperti konseling atau pendampingan
pembelajaran. Mereka yang memahami cara kerja AI justru lebih skeptis terhadap
kemampuannya dalam peran-peran ini. Sebaliknya, untuk tugas-tugas teknis
seperti analisis data, pemahaman teknologi justru mendorong adopsi.
Ini membawa implikasi
mendalam bagi pendidikan Indonesia. Saat Kemendikbud mendorong penggunaan AI di
sekolah, kita perlu mempertimbangkan ulang pendekatan kita. Mungkin fokus pada
aspek teknis AI dalam pelatihan guru justru kontraproduktif. Kita perlu
pendekatan yang lebih halus dan seimbang.
Filosofi pendidikan Ki
Hajar Dewantara tentang "neng-ning-nung-nang" menawarkan kerangka
berpikir yang relevan. Kita butuh momen hening untuk refleksi mendalam tentang
peran teknologi (neng). Kejernihan pikiran untuk memahami batas antara apa yang
bisa dan tidak bisa dilakukan AI (ning). Keteguhan dalam mengimplementasikan
teknologi secara bijak (nung). Dan akhirnya, pencapaian yang bermakna bagi
pendidikan (nang).
Sistem pendidikan kita
perlu mengembangkan pendekatan baru dalam literasi AI. Bukan sekadar pelatihan
teknis, tapi pemahaman holistik yang mencakup aspek filosofis, etis, dan
sosial. Bagaimana AI bisa memperkaya, bukan menggantikan, dimensi kemanusiaan
dalam pembelajaran. Bagaimana menyeimbangkan efisiensi teknologi dengan
kebutuhan interaksi manusiawi.
Kurikulum literasi AI
perlu dirancang ulang. Alih-alih menghilangkan unsur "keajaiban" yang
mendorong adopsi, kita perlu membangun pemahaman yang membuat pengguna lebih
bijak. Ini berarti mengintegrasikan diskusi etis dan refleksi kritis dalam
setiap tahap pembelajaran teknologi.
Program pengembangan
guru juga perlu dievaluasi. Selama ini, pelatihan terlalu berfokus pada
keterampilan teknis mengoperasikan AI. Kita perlu lebih banyak ruang untuk
dialog tentang implikasi AI bagi pedagogi, psikologi pembelajaran, dan relasi
guru-murid.
Yang tak kalah penting
adalah membangun kesadaran bahwa adopsi teknologi tidak harus linear. Kadang
melambat untuk refleksi sama pentingnya dengan bergerak cepat untuk inovasi.
Seperti dalam tarian tradisional, kadang langkah mundur justru memberi momentum
untuk lompatan yang lebih jauh.
Sistem pendidikan
nasional perlu menciptakan ruang yang lebih luas untuk eksperimentasi dan
pembelajaran dari kegagalan. Kita perlu lebih banyak penelitian tentang dampak
AI dalam konteks lokal, lebih banyak dialog antara praktisi pendidikan dan
pengembang teknologi, lebih banyak refleksi kritis tentang apa yang benar-benar
kita inginkan dari teknologi dalam pendidikan.
Seperti air yang
mengalir mencari jalannya, adopsi teknologi dalam pendidikan Indonesia harus
menemukan ritmenya sendiri. Tidak terburu-buru hingga kehilangan esensi, tidak
terlalu lambat hingga tertinggal. Yang penting adalah memastikan setiap langkah
adopsi AI didasari pemahaman yang seimbang - antara ketakjuban dan kewaspadaan,
antara optimisme dan kehati-hatian.
Di tengah gelombang
disrupsi teknologi yang tak terbendung, mungkin justru kebijaksanaan
tradisional bisa menjadi kompas kita. Seperti kata pepatah Jawa:
"alon-alon waton kelakon" - pelan-pelan asal selamat. Bukan sebagai
pembenaran untuk bergerak lambat, tapi pengingat bahwa dalam pendidikan,
kualitas transformasi lebih penting dari kecepatannya.
Salam Cerdas, Kritis dan
Humanis.