Tujuh puluh sembilan
tahun yang lalu, dengan penuh semangat dan pengorbanan, para pendiri bangsa
kita memproklamasikan kemerdekaan, memutus rantai kolonialisme yang telah lama
mengekang. Namun, meskipun rantai fisik telah diputus, ada rantai yang tak
kasat mata tetapi sangat kuat mencengkeram—rantai kebodohan. Kebodohan di sini
tidak hanya merujuk pada kurangnya pengetahuan atau akses pendidikan, tetapi
juga mencakup ketakutan untuk mencoba hal-hal baru serta ketidakmampuan
memanfaatkan kemerdekaan yang telah kita raih untuk berpendapat secara bebas.
Dalam refleksi ini,
kita dapat merujuk pada berbagai pemikiran filosofis yang menggarisbawahi
pentingnya kebebasan intelektual dan keberanian untuk berpikir. Socrates,
filsuf besar Yunani, pernah menyatakan bahwa “Kehidupan yang tidak diuji tidak
layak untuk dijalani.” Pernyataan ini menekankan bahwa tanpa keberanian untuk
mencoba, bereksperimen, dan menguji batas-batas pengetahuan kita, kita tidak
akan pernah mencapai pencerahan atau kemajuan. Sayangnya, ketakutan untuk
mencoba dan rasa puas diri yang stagnan sering kali menghalangi kita untuk
benar-benar merdeka dalam arti yang lebih mendalam.
Kebodohan juga dapat
dilihat sebagai ketidakmampuan kita untuk menggunakan kemerdekaan berpendapat
yang telah diperjuangkan dengan begitu keras. Dalam konteks ini, pemikiran John
Stuart Mill sangat relevan. Mill menekankan bahwa kebebasan berpendapat bukan
hanya hak individu, tetapi juga merupakan fondasi bagi masyarakat yang sehat
dan progresif. Ketika kita gagal memanfaatkan kebebasan ini—entah karena takut,
apatis, atau kurangnya pemahaman—kita sesungguhnya sedang mengingkari esensi
dari kemerdekaan itu sendiri. Kebodohan dalam bentuk ini bukan hanya
ketidakmampuan untuk berpikir kritis, tetapi juga ketidakmampuan untuk
berpartisipasi dalam diskursus publik yang sehat, yang pada akhirnya
menghalangi kita dari mencapai kebenaran dan kemajuan.
Dalam ruang-ruang
kelas, saya sering kali dihadapkan pada potensi besar yang dimiliki oleh
generasi muda kita. Mereka adalah pemikir kreatif, inovator, dan calon pemimpin
masa depan. Namun, saya juga menyaksikan betapa beratnya tantangan yang mereka
hadapi. Sistem pendidikan kita, meskipun telah banyak berkembang, masih sering
terpaku pada metode pembelajaran yang konvensional—hafalan dan
pengulangan—alih-alih mengedepankan pengembangan kemampuan berpikir kritis dan
analitis. Di sinilah saya melihat bahwa perjuangan untuk merdeka dari kebodohan
masih panjang dan membutuhkan reformasi yang berkelanjutan.
René Descartes, seorang
filsuf Prancis, melalui ungkapan "Cogito, ergo sum" atau "Aku
berpikir, maka aku ada," menegaskan bahwa kemampuan untuk berpikir adalah
inti dari eksistensi manusia. Kebodohan, dalam berbagai bentuknya, adalah
penghalang utama bagi pemikiran kritis ini. Sebagai pendidik, saya merasa
bertanggung jawab untuk memastikan bahwa generasi berikutnya tidak hanya menerima
informasi secara pasif, tetapi juga mampu memproses, menganalisis, dan
menggunakannya untuk membuat keputusan yang bijak. Ini adalah bentuk
kemerdekaan yang lebih dalam dan lebih substansial—kemerdekaan berpikir yang
sejati.
Merdeka dari kebodohan berarti
membekali setiap anak bangsa dengan kemampuan untuk menghadapi tantangan zaman,
untuk tidak sekadar mengikuti arus, tetapi juga mampu menciptakan arus baru.
Dalam hal ini, kata-kata Immanuel Kant, “Sapere aude” atau “Beranilah
mengetahui,” menjadi relevan. Kita diajak untuk terus mencari pengetahuan dan
tidak takut untuk mengeksplorasi yang belum diketahui. Ini adalah esensi dari
kemerdekaan intelektual yang harus kita perjuangkan bersama—melalui reformasi
pendidikan yang berkelanjutan, pemberdayaan guru, serta partisipasi aktif dari
masyarakat dalam proses pendidikan.
Kebodohan adalah musuh
yang licin, ia dapat menyelinap melalui celah-celah ketidaktahuan, kemalasan
berpikir, dan ketergantungan pada informasi yang salah. Lebih dari itu,
kebodohan juga terwujud dalam bentuk ketakutan untuk mencoba dan ketidakmampuan
untuk memanfaatkan kemerdekaan berpendapat. John Dewey, seorang filsuf
pendidikan, mengajarkan bahwa pendidikan sejati adalah tentang pengalaman dan
eksperimen, bukan sekadar teori yang statis. Pendidikan harus menjadi sarana
untuk membebaskan individu dari kebodohan, dengan cara mendorong mereka untuk
berpikir kritis, berani mencoba, dan memanfaatkan kebebasan yang mereka miliki
untuk berkontribusi dalam masyarakat.
Dalam konteks ini,
pendidikan tidak hanya dilihat sebagai sarana untuk mengumpulkan pengetahuan,
tetapi juga sebagai alat untuk memerdekakan pikiran. Pendidikan harus
memungkinkan individu untuk melepaskan diri dari belenggu kebodohan, baik dalam
bentuk ketidaktahuan maupun ketidakmampuan untuk berpendapat secara bebas.
Merdeka dari kebodohan adalah merdeka dari segala hal yang menghambat kita
untuk berpikir dan bertindak secara mandiri, dan ini adalah esensi dari
kemerdekaan yang sejati.
Pendidikan adalah kunci
untuk membuka pintu kemerdekaan sejati. Dalam peran saya sebagai pendidik, saya
berkomitmen untuk terus menyalakan api semangat belajar dan berpikir kritis
pada mahasiswa-mahasiswa saya. Saya berharap kita semua, sebagai bangsa, dapat
melanjutkan perjuangan ini, tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga dalam
membebaskan diri kita dari kebodohan, termasuk ketakutan untuk mencoba dan
ketidakmampuan memanfaatkan kemerdekaan untuk berpendapat.
Selamat Hari
Kemerdekaan ke-79, Indonesia. Mari kita terus berjuang untuk merdeka, tidak
hanya dari belenggu penjajahan, tetapi juga dari kebodohan yang dapat
menghambat langkah kita menuju masa depan yang lebih cerah.