Ilustrasi |
Dalam laku sastranya,
seorang penyair berhak untuk sebebas-bebasnya menggambarkan realitas dengan
puisi, baik realitas diri ataupun sosial yang mempunyai cakupan yang luas,
selagi ada nilai yang ditawarkan kepada masyarakat. Penyair mencoba untuk
mengutarakan sesuatu terhadap realitas yang ia temukan, dan ingin berpesan
melalui ciptasastranya kepada orang lain tentang sesuatu yang ia anggap sebagai
masalah manusia. Penyair berusaha menghadapkan diri dan pemikirannya pada suatu
kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas itu
dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma, dan pandangan hidup yang
berlaku di masyarakat.
Seperti pada
fenomena sastra seks atau karya sastra (puisi) dari penyair yang
mempermasalahkan masalah seks dan mengekplorasikan masalah itu secara bebas.
Seperti masalah moralitas masyarakat yang memprihatinkan, kelunturan budi dan
sikap kepancasilaan, ketidakadilan dan pelecehan terhadap kaum perempuan, dan
masalah-masalah lain yang dapat membuat penyair merasa tidak puas terhadap hal
itu dan ingin melakukan pemberontakan dan memprotes melalui puisi yang
dituliskannya.
Memang, puisi sebagai
produk peradaban dan daya pikir manusia, tak bisa lepas dari perihal kebebasan,
karena puisi adalah kebebasan dan pembebasan. Kebebasan dalam puisi adalah
kemerdekaan untuk berkreasi dan berimajinasi. Kebebasan berekspresi dan
berkreasi lewat puisi adalah hak setiap penyair dan siapapun pelaku sastra
lainnya. Namun, sebaiknya harus pula kebebasan tersebut disertai juga dengan tanggung
jawab tentang nilai-nilai moralitas. Karena kebebasan dan tanggung jawab tidak
bisa dipisahkan. Tanggung jawab yang dimaksud adalah bagaimana karya itu
disampaikan kepada masyarakat melalui bahasa-bahasa yang vulgar dan cenderung
seronok tapi tidak mengakibatkan dekadensi moral pada masyarakat. Seorang
penyair sebagai bagian dari masyarakat bangsa tetap memiliki tanggung jawab
terhadap masyarakat lainnya (pembaca), karyanya tetap harus diuji dan
dipertanggungjawabkan di hadapan sidang pembaca. Inilah kemudian yang menjadi
persoalan, sejauh mana kedewasaan dan pola pikir masyarakat mampu memahami
makna kebebasan itu sendiri.
Di dalam sebuah
ciptasastra yang mengungkapkan masalah seks misalnya, bagaimana sikap pembaca
dalam merespon karya-karya yang bermuatan pornografi dan yang selama ini
ditabukan oleh masyarakat indonesia? Jangan sampai masyarakat salah memaknai
puisi-puisi yang menonjolkan diksi-diksi ketubuhan yang vulgar, seronok, dan
penuh eksplorasi seksualitas dalam karyanya. Seperti pada puisi “Pohon
Perempuan” karya Joko Pinurbo berikut ini :
Pohon Perempuan
Pohon
perempuan itu masih berdiri anggun di tengah kota
walau
sudah sangat tua umurnya.
Teman-temannya
sudah tumbang dan roboh semua
tapi
ia masih tegar di sana.
Aku
ingin mencicipi sepasang buahnya yang indah
yang
selalu tampak segar dan basah.
Tapi
kata orang itu buah keramat
dan
tak seorang pun boleh memetiknya.
Pohon
keramat itu selalu ramai dikunjungi peziarah
yang
datang untuk memohon berkah dan tuah.
Dan
kata orang, hanya yang kudus dan bersih hidupnya
boleh
ke sana. Sedang aku seorang pendosa
yang
ketika lahir saja sudah tega menyiksa
dan
melukai seorang wanita.
Tadi
siang aku melihat
seorang
tiran ditangkap,
ditelanjangi,
diarak keliling kota
kemudian
digantung di pohon itu
sampai
melet lidahnya
dan
mendelik matanya.
Sebelum
nyawanya oncat
ia
sempat mendengar
pohon
perempuan itu berkata:
“Minumlah
tetekku, hai anak durhaka.”
(1999)
Atau pada puisi Joko Pinurbo
lainnya yang berjudul “Gadis Malam
di Tembok Kota”
(…)
Wajah
ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher
langsat yang menyimpan jeritan;
dada
segar yang mengentalkan darah dan nanah;
dan
lubang sunyi, di bawah pusar,
yang
dirimbuni rumput berduri.
(…)
Dan
dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada
yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang
menyerahkan diri pada sembilu.
Dari analisis kedua
sajak Joko Pinurbo di atas, tampak bahwa yang banyak digunakan penyair untuk
menyebut dan menggambarkan perempuan adalah pilihan-pilihan kata (diksi) yang tidak
biasa, tidak seperti karakteristik penggambaran tentang perempuan pada umumnya
yang sering diwakilkan hanya dengan kata rambut yang panjang dan terurai, bola
mata yang hitam dan bulat, wajah yang teduh bak rerimbunan, atau ayunan kaki
dari ia yang tinggi semampai. Laku estetik yang dipilih Joko Pinurbo adalah
jalan ketubuhan, tubuh yang benar-benar hendak dipolosi, ditelanjangi. Maka,
bergelimanglah puisi-puisi itu dengan diksi-diksi seputar wilayah dada
dan organ-organ vital lainnya, seperti pada puisi “Pohon Perempuan” yakni: Aku ingin mencicipi sepasang buahnya yang indah
yang selalu tampak
segar dan basah, “Minumlah tetekku, hai
anak durhaka.”. Atau pada puisi “Gadis
Malam di Tembok kota”: dada segar
yang mengentalkan darah dan nanah; dan lubang sunyi, di bawah pusar; yang
dirimbuni rumput berduri.
Lalu apakah
estetika yang tidak biasa ini dapat dinilai sebagai teks yang mesum dan seronok
atau dalam kata lain dianggap sebagai karya sastra yang tidak senonoh dan
membahayakan bagi moralitas masyarakatnya? Pembicaraan tentang seks dalam puisi
“Pohon Perempuan” misalnya,
disindir bagaimana seorang tiran (penguasa yang lalim) yang tersiksa dibawah
sebuah pohon yang dinamainya sebagai pohon perempuan, Tadi siang aku melihat;
seorang tiran ditangkap,ditelanjangi, diarak keliling kota; kemudian digantung
di pohon itu sampai melet lidahnya; dan mendelik matanya; sebelum nyawanya
oncat; ia sempat mendengar; pohon perempuan itu berkata: “Minumlah tetekku, hai anak durhaka.”. Saya memaknai pohon perempuan
itu sebagai seorang ibu. Dimana kecintaan seorang ibu pada anaknya yang tak
terbatas (sepasang buahnya yang indah;
yang selalu tampak segar dan basah). Bahkan anaknya yang durhaka (seorang tiran) pun masih ingin
dilindunginya (“Minumlah tetekku, hai
anak durhaka.”). Di sinilah pesan moral dalam puisi tersebut dapat
ditangkap.
Atau pada puisi Joko
Pinurbo lainnya, yakni “Gadis Malam
diTembok Kota”. Penyair berusaha menggambarkan tentang penderitaan kaum
perempuan khususnya para Pekerja Seks Komersial (PSK): Wajah ranum yang
merahasiakan derita dunia;. Penderitaan seorang gadis yang tidak berdaya
melakukan pekerjaan sebagai seorang PSK, suatu pekerjaan yang sebenarnya tidak
ingin dijalaninya, namun dikarenakan oleh keadaan yang memaksa ia tetap
melakukan pekerjaan tersebut : leher langsat yang menyimpan jeritan. Pada
diksi-diksi yang menonjolkan bagian-bagian tertentu pada tubuh, semakin
menguatkan bahwa ia ingin memunculkan sosok seorang PSK sebagai tokoh utama
pada puisinya, hal tersebut tercermin dari diksi-diksi: Wajah ranum, leher
langsat , dada segar, lubang sunyi di bawah pusar, dirimbuni rumput berduri.
Semua pilihan kata itu mengacu pada ketentuan tertentu dari karakteristik yang
umumnya berlaku dan disematkan kepada seorang PSK. Lalu pada baris-baris berikutnya,
ketidakberdayaan itu semakin terwakili: dada yang beku, pinggang yang
ngilu, seperti luka; yang menyerahkan diri pada sembilu. Seolah tidak
memperdulikan rasa sakit, gadis itu tetap melakukannya. Karena ia sudah tidak
mempunyai kesempatan untuk melakukan hal lain selain menjadi seorang PSK,
meskipun itu sangatlah menyakitkan baginya.
Sebagaimana halnya
dengan Joko Pinurbo, Goenawan Mohamad juga pernah menuliskan puisi dengan
eksplorasi seks atau keintiman tubuh seorang perempuan, yakni pada puisi “Persetubuhan Kunthi” berikut ini :
Semakin
ke tengah tubuhmu
yang
telanjang
dan
berenang
pada
celah teratai merah.
Ketika
desau angin berpusar
ikan
pun
ikut
menggeletar
Dari
pinggir yang rapat
membaur
ganggang.
Antara
lumut lebat
dan
tubir batu
ada
lempang kayu apu
yang
timbul tenggelam
meraih
arus
dan buih.
Sampai
badai dan gempa seperti menempuhmu
dan
kau teriakkan
jerit
yang merdu itu
sesaat
sebelum kulit langit
kembali,
jadi biru
(bait 1-20)
Begitu juga dengan Sutardji
Calzoum Bachri melalui puisinya yang berjudul “Satu” :
…
kalau kelaminmu
belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam
kelaminmu
daging kita satu arwah kita satu
walau masing satu
yang tertusuk padamu berdarah padaku
Sajak Sutardji ini begitu sarat akan makna, ia ingin
mengakrabkan dan menyatukan kembali kemanusiaan. Mengkomunikasikan kembali
sikap hidup sebagai sesama manusia ciptaan Tuhan, dengan cara saling
menerjemahkan diri masing-masing.
Seorang W.S Rendra pun pernah menuliskan sajak-sajak
ketelanjangan pada puisinya yang berjudul “Bersatulah
Pelacur-pelacur Kota Jakarta”:
…
Sarinah…
Katakan
kepada mereka
Bagaimana kau di panggil ke kantor
menteri
Kemudian ia bicara panjang lebar
kepadamu
Tentang perjuangan nusa bangsa
Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal
Ia sebut kau inspirasi revolusi
Sambil ia buka kutangmu
Dan kau Dasima
Kabarkan pada rakyat
Bagaimana para pemimpin revolusi
secara bergiliran memelukmu
Bicara tentang kemakmuran rakyat dan
api revolusi
Sambil celananya basah dan tubuhnya
lemas terkapar disampingmu
…
Ada pula
puisi-puisi karya Binhad Nurrohmat dalam kumpulan puisinya yang berjudul “Kuda Ranjang” (Melibas, 2004). Yang
pada kumpulan puisinya tersebut, secara sadar, Binhad menempatkan gagasan tubuh
manusia menjadi semacam penggerak utama pada setiap puisinya.
Bahkan Sitor Situmorang pada tahun 1950-an sudah
meneriakkan sajak-sajak seperti ini. Hanya saja perbedaannya adalah pada saat
itu nilai-nilai seksualitas pada puisi Sitor terkesan masih sangat murni dan
hanya menunjukkan kecintaan dan nafsu birahi semata. Berbeda dengan puisi-puisi
kontemporer yang bertujuan untuk menyampaikan sikap protes terhadap
masalah-masalah yang timbul di masyarakat. Seperti pada puisi sitor “La Ronde” berikut ini :
Adakah yang lebih indah
dari
bibir padat merekah?
Adakah
yang lebih manis
dari
gelap di bayang alis?
Di
keningnya pelukis ragu:
Mencium
atau menyelimuti bahu?
Tapi
rambutnya menuntun tangan
hingga
pantatnya, penuh saran.
Lalu
paha, Pualam pahatan
mendukung
lengkung perut.
Berkisar
di pusat, lalu surut
agak
ke bawah, ke pusar segala,
hitam
pekat, siap menerima
dugaan
indah.
Ah,
dada yang lembut menekan hati
Terimalah
kematangan
mimpi lelaki!
Sevulgar, seseronok, dan semesum apapun diksi-diksi yang
dipilihkan oleh penyair-penyair di atas tentu bukan diksi yang muncul secara
kebetulan dan tanpa tujuan. Melainkan imaji liar yang tentu dilatari oleh
kebejatan moral masyarakat, dan pada puisi-puisi di atas dipertontonkan
realitas yang memang terjadi di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini
menegaskan bahwa, puisi tidak semata-mata berlaku sebagai produk, melainkan
juga sebagai sebuah proses yang di dalam penyampaiannya senantiasa akan
memuntahkan kekacau-balauan dan abnormalitas. Karena kelahiran sebuah puisi
pastilah memiliki sebab-musabab keberhadirannya ditengah-tengah khalayak
pembaca. Dan salah satu sebab yang mendasari munculnya puisi-puisi bermuatan seks
di atas adalah karena dekadensi moral masyarakat itu sendiri. Selagi eksplorasi
estetik para penyair yang mempertontonkan “ketelanjangan” itu tidak dilepaskan
dari pijakan moral dan ada nilai yang ingin disampaikan kepada masyarakat
sekaligus dilandasi dengan sikap bertanggung jawab atas sikap penerimaan
masyarakat pada karya-karyanya. Maka tidak ada salahnya sastra seks menghiasi
jagad sastra Indonesia.
.
. .
DAFTAR PUSTAKA
DARAH-DAGING
SASTRA INDONESIA; Damhuri Muhammad; PENERBIT JALASUTRA (2010)
KESUSASTRAAN
(Pengantar Teori dan Sejarah); Murni Esten; Penerbit Angkasa Bandung (1984)