79 Tahun Kemerdekaan RI: Merdeka dari Kebodohan, Sebuah Tanggung Jawab Kolektif (Refleksi Akar Rumput)

79 Tahun Kemerdekaan RI: Merdeka dari Kebodohan, Sebuah Tanggung Jawab Kolektif (Refleksi Akar Rumput)



Suara Numbei News - Ketika kita merenungkan 79 tahun kemerdekaan Indonesia, pertanyaan yang terus menggelitik pikiran saya sebagai seorang pendidik dan penikmat jalan setapak akar rumput adalah: Apakah bangsa ini sudah benar-benar merdeka? Bukan hanya merdeka dari penjajahan fisik, tetapi juga dari kebodohan, sebuah tantangan yang barangkali lebih kompleks dan tersembunyi.

Tujuh puluh sembilan tahun yang lalu, dengan penuh semangat dan pengorbanan, para pendiri bangsa kita memproklamasikan kemerdekaan, memutus rantai kolonialisme yang telah lama mengekang. Namun, meskipun rantai fisik telah diputus, ada rantai yang tak kasat mata tetapi sangat kuat mencengkeram—rantai kebodohan. Kebodohan di sini tidak hanya merujuk pada kurangnya pengetahuan atau akses pendidikan, tetapi juga mencakup ketakutan untuk mencoba hal-hal baru serta ketidakmampuan memanfaatkan kemerdekaan yang telah kita raih untuk berpendapat secara bebas.

Dalam refleksi ini, kita dapat merujuk pada berbagai pemikiran filosofis yang menggarisbawahi pentingnya kebebasan intelektual dan keberanian untuk berpikir. Socrates, filsuf besar Yunani, pernah menyatakan bahwa “Kehidupan yang tidak diuji tidak layak untuk dijalani.” Pernyataan ini menekankan bahwa tanpa keberanian untuk mencoba, bereksperimen, dan menguji batas-batas pengetahuan kita, kita tidak akan pernah mencapai pencerahan atau kemajuan. Sayangnya, ketakutan untuk mencoba dan rasa puas diri yang stagnan sering kali menghalangi kita untuk benar-benar merdeka dalam arti yang lebih mendalam.

Kebodohan juga dapat dilihat sebagai ketidakmampuan kita untuk menggunakan kemerdekaan berpendapat yang telah diperjuangkan dengan begitu keras. Dalam konteks ini, pemikiran John Stuart Mill sangat relevan. Mill menekankan bahwa kebebasan berpendapat bukan hanya hak individu, tetapi juga merupakan fondasi bagi masyarakat yang sehat dan progresif. Ketika kita gagal memanfaatkan kebebasan ini—entah karena takut, apatis, atau kurangnya pemahaman—kita sesungguhnya sedang mengingkari esensi dari kemerdekaan itu sendiri. Kebodohan dalam bentuk ini bukan hanya ketidakmampuan untuk berpikir kritis, tetapi juga ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam diskursus publik yang sehat, yang pada akhirnya menghalangi kita dari mencapai kebenaran dan kemajuan.

Dalam ruang-ruang kelas, saya sering kali dihadapkan pada potensi besar yang dimiliki oleh generasi muda kita. Mereka adalah pemikir kreatif, inovator, dan calon pemimpin masa depan. Namun, saya juga menyaksikan betapa beratnya tantangan yang mereka hadapi. Sistem pendidikan kita, meskipun telah banyak berkembang, masih sering terpaku pada metode pembelajaran yang konvensional—hafalan dan pengulangan—alih-alih mengedepankan pengembangan kemampuan berpikir kritis dan analitis. Di sinilah saya melihat bahwa perjuangan untuk merdeka dari kebodohan masih panjang dan membutuhkan reformasi yang berkelanjutan.

René Descartes, seorang filsuf Prancis, melalui ungkapan "Cogito, ergo sum" atau "Aku berpikir, maka aku ada," menegaskan bahwa kemampuan untuk berpikir adalah inti dari eksistensi manusia. Kebodohan, dalam berbagai bentuknya, adalah penghalang utama bagi pemikiran kritis ini. Sebagai pendidik, saya merasa bertanggung jawab untuk memastikan bahwa generasi berikutnya tidak hanya menerima informasi secara pasif, tetapi juga mampu memproses, menganalisis, dan menggunakannya untuk membuat keputusan yang bijak. Ini adalah bentuk kemerdekaan yang lebih dalam dan lebih substansial—kemerdekaan berpikir yang sejati.

Merdeka dari kebodohan berarti membekali setiap anak bangsa dengan kemampuan untuk menghadapi tantangan zaman, untuk tidak sekadar mengikuti arus, tetapi juga mampu menciptakan arus baru. Dalam hal ini, kata-kata Immanuel Kant, “Sapere aude” atau “Beranilah mengetahui,” menjadi relevan. Kita diajak untuk terus mencari pengetahuan dan tidak takut untuk mengeksplorasi yang belum diketahui. Ini adalah esensi dari kemerdekaan intelektual yang harus kita perjuangkan bersama—melalui reformasi pendidikan yang berkelanjutan, pemberdayaan guru, serta partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pendidikan.

Kebodohan adalah musuh yang licin, ia dapat menyelinap melalui celah-celah ketidaktahuan, kemalasan berpikir, dan ketergantungan pada informasi yang salah. Lebih dari itu, kebodohan juga terwujud dalam bentuk ketakutan untuk mencoba dan ketidakmampuan untuk memanfaatkan kemerdekaan berpendapat. John Dewey, seorang filsuf pendidikan, mengajarkan bahwa pendidikan sejati adalah tentang pengalaman dan eksperimen, bukan sekadar teori yang statis. Pendidikan harus menjadi sarana untuk membebaskan individu dari kebodohan, dengan cara mendorong mereka untuk berpikir kritis, berani mencoba, dan memanfaatkan kebebasan yang mereka miliki untuk berkontribusi dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, pendidikan tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga sebagai alat untuk memerdekakan pikiran. Pendidikan harus memungkinkan individu untuk melepaskan diri dari belenggu kebodohan, baik dalam bentuk ketidaktahuan maupun ketidakmampuan untuk berpendapat secara bebas. Merdeka dari kebodohan adalah merdeka dari segala hal yang menghambat kita untuk berpikir dan bertindak secara mandiri, dan ini adalah esensi dari kemerdekaan yang sejati.

Pendidikan adalah kunci untuk membuka pintu kemerdekaan sejati. Dalam peran saya sebagai pendidik, saya berkomitmen untuk terus menyalakan api semangat belajar dan berpikir kritis pada mahasiswa-mahasiswa saya. Saya berharap kita semua, sebagai bangsa, dapat melanjutkan perjuangan ini, tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga dalam membebaskan diri kita dari kebodohan, termasuk ketakutan untuk mencoba dan ketidakmampuan memanfaatkan kemerdekaan untuk berpendapat.

Selamat Hari Kemerdekaan ke-79, Indonesia. Mari kita terus berjuang untuk merdeka, tidak hanya dari belenggu penjajahan, tetapi juga dari kebodohan yang dapat menghambat langkah kita menuju masa depan yang lebih cerah.

 


Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama