Budaya haknanakan (konsep eskatologis) Suku Mamulak Kampung Numbei, Kabupaten Malaka NTT

Budaya haknanakan (konsep eskatologis) Suku Mamulak Kampung Numbei, Kabupaten Malaka NTT

 

KONSEP KEMATIAN DALAM PERSPEKTIF MASYARAKAT SUKU MAMULAK-NUMBEI

(Sebuah tinjauan terhadap budaya “haknanakan” pada saat kematian)[1]

(Oleh: Frederick Mzq)

 

I.       Pendahuluan

 

Kematian adalah kesempurnaan hidup. Pilihan hidup orang memuncak ketika ia mati. Orang yang hidupnya harmonis, maka ketika kematian menjemput ia pun akan menjalani hidup harmonis yang sejati dan selamanya. Orang yang meninggal tidak harmonis, atau selama hidupnya tidak harmonis maka di alam keabadian akan mengalami proses yang cukup panjang untuk mencapai kesempuranaan hidup.

Kematian adalah puncak keputusan dari seluruh kehidupan ini. Ketika manusia meninggal ia telah memutuskan untuk berpasrah pada Allah. Sehingga ia akan mengalami kenikmatan kehidupan abadi atau surge. Namun untuk mencapai itu, orang masih perlu berproses. Dalam proses inilah Allah sendiri yang akan menuntut manusia mencapai kerajaan-Nya.

Konsep kebudayaan sangat mempengaruhi perspektif  masyarakat terhadap kematian. Kematian bukanlah akhir dari segal-galanya, melainkan awal kehidupan baru di dunia lain. Dalam masyarakat NTT ada ritus-ritus penghormatan yang dibuat untuk para arwah menurut kebiasaan adat yang berlaku. Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan konsep kematian  menurut kepercayaan masyarakat suku Mamulak-Numbei yakni budaya haknanakan.

 

II.    Konsep Budaya “haknanakan” dalam Perspektif  Masyarakat Suku Mamulak-Numbei

 

a.      Selayang pandang suku Mamulak

Suku Mamulak adalah salah satu suku dalam kerajaan Liurai Fatuaruin-Wehali, yang mempunyai tugas untuk memimpin ibadat kematian dalam wilayah kerajaan apabila ada anggota keluarga raja yang meninggal dunia. Hal ini dilatarbelakangi oleh nama mamulak dalam bahasa tetum berasal dari kata hamulak yang berarti berdoa. Suku ini terdapat di sebuah kampung bernama Numbei- Desa Kateri, Kecamatan Malaka Tengah, bagian Selatan dari Kabupaten Belu.

 

b.      Konsep kematian dalam perspektif masyarakat Suku Mamulak

*      Untuk seseorang yang baru meninggal

Kepercayaan masyarakat suku Mamulak terhadap anggota keluarga yang baru meninggal yakni dengan mengenakan tais (kain adat) yang baru bagi orang yang meninggal sebagai tanda bahwa dia akan memasuki moris foun (hidup baru). Di samping itu pula setiap anggota keluarga dalam suku atau dari suku lain ketika datang melayat akan membawakan tais (kain adat), sebagai sasolok (hadiah) untuk orang yang meninggal. Menurut kepercayaan, tais-tais itu akan digunakan oleh orang yang meninggal selama perjalanannya menuju lalean (kehidupan baru) sebagai pakaian ganti.

Berkenaan keadaan duka yang ada di dalam suku, ada pun ritus yang dibuat untuk anak-anak kecil yakni dengan memberikan tanda salib dengan menggunakan hai latun atau arahu kresan atau ahi latun (abu dapur atau arang) sebagai simbol agar anak-anak itu tidak dirasuki oleh roh jahat. Tindakan pemberian tanda salib ini dilatarbelakangi oleh kepercayaan masyarakat bahwa pada saat orang meninggal keadaan situasi saat itu rai nakonu (bumi berpenghuni banyak roh) yakni mata bian tua no nurak mai rasoru siak maluk foin mate ne’e (para arwah tua dan muda datang menjemput saudara mereka yang baru saja meninggal). Mereka meyakini bahwa sama halnya orang menyambut camat atau bupati dengan tari-tarian penjemputan, maka orang yang meninggal dunia pun melakukan acara penjemputan bagi sesama mereka yang baru meninggal. Di sini pada saat jenazah belum dikuburkan maka rai nakonu tetap berlaku. Situasi ini mengharuskan orang tua untuk menjaga anak-anak mereka agar tidak sembarang bermain di tempat-tempat tertentu sebagaimana dilarang oleh be fukun (kepala suku), sebagai tempat lulik (sakral atau kudus).

Ada pun juga ritual yang dibuat pada saat upacara penguburan yakni solok we tau ba au bonun ida no batar folin ida (memberikan sumbangan berupa air yang diisi dalam bambu dan jagung satu bulir jagung sebagai bekal dalam perjalanan menuju moris oun). Ritual ini bukanlah akhir dari segala-galanya tetapi masih ada ritual yang lebih penting dalam hubungan dengan orang yang baru meninggal yakni “haknanakan” yakni ritual perpisahan antara keluarga yang masih hidup dengan orang yang meniggal. Selama upacara ini belum dijalankan maka arwah, orang yang meninggal masih belum pergi meninggalkan anggota keluarga. Oleh karena itu setiap kali jam makan jatah makannya harus selalu ditinggalkan dan di taruh di kakuluk (tempat membuat sesajian untuk para leluhur). Upacara haknanakan akan terjadi apabila seluruh anggota keluarga besar berkumpul pada saat tanggal yang ditentukan. Pada saat upacara haknanakan ini berlangsung diadadakan ritus adat taka tebok (pesta kenduri). Upacara ini dimaksudkan sebagai bentuk ungkapan perpisahan dengan si arwah yang baru saja meninggal di mana tidak akan ada makan bersama lagi dengan si arwah dan merelakannya untuk masuk dalam moris foun (kehidupan yang baru). Adapun bahasa adat yang digunakan sebagai ungkapan perpisahan yang biasanya dibawakan oleh be fukun (kepala suku) yakni: modi ok ba rai balu ba, amikan hela ba rai klaran ne’e, ita fae malu onan (bawalah kamu punya ke negeri seberang, kami punya  tinggalkan di dunia ini, kita berpisah sudah). Bersamaan dengan kata perpisahan ini si kepala suku membuat ritual  bikan dulis isin tolu (memutar piring si arwah sebanyak tiga kali dan memecahkannya). Dengan upacara ini maka si arwah pergi meninggalkan keluarga yang masih hidup di dunia ini.

 

*       Untuk para leluhur yang sudah lama meninggal

Upacara adat untuk para leluhur yang sudah lama meninggal biasanya dengan  tau mama dan tunu (memberikan sirih pinang di tempat sesajian dan membakar binatang) dan juga sunu lilin iha rate (membakar lilin di kuburan). Bagi masyarakat suku Mamulak kepercayaan terhadap nenek moyang yang sudah meninggal dunia begitu kuat. Bahkan penderitaan berupa sakit, kegagalan dalam usaha merupakan ulah dari para leluhur yang telah meninggal karena tidak pernah mengingat mereka. Dengan sugesti seperti ini biasanya orang membuat upacara adat agar meredam kemarahan para leluhur. Masyarakat Suku Mamulak hingga sekarang masih membuat ritus-ritus adat penghormatan terhadapa orang mati. Dan juga mencari be dok (dukun) untuk menentukan penyebab kematian dari keluarga yang meninggal. Di samping ritus adat yang dibuat mereka juga menyampaikan intense misa untuk keluarga yang sudah meninggal dunia.

Pemberian nama kepada bayi yang baru lahir diberikan sesuai dengan nama nenek moyang. Tujuan dari pemberian nama ini adalah agar nama para leluhur yang telah meninggal dunia namanya tetap diingat maka cucunya harus diberikan nama sesuai dengan nama bei ferik (nenek) dan bei katuas (kakek) yang meniggal dunia. Dengan pemberian nama (hatama naran) menunjukan bahwa anak itu akan mendapatkan matakmalirin (berkat) dari bei ferik atau bei katuas.  Masyarakat suku Mamulak sangat menaruh perhatian kepada matabian (para arwah). Keyakinan mereka adalah matabian mempertahankan kehidupan mereka di dunia ini.

Di samping konsep tentang keyakinan pada arwah yang meninggal,  ada pun konsep pemahaman mereka menyangkut jenis kematian yang dialami oleh anggota keluarga mereka. Hal pertama yang melekat kuat dalam konsep tentang bagaimana orang meninggal adalah kematian yang tidak wajar di mana orang yang  meninggal itu meninggal bukan karena penyakit tertentu, melainkan akibat ema buan atau buan manas (suanggi). Konsep ini mengakar kuat di dalam diri anggota suku. Munculnya konsep seperti ini mengakibatkan terjadinya pengkambinghitaman terhadap orang atau keluarga tertentu. Konsep tentang ema buan ini semakin sekarang masih tetap ada.           

                                      

III. Penutup

 

Kepercayaan yang begitu kuat terhadap para leluhur ini menggambarkan bahwa masyarakat suku Mamulak Numbei masih memiliki dualisme kepercayaan atau keyakinan. Walaupun 100% masyarakat suku ini beragama Katolik, tetapi kepercayaan akan intervensi leluhur dalam hidup mereka begitu kuat di samping adanya kepercayaan akan Tuhan sebagai penyelanggara kehidupan manusia. Konsep ini masih terus hidup dan berkembang hingga sekarang ini. 

 



[1] Seluruh rangkuman bahan ini berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Vinsensius Mau Nahak. Beliau adalah salah satu toko adat dalam Suku Mamulak-Numbei. Wawancara ini via Handphone  Minggu, 31 Maret 2013, Pukul 09-00-11.00 WITA.

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama