Benarkah Kampung itu Kampungan Sekali Udik Payah..?
Wakil
Kelompok diaspora Kupang asal Numbei, Leonardus Nahak dalam kata penyambutan
saat kampanye pasangan calon (paslon) Bupati, Dr. Simon Nahak, SH, MH yang
berpasangan dengan Calon Wakil Bupati, Louise Lucky Taolin, S. Sos yang akrab
dikenal Kim Taolin dengan tagline Paket SN-KT di Dusun Numbei, Rabu (28/10/20)
mengatakan kondisi Dusun Numbei memang udik dan terisolir karena jauh dari
pusat kota dan dibatasi Sungai Benenai.
Menurut
Leonardus, kondisi wilayah yang dibatasi Sungai Benenai tidak sebatas tantangan.
“Kita jangan merasa rendah. Dibatasi Sungai Benenai bukan tantangan. Kita
jangan persalahkan sungai. Sungai itu sumber penghidupan. Dusun yang udik, tapi
masyarakatnya berbudaya. Berbudaya karena rumah adatnya. Di rumah adat, anggota
rumah suku saling bertukar pikiran dan saling menghargai. Kami menjadi besar
karena rumah adat,” Leonardus menjelaskan. (Lih. https://www.koalisirakyat.com/?p=2155)
Dari
pernyataan diatas, penulis coba mengulas apakah kampungan itu “udik”? Mari kita
menyimak
Udik
sebentuk tempat yang identik dengan dunia primitif, jauh dari peradaban. Dulu
kalau menghina orang kampung selalu bilang “dasar orang udik”. Ujaran itu
menegaskan bahwa orang kampung itu identik dengan keterbelakangan. Menyebut
“udik” ke orang lain sama dengan menghina.
Nuansa
dari ujaran “udik” juga mengisyaratkan sebuah tempat yang tidak nyaman
bagi-orang kota. Karena serba terbelakang, tidak mungkin orang modern
bersentuhan dengan udik. Menginjakkan kaki di kampung tidak lebih bergengsi
dari melakukan perjalanan ke Jakarta atau kota besar lainnya — sebagai simbol
kemajuan dan kemodernan.
Trend
kota juga terjadi pada tradisi makan dan pilihan menu. Makanan tradisional dan
berkarakter lembur baiknya dihindari. Makanan-makanan modern, kebarat-baratan,
bahkan Jepang dan Korea mungkin lebih menarik. Nongkrong di tempat kopi bermerk
Barat lebih gaya dibanding warung kaki lima karena terlihat bersahaja.
Putaran
waktu berjalan cepat. Layaknya teori posmo, segala yang berbau kemodernan kini
bersaing dengan tradisional. Ketika menemukan titik jenuh, manusia kini
membutuhkan kepuasan alamiahnya. Semuanya kembali ke alam. Pakaian rombeng
lebih mahal, makanan tradisional menjadi bergengsi, musik dan tarian tradisi
kembali digandrungi.
Pilihan
nongkrong orang kota kini ada di lereng-lereng gunung, cari tempat makan dengan
arsitektur tradisional, menu kampung dengan racikan leluhur. Tempat wisata
semakin pelosok semakin dikejar, semakin ke ngunung semakin dicari. Wisata desa
kini menggejala di mana-mana. Di bali, sawah dengan saluran airnya yang khas
menjadi destinasi andalan buat wisatawan asing.
Dalam
istilah geografi, ada pembeda untuk Kota, Desa, Kampung, Dusun. Istilah-istilah
tersebut digunakan dalam pemetaan untuk mempermudah membedakan antar wilayah
berdasar fungsi administratifnya. Lain halnya jika kelaur dari geografi, maka
istilah kota, kampung, desa sudah bermakna lain bahkan menimbulkan perbedaan
yang menjurus pada diskriminasi, strata sosial hingga marjinalisasi. Mungkin
kita biasa teriak ''dasar kampungan'' atau Tukul Arwana dengan lawakannya
''Wong nDeso''. Kampungan dan nDeso, identik dengan daerah pinggiran, dan pola
pikir dan tingkah laku penduduknya yang dibawah peradaban orang kota.
Apakah
demikianya kenyataannya? jika Kampung identik dengan keterbelakangan. Masih
ingat perseteruan Marissa Haque dengan Dee Djumadi Kartika gara-gara disertasi
Marissa?. Perseteruan dua orang tersebut juga menyeret Memes dan Suaminya, tak ketinggalan
juga anaknya ''Kevin Aprilio''. Perang mereka cukup unik karena dikawasan yang
orang lain bisa melihat. Lewat situs jejaring sosial ''twitter'', mereka saling
berkicau dengan lawakan perselisihannya. Dari kicauan mereka ada satu istilah
yang meledakan dan menjadi kata mutiara ''Kamseupay''.
Kamseupay
awalnya ditulis oleh Marrisa di blognya untuk menuliskan kemarahannya terhadap
Dee Djumadi dan mengaitkan dengan 3 artis laiinya. Kamseupay ''Kampungan Sekali
Udik Payah'' sebuah ungkapan untuk melampiaskan kemarahannya. Menjadi
pertanyaan, apa salah Kampung, Udik yang berperan sebagai katan benda tiba-tiba
menjadi kata sifat. Ada apa dengan kampung atau udik, apakah orang kampung itu
udik dan payah sekali?. Jika dikaitkan dengan saya yang tinggal di kampung dan
kadang di cap sebagai orang udik, sebab tiap lebaran banyak yang mudik ke
kampung saya, jelas agak risih mengatasnamakan ''kampungan'' dengan ''payah
sekali''.
Analoginya
begini, tak asing di telinga kita ''tukang becak'' selalu identik dengan ini
itu dan semua yang buruk-buruk. Becak biang kemacetan, becak sumber
kesemrwatuan, dan tukang becak adalah kambing hitamnya. Apa tidak kasihan,
sudah hidup susah, kerja narik pedal, dapat makian dan jadi kambing hitam.
Andaikata dijalanan tidak ada becak apakah sudah ada yang menjamin bebas macet,
semrwaut dan kemiskinan?. Bagaimana dengan pejabat yang tiap hari jalan dikawal
dengan mobil-mobil patroli yang seenak usus makan jalan, dan diikuti bawahahnya
dan mereka yang ikut-ikutan menyalakan lampu sein bersamaan, nyatanya jadi
biang macet juga. Bagaimana juga dengan supir-supira nagkot yang ngetem seenak
udelnya sendiri-sendiri hingga orang-orang kaya yang naruh mobil sesuka
hatinya. Masih mau menyalahkan tukang becak? beri mereka pekerjaan yang layak baru
salahkan.
Tidak
begitu jauh dengan mereka yang menyatakan ''kampungan'' yang sepertinya
melecehkan sifat-sifat orang kampung beserta pola pikir dan tindakannya. Kalau
boleh saya bertanya dikampung ada yang menghuni sel tahanan KPK tidak?,
dikampung ada maling uang rakyat tidak? dikampung ada koruptor tidak?, jawaban
saya ''mungkin ada tetapi masih kalah dengan mereka yang tinggal di kota''.
Banyak orang besar dan benar di negeri ini yang dari kampung. Dikampung masih
ada toleransi, ketulusan, keramahan, saling menghargai, gotong royong, apakah
mereka yang berkata ''kampungan'' mau turun untuk ngeronda kompleks
perumahannya dan kerja bakti?.
Apa
maksud menyebut ''kampungan, udik, wong ndeso'', tanpa mereka anda-anda dijamin
kelaparan. Dari desa, kampunglah nasi yang anda makan, dari sanalah makanan
dimeja makan bisa anda santap. Disanalah produk-produk dari kota
didistribusikan, yang acapkali dengan omongan penuh gombal dan tipuan dalam
jurus marketing. Masih berani menyebut nama kampung dengan sembarang?. Anda
yang duduk jadi pejabat, suara orang kampung yang banyak anda tipu dan kasih
angin surga ikut membawa anda jadi orang nomer satu, ingat itu?. Apakah tidak
ada kata lain selaian ''kampungan, udik, wong ndeso'' untuk melampiaskan
kemarahan, mengumpat akan kebodohan atau mencibir seseorang yang terbelakang?.
Di
saat publik semakin mencari lokasi wisata bertemakan perkampungan, kita dapat
menjadikan kampung masing-masing lebih dikenal. Jika biasanya gadget digunakan
untuk memviralkan tempat lain, kini saatnya mengenalkan kampung sendiri.
Walaupun ada potensi negatif seperti eksploitasi alam asri pedesaan, namun di
sisi lain kita punya peluang untuk membangun kesejahteraan masyarakat desa
dengan menyentuh potensi alam di sekitarnya sehingga orang lain mau datang.
Jika
sudah banyak pendatang untuk berwisata, masyarakat di desa bisa berjualan,
memberikan jasa pendukung, dan akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup. Jika
setiap desa bisa berdaya, maka kota bukanlah satu-satunya tujuan mengais
rezeki.
Mungkin
bagi kita yang merasa terdidik dan terpelajar, sangat tak layak jika mengumbar
kemarahan dengan cara yang tidak baik. Mungkin tanpa sadar kata itu terucap,
tetapi apakah terpikirkan jika kata tersebut didengar mereka yang benar-benar
mencermati setiap kata dan makna. Sangat disayangkan, kampseupay itu meracuni
mereka yang tidak mengerti makna dan efeknya. Lampiaskan kemarahan dengan cara
yang benar dan positif daripada harus berkoar-koar dihalaman dunia mayanya yang
menimbulkan permasalahan bagi orang lain, atau memang itulah caranya menulis
disertasi?. Kalau tidak merasa dirinya lebih dari kamseupay ya perbaiki
orang-orang kampungan yang udik agar tidak kampungan sekali udik
payah.