Pertandingan Bola Kaki antar dusun di wilayah Desa Kateri, Kabupaten Malaka, NTT dalam rangka memeriahkan HUT kemerdekaan RI yang ke 77 |
Desa itu tempat,
kesatuan kelompok, suku, budaya, ekonomi, politik, agama. Desa lain dari
kelurahan. Desa itu orangnya saling kenal, akrab, hidup saling tolong menolong.
Desa dipertentangkan dengan kota. Desa dianggap kolot, kota dianggap modern.
Suasana desa itu sepi, tidak hiruk pikuk, susah sama susah, senang sama
senang.
Ada pesta, tidak ada
undangan. Dari mulut ke mulut, langsung orang berdatangan, tidak ada tamu,
semua merasakan sebagai tuan rumah. Saat makan, semua makan, sama-sama, tidak
ada perbedaan. Wilayah desa sama luas dengan kebun-kebun orang desa itu. Batas
kebun sampai di mana, batas desa sampai ke situ.
Penduduk desa bertambah,
hanya oleh kelahiran. Jarang ada pertambahan penduduk karena perpindahan. Kalau
ada orang baru yang datang, pasti dia ada hubungan keluarga dengan warga desa,
dan kalau mau menetap, harus ada kaitan dengan warga desa, tidak mungkin ada
orang baru tetap baru dan terasing dari kekerabatan desa. Di desa semua orang
sedesa itu bersatu dalam mencari nafkah, bertani dan beternak, mendirikan
rumah.
Inilah aspek NAFSU dari
desa sebagai himpunan manusia-manusia yang tidak sekedar tinggal, tapi merasa
senasib sepenanggungan. Kearifan lokal di desa itu merupakan NALAR desa yang
terkadang membeku dan bertahan sulit menerima perkembangan. NALURI orang-orang
desa itu halus, langsung merasakan susah dengan yang susah, senang dengan yang
senang.
NURANI orang desa itu
langsung tergerak melawan kejahatan, mengucil pengacau, mengutamakan
ketenteraman, keadilan dan kedamaian. Empat faktor kepribadian manusia
secara pribadi menyatu menjadi satu pribadi besar, namanya 'orang desa' dengan
ciri khas masing-masing desa. Kekhasan desa ini berakar pada unsur NAFSU +
NALAR + NALURI + NURANI (4N) yang terpancar dalam hidup sehari-hari atas dasar
kedekatan fisik (NAFSU), kesamaan kesepakatan (NALAR), keterkaitan darah
(NALURI) dan kedalaman iman (NURANI). (4N, Kwadran Bele, 2011). Sulit sekali
orang desa meninggalkan desanya. Biar merantau bertahun-tahun tetap ada
kerinduan pulang ke desa.
Desa bukan hanya
kesatuan wilayah, tetapi kekhasan wajah. Di desa ada hati manusia. Desa
bertahan hidup bukan karena kolot, tetapi karena 4N itu terpateri dengan
tanah, kebun, sumur dan sungai yang ada di desa. Orang desa hidup dan mati di
desa itu. Tidak heran kalau seorang yang mengungsi ke kota, meninggalkan wasiat
untuk jenazahnya dibawa kembali ke desa dan jasadnya tetap menyatu dengan tanah
desanya. Desa itu suci. Tidak rela dinodai dengan dosa egoisme kota. Keangkuhan
manusia modern diharamkan di desa. Desa itu murni. Kalau ada warga yang suka
putar balik, langsung diketahui dan terkucil dari pergaulan. Mengapa dunia ini
tidak jadi satu desa besar?
Membaca dan menyimak Buku Pembangunan dan Pembaharuan Desa
Ekstrapolasi 2017 merupakan hasil refleksi kritis dan proyeksi
(ekstrapolasi) atas praktek pembangunan dan pembaharuan desa setelah UU Desa di
tetapkan. Mendokumentasikan pengamatan atas berbagai interaksi para aktor
dipelbagai institusi formal. Walau di tulis oleh Fadilah Putra dan
kawan-kawannya merupakan Tenaga Ahli (TA) di lingkungan Kementerian Desa,
secara substantif memberikan catatan kritis dan proyeksi mengenai desa secara
terus terang dan berbasis data yang cukup kuat.
Tema yang terekam dalam
buku yang terdiri dari IX Bab tidak hanya mengenai soal yang normatif, juga
dituliskan hal-hal empiris yang sedang terjadi di desa. Penulis memulai dari
membaca desa, soal kesejahteraan sosial , ekonomi desa, tata kelola desa,
infrastruktur , daya dukung lingkungan, inklusivitas dan kesetaraan gender.
Dalam beberapa pembahasan juga menyinggung soal reforma agraria. Selama ini
kita banyak disuguhkan dengan informasi seputaran Dana Desa (DD), pembangunan
infrastruktur di desa dan saling rebut kuasa kelola intra dan antar struktur
birokrasi dalam dua tahun pelaksanaan UU Desa. Paparan yang lebih mendalam dan
meluas mengenai tantangan pembangunan desa sekarang dan akan datang dengan
kenyataan-kenyataan yang ada, buku ini berusaha menyampaikan kepada kita.
Penulis saat membaca
desa mempertimbangkan bahwa modernisasi, kapitalisme dan industrialisasi telah
mengubah perwajahan banyak desa menjadi kawasan urban. Basis sosial-ekonomi
masyarakat di desa-desa yang demikian bergeser dari rural-agraris menjadi
urban-industrialis. Jadi tidak semua desa (village) adalah kawasan perdesaan (rural).
Dengan demikian perlu cermat pendekatan perihal memajukan kesejahteraan
sosial, pembangunan infrastruktur dan strategi pengelolaan sumber-sumber
kekayaan alam di desa. Tentu prinsip dasar dalam tata kelola desa yang
demokratis yang didukung oleh system informasi desa serta peran aktif
masyarakat desa. Hal ini di perkuat dengan desa yang inklusif dan berkeadilan
gender dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan dan pembangunan desa.
Konsep dasar mengenai
Tri Matra Pembangunan Desa menjadi landasan bagi para penulis untuk membaca
desa dari ragam sisinya. Tri Matra yang dimaksud adalah penguatan
Kapabilitas-kapasitas, Ekonomi dan Budaya masyarakat desa. Tak berhenti pada
ekonomi, namun juga merangsek masuk ke wilayah budaya masyarakat desa.
Keragaman konteks terbentang panjang dalam 74. 754 desa di nusantara. Untuk itu
perlu harmoni dan komprehensivitas dalam desa membangun dan membangun desa.
Aspek sosial, lingkungan, budaya dan ekonomi dibangun secara seimbang.
Pembangunan infrastruktur fisik, usaha ekonomi (salah satunya BUMDes) dan
sosial budaya dikerjakan serentak.
Ada beberapa catatan
atas buku ini, walaupun pendekatannya adalah Tri Matra Pembangunan Desa pembaca
kesulitan untuk merangkai beberapa istilah dalam tri matra yang dimaksud;
misalnya Jamu Desa, Bumi Desa yang muncul di bagian proyeksi dan preskripsi.
Sepertinya perlu ada penjelasan dalam bagian buku ini menjelaskan konsep Tri
Matra tersebut. Walaupun semenjak awal buku ini ditujukan untuk pengambil
kebijakan, yang kami rasa juga untuk pemerintah desa, banyak istilah-istilah
dalam buku ini yang sulit dimamah dan perlu sedikit kernyit dahi untuk
memahaminya. Bahkan semenjak dari judulnya dengan istilah ekstrapolasi.
Demikian juga mengenai data yang tersaji dalam bentuk tabel, gambar, grafik
terlalu kecil huruf, angka dan penyajiannya. Beberapa juga perlu ditampilkan
berwarna untuk memudahkan pembacaan data-data yang disajikan. Karena ini adalah
reflektif dan proyeksi ke depan, sampul buku terlalu muram. Kita mengharapkan
optimisme dan kewaspadaan akan masa depan sejak awal dalam tampilan buku.
Akhirnya buku ini
sangat bermanfaat tak hanya bagi pengambil kebijakan, namun juga bagi semua,
siapa saja yang mendalami proses pelaksanaan UU Desa dalam segala sejarah
singkatnya, proses pelaksanaannya, konseptual, dinamika dan harapannya. Sebagai
penutup kita kutip pernyataan para penulis pada halaman 137 di paragraph akhir,
yaitu “Desa adalah pusat peradaban, tempat manusia menjadi sesungguhnya
manusia. Maka pasti tidak akan sulit bagi desa untuk memanusiakan manusia”.
Selamat membaca.
***
Harekain, 08 September 2022
Penimba Inspirasi Jalan Setapak