Melalui sabda-Nya, Tuhan mengajak kita untuk kembali
kepada-Nya dengan melakukan doa, amal kasih dan puasa.
Dengan memahami latar dan tradisi seputar Masa
Prapaskah, kita diajak untuk menyambut misteri penyelamatan-Nya dengan hati
yang murni.
Bukti adanya tradisi mempersiapkan Paskah ditemukan
pada sekitar abad ke-3 M. Dalam suratnya kepada Paus Viktor I, St. Ireneus
tidak hanya bercerita tentang perbedaan waktu perayaan Paskah, tetapi juga
adanya praktik puasa di tengah umat,
Lihat Juga:
Paus Fransiskus Sebut St. Yosef Kreatif di saat krisis
Pelajar jadi tukang kupas melinjo demi biaya uang sekolah dan bantu orang tua
Paus Fransiskus, Prapaskah itu perjalanan dari penderitaan menuju kebebasan
“Beberapa umat berpikir bahwa mereka harus berpuasa
selama satu hari, yang lain selama dua hari, bahkan yang lain selama beberapa
hari, sementara yang lain berpuasa selama 40 jam sepanjang siang dan malam.
Berbagai praktik ini tidak berasal pada masa kita, tetapi jauh lebih awal,
yaitu masa bapa pendahulu kita [para rasul]”.
Rufinus, yang menerjemahkan surat ini ke dalam
Bahasa Latin, memberikan tanda baca antara “40” dan “jam” sehingga membuat arti
baru, yaitu puasa selama “40 hari, 24 jam sehari”.
Praktik berpuasa selama 40 hari untuk menyambut
Paskah baru ditetapkan dalam Konsili Nikea (325) dan Konsili Laodikia
(360).
Praktik puasa ini dinamakan tessarakoste (Bhs.
Yunani) atau quadragesima (Bhs. Latin) yang berarti “40 hari” dan menjadi asal
kata “Prapaskah”.
Angka “40” sendiri memiliki makna rohani. Nabi Musa
berpuasa selama 40 hari dan 40 malam sebelum menerima Sepuluh Perintah Allah di
Gunung Sinai (Kel 34:28).
Nabi Elia berjalan selama 40 hari dan 40 malam
menuju Gunung Horeb (1 Raj 19:8). Lalu, Tuhan Yesus berpuasa dan berdoa selama
40 hari dan 40 malam di padang gurun sebelum memulai pelayanannya (Mat 4:2).
Selain tradisi puasa dan pantang, Masa Prapaskah
juga ditandai dengan penerimaan abu pada dahi saat Rabu Abu. Abu tersebut
berasal dari pembakaran daun palma yang telah diberkati pada perayaan Minggu
Palma sebelumnya.
Penerimaan abu, yang melambangkan ketidak-abadian
dan pertobatan, berasal dari tradisi Perjanjian Lama, “Lalu aku mengarahkan
mukaku kepada Tuhan Allah untuk berdoa dan bermohon, sambil berpuasa dan
mengenakan kain kabung serta abu” (Dan 9:3, bdk. Est 4:1, Ayb 42:6, Yun
3:5-6).
Praktik pemberian abu dalam Gereja Katolik dimulai
oleh seorang imam Anglo-Saxon (Inggris) bernama Aelfric kepada umatnya pada
tahun 1000. Lalu, tradisi ini ditetapkan secara universal dalam Gereja pada
Sinode Beneventum (1091).
Dewasa ini, aturan puasa dan pantang telah
disederhanakan: pada Rabu Abu dan Jumat Agung, umat diwajibkan berpuasa dengan
makan sekali kenyang dan pantang daging, sedangkan pada hari Jumat selama Masa
Prapaskah umat berpantang daging.
Selain puasa, pertobatan juga diwujudkan dengan doa,
amal kasih, dan menerima Sakramen Rekonsiliasi.
Dalam homili Rabu Abu tahun 2019 lalu, Paus
Fransiskus berpesan, “Doa menyatukan kita dengan Allah; amal kasih, menyatukan
kita dengan sesama; puasa, menyatukan kita dengan hati kita yang
terdalam”.
Dalam Masa Prapaskah ini, marilah kita memohon
rahmat pertobatan hati kepada Tuhan agar kita dapat menantikan pemenuhan
misteri keselamatan-Nya dengan penuh sukacita.*
*Dirangkum dari berbagai sumber