Penjelasan Tentang Asal Mula Prapaskah Bagi Umat Katolik

Penjelasan Tentang Asal Mula Prapaskah Bagi Umat Katolik



Setapak rai numbei  - Gereja memulai Masa Prapaskah sebagai masa persiapan para calon baptis dan umat beriman untuk menyambut misteri Paskah (Sacrosanctum Concilium, art. 109). 

Melalui sabda-Nya, Tuhan mengajak kita untuk kembali kepada-Nya dengan melakukan doa, amal kasih dan puasa. 

Dengan memahami latar dan tradisi seputar Masa Prapaskah, kita diajak untuk menyambut misteri penyelamatan-Nya dengan hati yang murni.

Bukti adanya tradisi mempersiapkan Paskah ditemukan pada sekitar abad ke-3 M. Dalam suratnya kepada Paus Viktor I, St. Ireneus tidak hanya bercerita tentang perbedaan waktu perayaan Paskah, tetapi juga adanya praktik puasa di tengah umat, 


Lihat Juga: 

Paus Fransiskus Sebut St. Yosef Kreatif di saat krisis

Pelajar jadi tukang kupas melinjo demi biaya uang sekolah dan bantu orang tua

Paus Fransiskus, Prapaskah itu perjalanan dari penderitaan menuju kebebasan


“Beberapa umat berpikir bahwa mereka harus berpuasa selama satu hari, yang lain selama dua hari, bahkan yang lain selama beberapa hari, sementara yang lain berpuasa selama 40 jam sepanjang siang dan malam. Berbagai praktik ini tidak berasal pada masa kita, tetapi jauh lebih awal, yaitu masa bapa pendahulu kita [para rasul]”. 

Rufinus, yang menerjemahkan surat ini ke dalam Bahasa Latin, memberikan tanda baca antara “40” dan “jam” sehingga membuat arti baru, yaitu puasa selama “40 hari, 24 jam sehari”.

Praktik berpuasa selama 40 hari untuk menyambut Paskah baru ditetapkan dalam Konsili Nikea (325) dan Konsili Laodikia (360). 

Praktik puasa ini dinamakan tessarakoste (Bhs. Yunani) atau quadragesima (Bhs. Latin) yang berarti “40 hari” dan menjadi asal kata “Prapaskah”. 

Angka “40” sendiri memiliki makna rohani. Nabi Musa berpuasa selama 40 hari dan 40 malam sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai (Kel 34:28). 

Nabi Elia berjalan selama 40 hari dan 40 malam menuju Gunung Horeb (1 Raj 19:8). Lalu, Tuhan Yesus berpuasa dan berdoa selama 40 hari dan 40 malam di padang gurun sebelum memulai pelayanannya (Mat 4:2).

Selain tradisi puasa dan pantang, Masa Prapaskah juga ditandai dengan penerimaan abu pada dahi saat Rabu Abu. Abu tersebut berasal dari pembakaran daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu Palma sebelumnya. 

Penerimaan abu, yang melambangkan ketidak-abadian dan pertobatan, berasal dari tradisi Perjanjian Lama, “Lalu aku mengarahkan mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan mengenakan kain kabung serta abu” (Dan 9:3, bdk. Est 4:1, Ayb 42:6, Yun 3:5-6). 

Praktik pemberian abu dalam Gereja Katolik dimulai oleh seorang imam Anglo-Saxon (Inggris) bernama Aelfric kepada umatnya pada tahun 1000. Lalu, tradisi ini ditetapkan secara universal dalam Gereja pada Sinode Beneventum (1091).



Dewasa ini, aturan puasa dan pantang telah disederhanakan: pada Rabu Abu dan Jumat Agung, umat diwajibkan berpuasa dengan makan sekali kenyang dan pantang daging, sedangkan pada hari Jumat selama Masa Prapaskah umat berpantang daging. 

Selain puasa, pertobatan juga diwujudkan dengan doa, amal kasih, dan menerima Sakramen Rekonsiliasi. 

Dalam homili Rabu Abu tahun 2019 lalu, Paus Fransiskus berpesan, “Doa menyatukan kita dengan Allah; amal kasih, menyatukan kita dengan sesama; puasa, menyatukan kita dengan hati kita yang terdalam”. 

Dalam Masa Prapaskah ini, marilah kita memohon rahmat pertobatan hati kepada Tuhan agar kita dapat menantikan pemenuhan misteri keselamatan-Nya dengan penuh sukacita.*

*Dirangkum dari berbagai sumber

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama