Rumah Adat Suku Ta'e Hutun Kaweran di Kampung Kateri Relevansinya Menurut Perspektif Budaya dan Ajaran Agama Katolik

Rumah Adat Suku Ta'e Hutun Kaweran di Kampung Kateri Relevansinya Menurut Perspektif Budaya dan Ajaran Agama Katolik


SELAYANG PANDANG RUMAH ADAT TA'E HUTUN KAWERAN DI KAMPUNG KATERI 
Kabupaten Malaka-NTT
Relevansinya Menurut Perspektif Budaya dan Ajaran Agama Katolik
Oleh: Frederick Mau, S.Fil


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
“Dunia adalah sebuah kampung global (global village)”, demikian Marshall McLuhan, seorang sosiolog asal Amerika Serikat, menggambarkan perkembangan dunia saat ini. Modernisasi dalam pelbagai dimensi kehidupan menipiskan, bahkan meruntuhkan batas-batas kebudayaan. Hal ini kian menyebabkan terjadinya ragam heterogenitas dalam pelbagai bidang kehidupan. Masyarakat tersusun atas pelbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai. Salah satu persoalan bangsa Indonesia adalah amnesia kolektif. Kebanyakan manusia Indonesia lebih ingat pada seorang penjahat yang membagi-bagikan hadiah dengan satu tujuan yang tidak jelas dan cepat lupa terhadap seseorang yang berbuat kebaikan. Pahlawan yang dikenang adalah mereka yang gugur dalam iktiar mengupayakan dan mempertahankan kemerdekaan. Pahlawan dalam konsep pola pemikiran orang Malaka-Belu Selatan (Tetum) adalah Meo. Pengertian Meo merujuk pada orang yang berjuang mempertahankan tradisi dan budayanya dari serangan musuh. Tindakan-tindakan praktis yang dilakukan seorang meo adalah berperang melawan kerajaan lain bahkan mengorbankan nyawanya di medan pertempuran.

      Pada zaman dahulu, semenjak manusia dilahirkan, sesungguhnya ia telah berada  dalam suatu lingkungan kebudayaan. Lingkungan inilah yang kemudian turut berperan membentuk kepribadiaan dirinya. Seorang budayawan, E.B Tylor (1987) berpandangan, bahwa “kebudayaan merupakan suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kesanggupan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Di sini, ia hendak mengetengahkan kepada kita, bahwa dalam totalitas kehidupan manusia sehari-hari, selalu saja bersinggungan dengan unsur atau nilai-nilai dari suatu kebudayaan. Selain itu, patut digarisbawahi juga adalah, bahwa interaksi sosial atau proses belajar dalam suatu lingkungan masyarakat merupakan unsur terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Dapat saya katakan, bahwa kebudayaan itu ada, bersamaan dengan adanya manusia.

          Wujud kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu budaya yang bersifat abstrak dan budaya yang bersifat konkret (dalam buku Posman Simanjuntak: Berkenalan dengan Antropologi). Rumah adat, dan barang-barang peninggalan leluhur merupakan salah satu wujud kebudayaan yang bersifat konkret. Mengingat ia berwujud konkret dari suatu kebudayaan masyarakat tertentu dan merupakan salah satu bentuk dari kebudayaan materi yang dihasilkan dari aktifitas sosial, perbuatan dan karya manusia, maka pertumbuhan dan pekembangan rumah adat pun erat kaitannya dengan sejarah nenek moyang.

           Berbicara tentang rumah adat dan barang-barang peninggalan leluhur, sebetulnya kita diajak untuk melihat kembali asal-usul kehidupan kita sendiri. Ada orang yang mengatakan, bahwa rumah adat merupakan ungkapan usaha manusia sebagai sarana untuk memahami, menghormati dan memberi arti kepada wujud tertinggi dan kepada arwah leluhur. Rumah adat adalah bagian dari usaha menelusuri misteri eksistensi manusia itu sendiri. Maka, adanya rumah adat, sekiranya menjadi suatu fenomena yang menarik untuk disimak.

           Tidak bisa dipungkiri, bahwa peran rumah adat untuk kehidupan masyarakat zaman dahulu hingga sekarang, masih sangat berarti. Bahkan masyarakat suku tertentu melihatnya sebagai sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan bersama. Mereka menghargai dan menjunjung tinggi adat-istiadat warisan nenek moyang  mereka. Hal ini bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Dari tradisi seketurunan (satu suku) kemudian terekspose menjadi banyak suku dan banyak kebudayaan baru. Namun, dibalik tradisi lampau itu, tetap saja menyisahkan satu tanggung jawab di masa kini, untuk kita sama-sama mempertahankan dan melestarikan warisan para leluhur yang sangat tinggi nilai sejarahnya itu.

Pada masa era globalisasi saat ini, apakah masih relevan penghormatan kepada leluhur dengan pendasaran teologis bagi praktek penghormatan tersebut?. Jawabannya berkaitan erat dengan konsekuensi suatu masyarakat tenggalam dalam amnesia kolketif. Keadaan masyarakat seperti ini (baca: amnesia kolektif) akan kehilangan jati dirinya. Ketercabutan dari akar budaya, akan membuat suatu masyarakat gampang diarahkan pada kepentingan sesaat para penguasa. Akibat lanjutnya adalah hilangnya keberagaman budaya dalam kuali besar budaya global. Karena budaya global adalah bentukan kebudayaan-kebudayaan kuat dan dominan, maka masyarakat budayakecil dan lemah, akan berada pada posisi penyelaras, tanpa kontribusi cultural bermakna.

1.2  TUJUAN PENULISAN
Tulisan ini dibuat untuk:
a.       menambah wawasan berpikir untuk semua kalangan yang ingin memperjari kebudayaan khas atau unik dari setiap suku dan juga sebagai acuan untuk semua anggota suku Ta’e Hutun Kaweran dalam mengembangkan dan menghayati tradisi adat para leluhur.
b.      Sebagai sarana pengembangan nilai-nilai budaya yang bermanfaat bagi generasi penerus. Nilai-nilai budaya tersebut antara lain: kebersamaan, gotong royong, dan semangat kekeluargaan.
c.       Meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan nilai-nilai budaya melalui komunitas-komunitas masyarakat adat.
d.      Mendukung pemerintah melalui program promosi parawisata  dan atau revatalisasi budaya di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

1.3  RUANG LINGKUP PENULISAN
Pola pemikiran yang dikembangkan dalam tulisan ini dipersempit pada Pola Perkembangan Rumah adat Suku Ta’e Hutun Kaweran beserta dengan sejarah historis tentang terbentuknya Suku ini, pemaparan materi pengaruh agama katolik dalam kebudayaan masyarakat dan juga akan dibahas tentang silsilah keturunan dari generasi awal hingga sekarang ini.

1.4  METODE PENULISAN
Di dalam membuat tulisan ini menggunakan studi lapangan (dokumentasi dalam bentuk foto bukti-bukti sejarah tentang awal mula keberadaan suku Ta’e Hutun Kaweran) , wawancara lisan bersama para makoan (ahli bahasa dan sejarah adat) serta tokoh-tokoh adat yang mempunyai wawasan pengeratahuan tentang sejarah kebudayaan suku ini. Di lain sisi penulis berusaha membuat studi pustaka dengan membaca buku-buku yang berkaitan dengan cagar budaya dan perkembangan iman katolik dalam ranah inkulturasi.





BAB II
SELAYANG PANDANG TENTANG RUMAH ADAT
 SUKU TA’E HUTUN KAWERAN
DESA KATERI[1]-KABUPATEN MALAKA-NTT
2.1 Pengertian Rumah adat Suku Ta’e Hutun Kweran
2.1.1 Defenisi Rumah Adat
Rumah adat merupakan rumah keramat yang dalam istilah bahasa Tetum, Bahasa Lokal Kabupaten Malaka disebut Uma Lulik. Uma berarti rumah, lulik berarti keramat atau pemali. Rumah adat merupakan pusat spiritual dan tradisi orang Timor. Setiap tahunnya, anggota suku yang berfaliasi dengan rumah adat biasanya berkumpul untuk mengadakan upacara ritual adat. Upacara ritual adat yang biasanya rutin dilakukan adalah upcara adat hamis batar[2] dan kegiatan upacara adat lainnya.

Hal yang membuat rumah adat itu keramat karena barang-barang peninggalan nenek moyang dari suku yang tetap eksis hingga saat ini. Rumah keramat tersebut biasanya hanya dimasuki oleh seorang pemimpin kharisatik(Kepala Suku) yang merupakan ahli waris secara turun temurun. Pemimpin tersebut merupakan “jembatan” penghubung antara mereka yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia. Ia berhak mempersembahkan persembahan dari para anggota suku kepada para leluhur mereka.

2.1.2 Arti Nama Ta’e Hutun Kaweran
Nama Ta’e Hutun Kaweran terdiri dari tiga suku kata yaitu: Ta’e, Hutun, renu. Ta'e  terjemahan lurusnya adalah pukul atau memukul. Namun dalam konteks adat istiadat Ta'e bukan berhubungan langsung dengan istilah pukul melainkan sebuah bahasa adat yang berhubungan dengan konteks peran dari rumah adat sebagai tempat penyelesaian perkara berdasarakan ukun no badu (norma dan adat istiadat) yang berlaku.  Hutun bahasa kiasan dengan kata dasar renu (Terj. masyarakat) bersinonim dengan uma maklibur atau rumah yang menghimpun masyarakat. Sedangkan Kaweran  berasal dari kata dasar beran yang artinya keuatan atau tenaga.

 Berdasarkan arti etimologis dari tiga suku kata di atas, maka secara harafiah Ta'e Hutun Kaweran adalah rumah penentu norma atau pola tingkah laku manusia yang berhubungan dengan peradaban hidup manusia dalam konteks budaya dan adat istiadat. 

2.2. Peran dari Uma Ta’e Hutun Kaweran
   Pada dasarnya, setiap masyarakat selalu ingin hidup harmonis. Keadaan yang harmonis ini baru akan tercipta, apabila setiap orang bisa hidup bersama tanpa ada sikap egois, sombong, dan pelanggaran tata tertib atau norma-norma setempat. Setiap kehidupan bersama, baik dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, maupun dalam hidup bernegara, selalu memiliki aturan. Aturan merupakan hal yang esensial dalam mengatur dan menegakkan kebenaran kepada setiap individu. Tanpa adanya norma, dapat dipastikan dalam praktek kehidupan bersama akan mengalami banyak kerancuan.

Uma Ta’e Hutun Kaweran merupakan rumah adat yang menghimpun dan menaungi 4 suku besar di Kateri yakni: Suku Be Bata, Suku Be Kolo-Melus, Suku Be Seran Manlima dan Suku Be Aek. Rumah ini menjadi penentu norma, penentu tingkah laku manusia yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat. Adapun fungsi dari rumah adat ini yakni:

a.       Sebagai Tempat Berdialog atau Bermusyawarah Semua Warga
         Dimana saja, terdapat berbagai wadah untuk melaksanakan musyawarah atau dialog bersama. Dalam lingkungan yang terbatas, ada organisasi rukun tetangga. Di desa-desa, terdapat Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan  Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Di tempat itu, para warga dapat bermusyawarah mendiskusikan masalah dan menemukan solusi yang tepat untuk kepentingan bersama.

Dalam Kehidupan masyarakat rumah adat suku Ta'e Hutun Kaweran di Desa Kateri memiliki fungsi sebagai rumah untuk berbicara adat (hakes adat), dan penentuan norma kehidupan social bermasyarakat. Tempat ini biasa digunakan dan dianggap penting sebagai cara terbaik untuk memecahkan Persoalan bersama menyangkut kelangsungan hidup semua suku di wilayah perkampungan Kateri. Diskusi yang berlangsung itu dihadiri oleh beberapa pemuka tua adat, seluruh Kepala Suku dan masyarakat. Para tua adat yang memimpin jalannya musyawarah ini harus mempunyai pemahaman yang luas, argumentasi yang sehat dan berkualitas. Dengan berbagai masukan dan pendapat dari para anggota, akhirnya dicapailah kata sepakat. Maka rumah ini disebut juga uma hakotu lia (rumah untuk mengambil keputusan yang baik dan benar).

b.      Sebagai Sarana Pemersatu
          Ditinjau dari berbagai segi kehidupan bermasyarakat, rumah adat dapat dikatakan sebagai sarana pemersatu. Jika, ditelaah dari sisi religiusitas, rumah adat bersifat vertikal dalam hubungan antara manusia dengan arwah-arwah leluhur. Karena itu, rumah adat diyakini sebagai mediasi pemersatu antara dunia nyata dan dunia semu (alam baka), dan menyingkapkan tiga dimensi waktu, yakni: dunia kemarin (masa lampau), dunia sekarang (masa kini), dan dunia yang akan datang (masa depan). Sedangkan, jika dilihat dari kaca mata ilmu filsafat, rumah adat merupakan landasan hidup manusia, karena sebagai titik mula dan titik tuju semua aktifitas manusia. Maka, yang mau diketengahkan adalah unsur persatuan dan kesatuannya.

         Kapan dan dimana saja, manusia selalu hidup bersama dengan yang lain (No man is an Island). Karena pada hakekatnya, setiap individu selalu membutuhkan bantuan dan campur tangan individu yang lain, untuk saling menopang satu dengan yang lainnya.

           Dalam kehidupan masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran, mereka meyakini, bahwa rumah adat dapat mempersatukan mereka dengan para leluhur mereka dan dengan sesama yang lain.  Filosofinya adalah, bahwa “manusia ada bukan untuk dirinya melainkan ada di dalam solidaritas dengan sesamanya” (eksistensi mereka adalah juga eksistensi mereka dengan sesama yang lain). Dari kebersamaan itu, mereka semakin didekatkan dalam bingkai persaudaraan. Saling membantu dan menolong, penuh rasa persatuan dan kesatuan sebagai orang-orang yang berbudaya. Sehingga, terciptalah kehidupan yang rukun, serasi, selaras dan seimbang di dalam hidup keseharian mereka.

c.       Sebagai Tempat Berelasi dengan Wujud Tertinggi dan Para Leluhur
          Pada intinya, manusia ada dari ketiadaan. Dari ketiadaan, ia menjadi ada karena adanya “ADA” (ada universal, yang melingkupi seluruh realitas). Hidup adalah sebuah anugerah dari sang “Creator ex Nihilo”. Dalam arti, bahwa manusia meyakini adanya kekuatan lain yang melampaui keberadaan manusia itu sendiri. Manusia menginsyafi, bahwa antara dunia bawah (alam, tempat manusia hidup) dan dunia atas (langit, adanya “ada” yang tak terhingga) harus ada satu ikatan atau hubungan yang erat. Menyikapi itu, maka manusia membangun relasi lewat berbagai upacara adat yang ditujukkan semata-mata untuk menghormati sang pencipta.

          Dalam masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran, ada penghormatan terhadap terhadap “wujud tertinggi” itu.  Rumah adat, menyatukan mereka, dan para leluhur menjadi perantara untuk berelasi dengan dunia atas yang tak terlampaui. Rumah adat dalam pandangan suku Ta’e Hutun Kaweran, merupakan “gerejanya” agama asli mereka. Atau dengan kata lain, rumah adat Ta’e Hutun Kaweran berfungsi sebagai “Mediator Dei et Hominum” (perantara Allah dan manusia). Rumah adat juga digunakan sebagai sarana untuk menghormati dan memohon berkat dari para leluhur atau nenek moyang untuk kepentingan suku. Hal ini nampak dalam ritual memberikan sesajian, dengan harapan agar apa yang akan mereka lakukan dapat disertai oleh para leluhur.

2.3 Bagian- bagian dari Arsitektur Rumah Adat Suku Ta’e Hutun Kaweran
Uma, ya istilah umum dari rumah dalam bahasa Tetun (bahasa daerah di kabupaten Beludan Malak) disebut, uma. Istilah ini mengacu kepada bentuk fisik bangunan sebagai tempat tinggal manusia agar mereka dapat terlindungi dari ketidaknyamanan hidup yang disebabkan oleh kepanasan terik matahari atau udara yang  sangat dingin dan musibah-musibah alam serta ancaman-ancaman bahaya dari manusia. Sejauh ini istilah uma bermakna sebagai sebuah tempat tinggal yang biasanya disebut uma tur fatin, sebuah tempat tinggal yang biasanya dihuni oleh sebuah keluarga rumah tangga atau uma kain.

Sehubungan dengan pembangunan rumah tradisional atau rumah panggung, ada tiga jenis rumah tradisional yaitu: uma Timur (rumah tinggal), uma lulik (rumah adat), dan uma kakaluk (rumah pengobatan). Rumah-rumah ini strukturnya sederhana. Rangka-rangka bangunan uma ini biasanya terbuat dari kayu-kayu balok, jenis batang kayu yang besar dan atapnya dari daun gewang (pohonnya jenis sagu). Bangunan uma ini biasanya mempunyai dua pintu, sebuah menghadap ke arah matahari terbit yang disebut, oda matan lor, dan pintu yang lain menghadap ke arah matahari terbenam yang disebut, oda matan rae.
Ternyata tidak sesederhana itu, orang Malaka punya makna khusus mengenai tata letak tersebut. Ada beberapa pintu yang terdapat di dalam rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran antara lain:
a)      Oda matan lor yang diperuntukkan bagi tamu dan kaum laki-laki harus menghadap ke sebelah Timur atau sebelah matahari terbit karena jurusan ini dianggap sebagai posisi yang membawa keberuntungan, kesejahteraan material, kehidupan, kebaikan dan prospek yang cerah dalam hidup sebagaimana sang surya yang mulai menyinari bumi dengan sinarnya yang terang benderang dan terik panasnya.
b)      Oda matan rae yang diperuntukkan khusus bagi anggota-anggota rumah tangga dan kaum perempuan pada umumnya biasanya menghadap ke arah Barat ke jurusan terbenamnya matahari sebagai pintu yang melambangkan waktu senja dari kehidupan seseorang di dunia ini. Keadaan ini adalah saat-saat ketika seseorang berhadapan dengan banyak kesulitan, penyakit, kesengsaraan, kesepian dalam hidupnya dan pada akhirnya meninggal dunia.
c)      Oda Matan Lasaen yang diperuntukan untuk mengeluarkan anggota suku yang meninggal (bodik hasai ema maten). Dalam tradisi suku Ta’e Hutun Kaweran berkaitan dengan proses membuka Oda Matan Lasaen biasanya dilakukan oleh Ema Malun (anggota suku Be Bata-Uma Karoti)
Atap rumah biasanya hampir menyentuh tanah maka bagian dalam rumah itu gelap gulita tetapi sejuk rasanya. Suasana gelap dan sejuk melambangkan bahwa manusia itu lahir dari satu dunia yang suci (gelap) dan penuh ketenangan (sejuk). Alasan dasar kenapa atap rumah adat di wilayah Kabupaten Malaka lebih dominan beratapkan daun gewang karena di tempat ini banyak pohon gewang yang tumbuh. Sedangkan di wilayah Kabupaten Belu, pengatapan rumah adat menggunakan daun gewang. Maka ada istilah adat yang berbunyi: “uma tahan ida, uma hae ida”. Pernyataan ini mau menunjukkan bahwa pengatapan rumah adat baik menggunakan daun gewang maupun alang-alang sebenarnya sama, tidak ada unsure mistis atau tanda keramat yang membedakan design pengantapan rumah adat ini.
Adapun Konsep pembagian tata ruang dan fungsinya adalah menggunakan konsep uma Timur, sebagai berikut:
  • a)      Labis Kraik (Teras): sebagai tempat menerima tamu dan duduk santai.
  • b)      Labis Leten (Ruang Tamu): sebagai tempat untuk menerima tamu dan melakukan kegiatan upacara adat seperti peminangan dan pernikahan.
  • c)      Kean Mane Fou (Ruang Tidur Menantu Pria): sebagai kamar tidur menantu pria yang baru setelah tunangan (terang kampong atau tukar cincin).
  • d)     Labis Laran (Ruang Keluarga): sebagai ruangan untuk tempat untuk makan dan juga tidur bagi seluruh anggota keluarga baik orang tua maupun anak-anak.
  • e)      Loka Laran (Ruang Tidur Anak Gadis): sebagai tempat tidur untuk anak gadis yang menginjak usia dewasa.
  • f)       Ai Lalao (Tempat Bersalin): sebagai kamar bersalin sampai dengan bayi berumur 40 hari. Posisinya dekat dengan tungku api supaya bayi dan ibunya tidak kedinginan.
  • g)      Hai Matan (Tungku Api): Sebagai tempat untuk masak atau mengolah makanan keluarga.
  • h)      Klot We (Tempat Air): sebagai tempat untuk menyimpan air minum di dalam guci (Lolo,Tetum) yang terbuat dari tanah liat.
  • i)        Kahak Leten (Loteng): sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan seperti padi dan jagung dll.
  • j)        Bahani: Sebagai tempat untuk menyimpan pusaka leluhur.

Dalam pengantapan rumah adat, ketika sudah selesai, biasanya dilakukan pemotongan rebis daun gewang yang sudah kering (ta tateten).  Kebiasaan ini dilakukan agar rumah itu mendapatkan terang sinar mentari dan tidak terlihat gelap seperti di dalam gua.

Pola/ tata ruang dalam arsitektur tradisional Malaka-Suku Tae Hutun Kaweran secara hirarkis dibagi atas dua, yakni secara horisontal dan secara vertikal. Secara horisontal pola ruang pada arsitektur rumah adat di Malaka-suku Ta’e Hutun Kawera (uma fukun) dibagi atas tiga ruang (berdasarkan adat perkawinan/kawin masuk/matrilineal), dengan ruang tengah sebagai inti rumah, ruang ini bersifat profan, yakni digunakan juga dalam aktifitas sehari – hari serta sakral karena digunakan sebagai tempat melakukan aktifitas upacara adat dalam rumah, juga bersifat sakral dikarenakan ada benda-benda peninggalan para leluhur. Bagian depan rumah merupakan ruang yang bersifat profan serta terbuka untuk umum. Dikatakan terbuka untuk umum karena ruang ini boleh dimasuki oleh segala gender dari segala usia (siapa saja boleh masuk/ tidak ada ikatan adat).

Secara vertikal rumah tradisional Malaka-suku Ta’e Hutun Kawera, dibagi menjadi tiga bagian besar, yakni kolong rumah (o’hak laran), bagian dalam rumah - diatas panggung (uma Laran) serta bagian atas/ loteng rumah (kahak Leten). O’hak Laran berfungsi sebagai tempat untuk menenun, anak-anak bermain dan memasak yang sekarang dilakukan di luar rumah. Sebenarnya o’hak laran merupakan tempat yang tidak dipakai untuk aktifitas (tinggi panggung 80 cm) karena dipercaya sebagai tempat dunia orang mati, tetapi akibat bertambahnya kebutuhan, ruang-ruang ini berubah fungsi sebagai tempat aktifitas sehari – hari. Uma laran merupakan tempat tinggal manusia, dipercaya sebagai dunia orang hidup. Yang terakhir bagian yang dianggap sakral/suci, Kahak leten tempat menyimpan benda adat dipercaya sebagai dunia leluhur. Kahak leten ini dibagi atas dua bagian menurut fungsinya yakni kahak Lor tempat menyimpan benda pusaka/kakaluk dan kahak kotuk difungsikan sebagai lumbung makanan. Pola ruang luar pada permukiman (perkampungan) tradisional Malaka (Uma Fukun) pada dasarnya memiliki konsep dan hirarki ruang yang identik dengan pola/hirarki pada tata ruang dari dalam arsitekturnya.

2.4 Pemisahan Uma Ta’e Hutun Kaweran dan Uma Tema
Pada mulanya Uma Ta’e Hutun Kaweran dan Uma Tema hanya satu rumah adat. Namun dalam perjalanan sejarah setelah manusia semakin banyak dan kebutuhan pelayanan semakin meningkat maka dipandang perlu adanya pembagian tugas yang baru. Gagasan pembagian tugas yang baru ini akhirnya dipelopori oleh beberapa Raja Liurai Wehali yang datang dan berbicara dengan Nenek Klara Hoar. Selanjutnya terjadilah pembagian tugas dan akhirnya dipelopori oleh beberapa Raja Liurai Wehali yang datang dan berbicara dengan Nenek Klara Hoar. Selanjutnya terjadilah pembagian tugas dan diikuti pembagian rumah yang diberi nama: Uma Ta’e Hutun Kaweran dan Uma Tema. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang sailing melengkapi. Uma Ta’e Hutun Kaweran sebagai uma Feto dan Uma Tema sebagai Uma Mane. Maka sering kita mendengar pernyataan: Uma Tema ita uma Ina Ama. Yang dimaksudkan Uma Ina Ama adalah kedua rumah ini.
Berdasarkan cerita lisan yang diwariskan turun temurun, konon tempo dulu ketika Be Seran Tema sai ba nalaok tugas, Iba Lera yang menjaga rumah dan menunggu saudaranya. Kubur mereka bersebelahan dan telah menjadi fosil batu. Semua anggota suku meyakini bahwa tempat itu adalah tempat bersejarah tentang sejarah asal usul suku mereka.

2.5 Benda-benda Pusaka Warisan Leluhur
Benda-benda pusaka leluhur merupakan benda budaya yang dikategorikan sebagai:[3]
  • ·         Benda budaya yang merupakan karya historis kaum pribumi.
  • ·         Benda budaya yang memiliki kekuatan magis.
  • ·    Benda-benda alamiah yang memiliki fungsi dan peranan di dalam kehidupan masyarakat namun jarang digunakan.
Benda-benda pusaka yang dimiliki antara lain:
No.
Nama Benda Pusaka
Jumlah
Keterangan
1.                   
Surik Lulik (Pedang Pusaka)
1
Baik
2.                   
Kbelak (matahari) adalah perhiasan dada yang berbentuk liontin gong dan biasanya dibuat oleh para penempah besi yang mempunyai keahlian khusus. Masyarakat Malaka biasanya menyebut tukang penempah besi dengan sebutan besi badaen.
3
Baik
3.                   
Morten ialah kalung berisi untaian manik-manik sebagai budaya yang familiar di Timor. Kalung leher ini memiliki kaidah keindahan yang sangat tinggi.
Di Belu dan Malaka masyarakat menyebutnya morten, sedangkan di daerah Dawan, Rote dan Sabu disebut muti atau muti salak. Konon peredaran morten sudah dilakukan sebelum zaman VOC melalui berita-berita lisan zaman pemerintahan raja-raja Timor-Sabu dan Rote. Morten dianggap sebagai harta mulia yang amat penting selain emas, perak dan perunggu. Karena morten memiliki daya pikat luar biasa dan mampu mempererat rasa kekeluargaan. Wanita dan pria memakai morten saat menghadiri pertemuan baik rohani maupun pemerintahan. Bagaikan untaian mutiara, kemilau morten segera menarik perhatian orang di sekitar lalu datang beramah-tamah dengan pemakainya. Suasanapun langsung begitu familiar.
Sebenarnya morten merupakan perhiasan leher wajib bagi wanita dan pria di sini untuk pertemuan atau pentas tarian bidu dan likurai. Sering orang tidak memakainya karena pertimbangan keamanan diri saja. Tak heran bahwa kepemilikan morten menandai status, keberhasilan, kekayaan dan martabat. Akan tetapi kini terdapat banyak morten bukan lagi barang asli melainkan tiruan yang didatangkan dari luar pulau. Kalau morten asli memiliki harga amat mahal yang kira-kira setara dengan beberapa ekor sapi atau kerbau. Kini morten asli hanya dimiliki oleh keluarga-keluarga terpandang Timor saja.[4]
2
Baik
4.                   
Lukton adalah uang koin kuno yang terdapat cetakan atau tulisan Ratu Wilhelmina de Nederlanden dari Belanda. Uang koin ini ada di Indonesia bersamaan dengan penjajahan Belanda sehingga mata uang sisa menjadi barang koleksi yang memiliki nilai budaya yang sangat mendalam. Masyarakat Malaka yang menganut perkawinan matrilineal biasanya menjadikan lukton sebagai salah satu mahar kawin yang harus diberikan keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan bersamaan dengan mama lulik (sirih pinang pemali).
2
Baik
5.                   
Riti Fui (gelang tangan)
1
Baik
6.                   
Kloat (Tempat sirih pinang matabian/leluhur): Be Seran Tema, Be Bau Modok, Klara Hoar dan seluruh anggota suku atau keluarga yang sudah meninggal dunia.
6
Baik


2.6 Ritus-ritus Upacara adat Suku Ta’e Hutun Kaweran

2.6.1 Tata Ritus Peresmian Rumah Adat Yang Baru
Ada beberapa tahapan yang biasa dilakukan dalam peresmian rumah adat setelah tahapan persiapan dan pembuatan rumah adat (uma lulik)  yakni:
  • a)      Katak ema: mengundang semua keluarga secara lisan
  • b)      Hatais Lulik: pembersihan barang-barang peninggalan para leluhur dan penggantian kloat yang baru. Kebiasaan ini dilakukan oleh Kepala Suku dengan memotong seekor ayam jantan sebagai tanda minta restu dari para leluhur untuk kegiatan pembersihan ini.
  • c)      Kuru We Fohon: pengambilan air yang dianggap sacral yang dilakukan oleh Kepala Suku dan salah satu anggota suku. Waktu pengambilan airnya yakni saat subuh dan diisi dalam tempayan. Air yang diambil biasanya di sumber mata air.
d)     Perarakan barang-barang leluhur menuju rumah adat yang baru, dengan urutannya sebagai berikut:
Ø  Tim Likurai
Ø  Petugas pembawa barang-barang pusaka leluhur
1.      Pembawa biti (tikar)


2.      Pembawa barang-barang pemali leluhur oleh ferek fukun

3.      Pembawa Surik Lulik (Klewang Pusaka) Oleh Kepala Suku

4.      Pembawa Tempat sirih Leluhur

5.      Pembawa Hanematan (tempat sirih untuk upacara adat), babarak (nyiru), knedok dll
6.      Pembawa We Fohon yang diisi dalam tempayan
 
7.      Petugas Hatiu Fahi (memikul babi)
Ø  Para Fukun (Kepala Suku yang ada di wilayah Kateri) dan Para tua adat
Ø  Para Undangan dan kalayak umum
e)      Hoda Fahi Ba Kakuluk (persembahan darah babi pada tiang agung oleh Kepala Suku sebagai ungkapan syukur dan permohonan kepada para leluhur)
f)       Ha adat: acara makan adat dalam posisi tur sabete (duduk bersila) dalam bentuk lingkaran.
g)      Penerimaan mama lulik (sirih pinang pemali) yang diambil dari kloat yang ada di dalam rumah adat.
h)      Acara syukuran sebagai ungkapan bahagia yang biasanya dibuat dalam bentuk menari bersama yakni: Likurai, bidu dan Tebe.

2.6.2 Hamis Batar atau kari Batar
Hamis batar tinan sebagai tanda bahwa secara resmi petani dapat memanen jagung yang ditanam dan dinikmati bersama. Upacara Hamis Batar merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Belu dan Malaka yang dipimpin oleh Tetua Adatnya untuk menyambut musim petik jagung atau panen jagung, sebagai wujud rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta. Hamis menurut bahasa setempat berarti syukur dan batar berarti jagung. Masyarakat percaya bahwa hasil jagung yang akan mereka peroleh merupakan karunia Sang Pencipta. Rasa syukur ini diwujudkan denganmempersembahkan jagung yang terbaik hasil panen kepada Yang Maha Kuasa.

Sebelum upacara dimulai para kepala keluarga turun ke kebun masing-masing untuk memetik sebuah jagung termuda dan paling bagus. Setelah itu mereka berkumpul di tempat upacara dan diadakan seleksi jagung yang paling bagus. Jagung yang paling baik kemudian diletakkan di troman (tiang agung) yang terbuat dari tumpukkan batu yang dikelilingi batu-batu kecil untuk meletakkan jagung baik yang lainnya.
Setelah semua batu tertutup oleh jagung muda, Ketua Adat kemudian memimpin doa persembahan jagung kepada Sang Pencipta dan memohon agar jagung yang dipanen bermanfaat. Seusai berdoa, upacara dilanjutkan dengan menyebar jagung-jagung ke seluruh kebun untuk dipersembahkan kepada Penguasa Tanah, Foho No Rai, yang telah memberikan tanah dan kesuburan jagung. Upacara dilanjutkan dengan batar babulun, pencabutan pohon jagung secara utuh, untuk dibawa ke kampung dan diikat pada tiap-tiap kayu tiang agung yang sesuai dengan fungsinya, yaitu karau sarin (untuk beternak sapi), fahi ahuk (untuk beternak babi dan fatuk (untuk orang-orang tua atau ektua adat).  Seiring dengan upacara tersebut diadakan batar fohon, yaitu acara pemotongan batang buah jagung menjadi 12 potong untuk diserahkan kepada Ketua Adat, dan selanjutnya Ketua Adat menentukan waktu upacara inti.Upacara inti hamis batar itu sendiri merupakan proses persembahan sesaji/jagung-jagung yang baik yang telah dikupas dan dibakar kemudian dimasukkan kedalam gantang penyimpanan jagung yang disebut hane matan untuk dipersembahkan di tempat-tempat yang dianggap keramat (Ksadan, We Lulik dll). Pada proses pembakaran jagung, api yang digunakan merupakan api khusus yang disebut Tahu Hai yang dibuat oleh ketua adat dengan menggosokkan sepotong batu berwarna merah dengan sepotong besi yang disertai serbuk dari pohon enau. Pembakaran dilakukan dengan tiga buah tungku yang diiringi dengan pembacaan doa oleh ketua adat.

Untuk Suku Tae’e Hutun Kaweran memiliki ritual khusus dalam hal hamis batar atau kari batar. Upacara hamisan dimulai dari Uma Kakaluk dengan kehadiran kepala Suku dari Be Tema, Be Rai dan Ta’e Hutun Kaweran. Tahap awal dari upacara syukur ini adalah halo mama (persembahan sirih pinang kepada leluhur) di Uma Kakaluk. Setelah itu dilanjutkan halo mama di Uma Tafatik (Be Rai) dan Akhirnya di Uma Bot atau Uma Suku Be Tema dan Uma Suku Ta’e Hutun Kaweran. Kegiatan upacara hamisan sangat membutuhkan keterlibatan dari tiga Kepala Suku yakni dari Suku Ta’e Hutun Kaweran, Be Tema dan Be Rai serta semua anggota sukunya. Setelah kegiatan halo mama selesai maka 4 Suku lain yang berada di wilayah Kateri bisa mengadakan upacara hamisan pada hari yang bersamaan.

Kompas.com pada 3 September 2012 menulis bahwa di kalangan orang Timor, ritual ini dikenal luas dan tetap dipertahankan hingga sekarang. Masyarakat NTT termasuk Timor sejak lama mengandalkan jagung sebagai bahan pangan utamanya, meski belakangan mulai tergusur oleh beras. Namun bagi masyarakat terutama pedesaan, jagung tidak sekadar bahan pangan. Tanaman semusim itu diyakini sebagai tanaman yang memiliki “roh” hingga budidayanya selalu disertai ritual ksusus seperti hamis.

Masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran selalu bersyukur akan hasil panen yang diterima, ini ditandai dengan hamis yang mereka lakukan setiap tahunnya. Menurut mama Brigita Abu, seorang guru SD dari suku Suhi, sewaktu masa kecilnya pernah terjadi kekeringan yang berkepanjangan sehingga tidak ada jagung yang bisa dipakai untuk ritual. Namun ritual hamis tetap dilaksanakan dengan menggunakan sirih pinang sebagai penggantinya.

2.6.3 Tunu Ba Mata  Bian (Penyembelihan darah kurban hewan pada kakuluk atau tiang agung di rumah adat beruba ayam atau babi kepada para leluhur)

Upacara Tunu Ba Mata Bian merupakan salah satu kearifan budaya dan merupakan harta yang ditinggalkan oleh leluhur kepada generasi penerusnya. Masyarakat anggota suku percaya bahwa dengan menjalankan ritual adat ini maka mereka dapat perlindungan dari para leluhur berupa matak malirin (berkat dan perlindungan). Tindakan Tunu Ba Mata Bian biasanya dilakukan oleh Kepala Suku dan dihadiri oleh semua anggota suku dan bisa juga hanya dihadiri oleh salah satu anggota keluarga bersama Be Fukun dan Ferek Fukun. Tindakan tunu ini dengan intense dasarnya adalah untuk memohon agar diberikan kesehatan, semangat dalam kerja, memohon izin untuk merantau, dan permohonan yang lainnya. Makna kurban ayam dan babi adalah membawa keselamatan bagi mereka yang memiliki keyakinan akan peran para leluhur di dalam keseharian hidup  mereka.
Upacara Tunu Ba Mata Bian melalui tahapan sebagai berikut:
Ø  Halo mama, sarana yang dibutuhkan adalah fuik (daun sirih) no bua (buah pinang) yang ditaruh di kabir (tempat sirih pinang). Daun sirih itu dipilih dan dilihat tulang daunnya harus saling berhubungan dari sisi kiri dan kanan dan dipilih 7 lembar daun sirih serta pinang yang sudah kering dan cara belahnya dalam bentuk lingkaran. Hal ini menandaskan tentang pentingnya kesakralan dalam penghormatan kepada para leluhur.
Ø  Penyembelihan darah kurban hewan pada kakuluk (tiang agung) dan sebagian darah lainnya dialiri pada sirih pinang yang telah dipilih dan setelah itu menunggu sampai hewan kurban mati.
Ø  Melihat usus ayam untuk mengetahui apakah para leluhur menyetujui tindakan Tunu Ba Mata Bian ini. Untuk hewan kurban berupa manu (ayam), ususnya akan dikeluarkan melalui anusnya secara perlahan-lahan untuk mendeteksinya. Sedangkan hewan kurban lainnya beruba babi maka akan dilihat pada hatinya.
Ø  Setelah itu dilanjutkan dengan prose tein etu no naan (memasak nasi dan daging). Untuk daging proses mengolahnya tidak diraciki dengan bumbu-bumbu dapur. Daging-daging hewan kurban yang telah dipotong menjadi beberapa bagian langsung dicuci dan dimasukan ke dalam periuk yang sudah ada airnya.
Ø  Ketika proses memasak telah selesai, dilanjutkan dengan persembahan etu no naan (nasi dan daging) kepada para leluhur dengan menaruhnya pada sebuah bikan (piring).
Ø  Selanjutnya proses makan bersama
Ø  Penerimaan sirih pinang pemali dan langsung dimakan dan tidak boleh membuang air liur keluar.

Masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran sangat mencintai alam sekitarnya dan sangat menghormati adat istiadat yang sudah ada sejak turun temurun. Selain itu masyarakat juga sangat menghormati maromak dan para leluhur. Untuk mendapatkan perlindungan, masyarakat percaya bahwa mereka harus meminta perlindungan dari roh para leluhur. Roh para leluhur akan memberikan perlindungan kepada keluarga yang mendiami sebuah rumah baik di perkampungan Kateri maupun di tanah rantau.

2.7 Ksadan Yang Dimiliki oleh Suku Ta’e Hutun Kaweran dan Juga Suku Be Tema
Ksadan (bahasa Tetum) adalah sebuah bangunan megalitik yang menandakan tata cara dalam kebiasaan pada masa prasejarah dan hingga kini dianggap sebagai tempat yang sakral atau keramat karena mengandung nilai historis dari suatu suku di wilayah Kabupaten Belu dan Malaka. Ksadan adalah bangunan Kuno yang merupakan peninggalan purbakala. Ksadan menjadi media yang membuktikan realitas kehidupan manusia pada masa lalu melalui kajian-kajian arkeologis karena ksadan sebagai sebuah tempat jejak-jejak kehidupan manusia pada masa silam.

Sebagai situs arkeologi nasional, bangunan Ksadan secara esensial maupun eksistensial telah menunjukkan warisan ilmu pengetahuan-budaya arkeologis. Bangunan Ksadan dan aktivitas manusia di dalamnya telah melewati enam (6) zaman-zaman budaya (Bdk. Edi Sedyawati: 2007, PP.290-292). Keenam zaman-zaman budaya itu ialah:[5]

Pertama, zaman prasejarah awal. Zaman ini ditandai dengan kehidupan nomaden atau hidup berpindah-pindah. Penghidupan masyarakat dilakukan lewat meramu, mencari ikan, mencari kerang di pantai dan berburu di hutan. Masyarakat belum hidup menetap dan berkelompok. Istilah arkeologisnya disebut Paleo dan Meso-lithik. Penggunaan batu, kayu dan tulang sebagai peralatan hidup menjadi yang utama. Zaman batu ini terlihat dalam substansi bangunan Ksadan yang hampir 100% terdiri atas batu, hal mana menunjukkan kesan bahwa pembuatan Ksadan masih melekat pada masa prasejarah awal begitu kentara. Tempat tinggal manusia masa prasejarah adalah pada gua-gua batu dengan makanannya adalah hewan buruan dan ikan, dedaunan dan buah-buahan di hutan.

Kedua, zaman prasejarah akhir. Zaman ini terdiri 2 babakan yakni Neolithik dan Perunggu Besi. Pada masa ini manusia mulai hidup menetap dan bercocok tanam. Pada masa perunggu besi ini, manusia mulai mengenal pembuatan alat-alat logam serta mulainya pengelompokkan masyarakat berdasarkan pada keahlian khusus. Menhir pada bagian dalam bangunan Ksadan dan bahan-bahan persembahan pada Dewata yang mulai beragam menunjukkan bahwa manusia pada zaman ini mulai beradab. Mereka telah mengenal ritus dan upacara-upacara religi teristimewa kepada leluhur dan pemimpin suku yang terkenal.

Ketiga, zaman Hindu-Budha. Zaman ini terlaksana melalui penaklukan kelompok-kelompok intern suku-suku teristimewa oleh penguasaan atas kekuasan Timor oleh kebudayaan Hindu dan Budha dari kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pada masa ini kebudayaan tarian, nyanyian, pantun,  seperti lakmerin, tebe, likurai dan bidu mulai menonjol dalam setiap kali hajatan di situs Ksadan atau dalam pesta suku dan keluarga. Juga terdapat adanya seni pertunjukan musik dan kaidah-kaidah estetik, norma-norma adat, moral serta hukum bertumbuh pada masa ini. Selain itu seni anyaman dari daun lontar dan daun pandan hutan dan pembuatan gerabah dari tanah liat mulai dikembangkan pada masa ini.
Konon dulu di wilayah Belu dan Malaka ditemukan banyak deretan lelubang tanah yang diduga merupakan bekas tambang tanah liat untuk keperluan pembuatan barang keperluan kebutuhan peralatan dapur, seperti periuk tanah, kumbang air minum dari tanah liat. Dalam hal ini para pelaku ritus bukan hanya para penikmat seni namun juga pelaku seni tradisional. Stratifikasi sosial masyarakat juga terbentuk secara rapih, dan hal itu terekam dalam pembagian tugas di Ksadan. Singkatnya pada masa ini, kaidah-kaidah estetis manusia bertumbuh pesat pada pengaruh kekuasaan Hindu dan Budha atas Timor, khususnya tetum ini.

Keempat, zaman Islam. Dalam periode ini dikatakan bahwa kebudayaan Timor mendapat pengaruh signifikant dari budaya muslim melalui para pedagang asal kerajaan Ternate (Ardhana:2007). Kerajaan Ternate dalam sejarahnya dikatakan pernah menguasai Timor. Pada masa ini mulai dilaksanakan adanya perdagangan-perdagangan di pesisir pantai yang disebut: Papalele. Pengaruh muslim terpampang di atas warisan budaya zaman prasejarah awal, zaman prasejarah akhir dan zaman Hindu dan Budha, hal mana sangat kuat seperti yang terjadi pada masyarakat muslim-Jawa yang mengakarkan iman muslimnya pada 3 warisan budaya masa lampau yakni masa prasejarah awal, masa prasejarah akhir serta masa Hindu dan Budha.
Pengaruh Muslim atas bangunan Ksadan sedikit terasa. Sedikit terdeteksi pada adanya ritus adat sunatan tradisional Belu. Namun masih tetap dipertanyakan: Apakah ritus adat sunatan tradisional Belu berasal dari periode masa Islam di Belu, masih perlu penyelidikan secara lebih intensif. Sesuatu yang pasti bahwa pengaruh muslim atas Timor, khususnya kerajaan Ternate secara esensial dihentikan oleh penaklukan kaum kolonial yakni Portugis, Belanda dan Inggris yang membawa serta agama Kristen.

Penyebaran agama oleh kolonial Belanda lebih kepada agama kristen Protestan sedangkan Portugis pada agama kristen Katolik. Setelah para pedagang dan penakluk muslim dikalahkan kolonial Portugis, Belanda dan Inggris maka dimulailah kekuasaan kaum kolonial atas Belu.

Kelima, zaman kolonial. Selain pemerintahan, kegiatan kaum kolonial lebih banyak terkonsentrasi pada penyebaran agama khususnya agama kristen Katolik dan pembabtisan raja-raja ke dalam lingkup teritorial kaum kolonialis itu di wilayah Belu. Pada abad-abad awal penyebaran agama kristen, paham kekristenan pada zaman Eropa abad pertengahan masih ikut mewarnai paham kekristenan itu. Pada abad pertengahan di Eropa, kekuasaan paderi Katolik dan biarawatan/i Katolik serta kemudian para pendeta Kristen Protestan  sangat kuat di dalam masyarakat, jauh lebih kuat dari pengaruh kekuasaan dan aktivitas pemerintahan negara.

Kolonialisme di Indonesia terjadi karena kedatangan Portugis, Belanda dan pada waktu yang singkat Inggris. Demi tujuan ekonomis, akhirnya kaum kolonialis menguasai Belu-Indonesia dari segi militer dan politik. Diperkenalkan gagasan baru seperti prinsip keilmiahan, sistem pendidikan formal, nyanyian ber-not, alat-alat musik, bentuk-bentuk kesenian Eropa. Maka bangunan Ksadan dan manusianya pun mengalami perubahan signifikant dalam ketertekanan oleh bangsa Eropa. Mata uang Gulden, mata uang Portugal, tenunan sutera dari orang China yang merupakan perpanjangan tangan bangsa kolonial menjadi nampak. Aktivitas perdagangan di sekitar Ksadan juga sangat terasa.

Peran sentral raja-raja sebagai penguasa kolonial makin kuat juga. Sistem feodal merajalela. Rakyat Ksadan tertekan keras. Selama masa ini jarang dilakukan upacara di Ksadan akibat dilarang penjajah, terlebih karena dianggap berbau kafir. Namun akhirnya penguasa kolonial juga tak mampu mengurusi dan campur tangan dalam aktivitas di dalamnya. Dalam arti tertentu penjajah melarang ritus adat di bangunan Ksadan, namun dalam arti lain mereka ingin mengambil untung dari kehadiran adat istiadat Ksadan demi kepentingan imperialisme mereka.

Penyebaran agama Katolik yang berbarengan dengan imperialisme itu dalam arti tertentu telah dianggap sebagai alat ampuh dalam penjajahan Eropa atas wilayah Belu. Pada masa kolonialisme, kolaborasi pemimpin agama  dengan penguasa lokal (para raja) telah menunjukkan tampilan pemimpin agama dalam masa kolonial sebagai penguasa masyarakat, seperti yang juga terjadi di Eropa dalam masa abad pertengahan. Pendidikan dasar yang tidak seberapapun itu hanya dinikmati kalangan elitis rakyat.

Selain agama melarang acara ritus yang berlebihan di Ksadan karena dianggap berbau kafir, namun di satu sisi agama juga ingin mengambil keuntungan melalui pengakaran agama ke dalam budaya tetum. Alhasil, hingga saat ini, pengaruh Katolik melanjut pada suatu sosok kuat zaman prasejarah awal, prasejarah akhir, zaman Hindu-Budha, zaman Muslim yang dalam banyak hal masih terbawa terus hingga saat ini dalam ekspresi budaya meskipun nampak dari luar bahwa agama Katolik yang terutama dipraktekkan atau dianut secara mayoritas orang tetum. Istilah yang paling terdengar ialah Inkulturasi, di mana agama berusaha berdamai dengan tradisi budaya adat istiadat dalam Ksadan.

Bentuk-bentuk kesenian Eropa yang lebih maju diperkenalkan, juga nyanyian bernotasi, aksara latin, bahasa barat (Belanda), keramik, peralatan rumah tangga dari logam, minuman beralkohol. Tentu masyarakat kalangan penguasa dan ningrat menjadi kalangan yang paling utama diperhatikan setelah itu baru kalangan rakyat jelata. Kolonial Belanda berusaha agar para raja yang diakuinya dapat  mengambil alih peran yang lebih besar atas kekuasaan di Ksadan namun pada saat yang sama telah muncul kekuasaan Volksbestuurder sebagai saingan utama Zelbsbestuurder. Dalam hal ini peran Volksbestuurder lebih terasa di Ksadan.

Keenam, zaman kemerdekaan RI. Pada zaman kemerdekaan RI suasana kebebasan sangat terasa. Pendidikan makin maju dan meningkat dari tahun ke tahun. Zaman kemerdekaan lebih kepada pewarisan zaman kolonial yakni pengambil alihan segala budaya Eropa menjadi bentuk-bentuk baru yang relevan dengan budaya Indonesia sekaligus menjadi lebih bersifat nasional. Mobilisasi dan akultutasi budaya Ksadan meningkat drastis.
Ekspresi seni-budaya tradisional Ksadan menjangkau dunia yang semakin luas yakni dunia nasional Indonesia. Kebudaayaan Ksadan telah menjadi salah satu warisan budaya nasional menunjukkan bahwa Ksadan melintasi batas-batas kesukuan dan menjadi lebih bersifat nasional dan universal.Sebagai perkumpulan masyarakat adat (gemeinschaft), Ksadan menjadi tempat berdialog dan pertemuan menggalang kekuatan dan semangat dalam kehidupan demokrasi, tetapi terlebih merupakan bagian dari tradisi adat istiadat tetum.
Dengan menyimak semuanya itu nampaknya kedudukan acara Ksadan agaknya masih tetap relevan dengan kehidupan zaman kini, karena Ksadan mewakili kekokohan tardisi selama berabad-abad dan telah terbukti bahwa sebagai sebuah aktivitas budaya tradisional, ia membawa manusia menuju kesadaran manusia akan nilai-nilai kehidupan dalam keberadaban dan dalam kualitas manusia Belu yang akan tetap langgeng, seperti juga keberadaan adat istiadat yang akan tetap langgeng. Agaknya tradisi adat istiadat-budaya dalam Ksadan akan tetap kuat bertahan diterpa angin perubahan dalam jangka waktu yang lama menuju ke masa depan. Adapun Ksadan yang dimiliki oleh suku Ta’e Hutun Kaweran Kateri yang letaknya di dekat SMP Negeri Kat antara lain:

a)      Tumpukan batu yang pertama adalah Uma Tuan Ta’e Hutun Kaweran (Rumah pertama suku Ta’e Hutun Kaweran dan Be Tema). Keluarga meyakini bahwa itu sebagai tempat pertama rumah adat Ta’e Hutun Kaweran, berdasarkan factor pembuatan rumah adat biasanya dekat sumber mata air. Tempat ini sangat dekat dengan mata air We Babene
b)      Batu fosil yang telah berumur ratusan tahun. Batu fosil ini adalah kuburan tua Bei Seran Tema dan Bei Iba Lera
Kuburan Bei Seran Tema





Kuburan Bei Iba Lera


c)      Tumpukan batu berbentuk lingkaran sebagai tempat transaksi faen ata (penjualan dan pembelian para budak atau hamba) karena zaman dulu di kateri kekurangan populasi manusia.
Batu tempat menjual para hamba oleh raja (Nain). Doc.Setapak Rai Numbei



.




BAB III
MENIMBANG UPACARA HALIRIN UMA LULIK (RUMAH ADAT) KE DALAM KEBAKTIAN KRISTIANI KATOLIK

3.1 Nilai-nilai Simbolisme Rumah Adat
Menurut Abdul Aziz Said (2004:49) pada semua kebudayaan tradisional, rumah merupakan karya manusia dalam wujud tiga dimensional yang dianggap memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Rumah menciptakan ‘ruang khayal’ di dalam ruang nyata yang dapat dipergunakan, tempat yang membatasi ‘sesuatu’ terhadap dunia sekitarnya dan bertujuan menjadikan manusia sebagai ‘bagian utama’ dari lingkungan sekelilingnya. Lebih lanjut Abdul Aziz Said mengatakan, bahwa bagi masyarakat tradisional, rumah dibangun atau didirikan, dihuni dan dipergunakan oleh manusia, bukan sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang hanya mempertimbangkan segi kegunaan praktis semata seperti untuk tidur, bekerja dan membina keluarga. Bagi mereka, rumah merupakan ungkapan ‘alam khayal’ pikiran dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, dimana alam pikirannya selalu diliputi oleh mitos dan bayangan terhadap sesuatu (dewa-dewi) yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam ini.

 Oleh karena itu, membangun sebuah rumah berarti menciptakan sebuah alam kecil (mikrokosmos) di dalam alam semesta (makrokosmos), sehingga dianggap memulai hidup baru. Hal inilah yang menjadi konsep dasar dalam setiap upaya mendirikan bangunan pada masyarakat tradisional. Rumah tradisional di beberapa daerah (negara) di Asia Tenggara pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya (termasuk juga di Nusa Tenggara Timur) diakui mempunyai banyak signifikansi. Ruang di dalam rumah yang merupakan wadah tiga dimensional, tidak hanya sebagai suatu bagian yang membatasi ruang dengan dunia sekelilingnya secara fisik, tetapi juga dalam arti keberadaanya sebagai ruang merupakan ungkapan simbolik (Said, 2004: 52). Terdapat pengertian yang lebih luas mengenai konsep dan struktur kosmos, seperti strata atau hirarki vertikal mengenai ‘surga’ (dunia atas), dan ‘bumi’(dunia bawah) atau aturan-aturan horisontal yang mengacu pada titik pusat (‘cardinal point’), termasuk juga catatan mengenai lokasi antara gunung dan laut. Kesemuanya itu dirangkum dalam simbolik dan divisualisasikan pada wujud bagian-bagian rumah, yang bertujuan untuk menentukan posisi rumah di lingkungan alamnya. Dengan demikian rumah merupakan suatu miniatur kosmos atau dapat disebut gambaran mengenai mikrokosmos (‘jagad kecil’).

Konsep mikrokosmos dan makrokosmos ini juga ditemui dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan Malaka pada umumnya, dan masyarakat yang mendiami kampung Kateri-Suku Ta’e Hutun Kaweran di Desa Kateri Kecamatan Malaka Tengah Kabupaten Malaka. Rumah-rumah adat atau setiap perkampungan di Malaka mempunyai tatahan yang integral dengan bangunan-bangunan megalitik berupa Aitos yang terdapat di setiap ksadan rumah setempat. Kenyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Beding dan Lestari (2003: 54) bahwa alam nyata tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan alam baka; betapa tergantung dan berhubungan dengan mikrokosmos (‘jagad kecil’) dan makrokosmos atau alam semesta. Penataan atau tata letak rumah-rumah dalam pola pemukiman tradisional di Malaka (termasuk juga di kampong Kateri-Suku Ta’e Hutun Kaweran) yang ditata secara cluster di dalam perkampungan. Gugusan rumah-rumah tinggal biasa yang terdapat dalam pemukiman tradisional perkampungan nampaknya tidak ada ketentuan khusus mengenai perletakannya dalam tata tapaknya, kecuali 3 rumah suku harus dibangun saling berhadapan seperti lalian (tungku api) yakni uma  suku Be Tema, Uma Ta’e Hutun Kaweran dan uma Kakaluk.

Pada umumnya arsitektur rumah adat dan rumah tinggal dalam kehidupan masyarakat budaya Malaka memiliki arti dan makna tertentu, baik secara praktis maupun religius. Para ahli antropologi, sosiologi dan arkeologi mengatakan bahwa arsitektur dan penataan rumah-rumah adat dan rumah tinggal dalam kebudayaan masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur berkaitan erat dengan makna-makna simbolis dan religius. Pembuatan dan pendirian perkampungan maupun rumah adat dan rumah tinggal tersebut selalu dikaitkan dengan harapan dan permohonan yang disampaikan kepada sang pencipta untuk ketentraman, keamanan dan kesejahteraan melalui perantaraan para leluhur mereka. Sebagaimana telah diungkapkan diatas bahwa pada dasarnya rumah-rumah adat dan rumah tinggal ataupun perkembangan tradisional di Malaka (termasuk juga Suku Ta’e Hutun Kaweran yang ada di Desa Kateri) dibangun dengan pertimbangan praktis dan religius.

 Pertimbangan praktis antara lain sebuah pemukiman tradisional (kampung tradisional) sedapat mungkin di bangun relatif dekat sumber air (mata air), karena air memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya. Bahkan bagi masyarakat Malaka, mata air merupakan salah satu unsur yang mendukung keberadaan suatu kampung adat. Karena mata air dalam hal ini merupakan salah satu tempat untuk pelaksanaan upacara adat tertentu. Rumah di bangun berpanggung untuk menghindari binatang yang mencelakakan penghuni rumah, disamping untuk mengantisipasi kelembaban tanah yang membahayakan kesehatan manusia. Selain itu, rumah panggung merupakan suatu penyelesaian masalah yang sangat arif dan bijaksana, mengingat terbatasnya teknologi yang dimiliki serta sebagai manifestasi dari upaya untuk tidak merusak alam. Perpanggungan bangunan dimaksudkan sebagai tempat tambahan akan kesadaran mereka terhadap ruang manusia yang dapat dipergunakan sebagai wadah untuk melakukan aktivitas keseharian. Makna religius dibuktikan dengan adanya Kakaluk Inan dan kakaluk Oan (tiang suci) yang terletak dibagian tengah rumah sebagai pusat orientasi dalam rumah adat (uma lulik), terutama pada saat pelaksanaan upacara-upacara adat. Makna religius juga ditandai oleh benda-benda pusaka milik suku merupakan manifestasi dari makna religius tersebut. Dengan demikian, maka rumah tradisional Malaka (termasuk rumah adat Ta’e Hutun Kaweran) secara vertikal yang berkaitan dengan makna religius tersebut setidaknya terdiri dari tiga bagian yang memiliki nilai perlambangan (simbolik) tertentu. Paling bawah, kolong rumah melambangkan ‘dunia bawah’ atau ‘alam bawah’; bagian tengah rumah sebagai tempat tinggal manusia melambangkan ‘dunia tengah’ atau alam tengah; dan bagian atas rumah (‘Kahak Leten) sebagai tempat para arwah leluhur melambangkan ‘dunia atas’ atau ‘alam atas’. Jadi disini, rumah tidak hanya sekedar sebagai tempat kediaman manusia semata, tetapi merupakan pula tempat kebaktian, tempat pertemuan manusia dengan para dewa dan arwah serta tempat pertemuan manusia dengan Sang Penciptanya (Maromak).

Dalam arsitektur tradisional Malaka, khususnya rumah adat terdapat nilai simbolisme yang cukup penting, yakni tiang-tiang penopang rumah adat tersebut. Rumah adat Ta’e Hutun Kaweran (salah satunya rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran) biasanya ditopang oleh tiang-tiang utama atau tiang agung (Kakaluk inan dan kakaluk oan) dan tiang-tiang penunjang yang umumnya terbuat dari jenis pohon yang sama. Dari segi konsep kepercayaan khususnya tiang utama atau tiang agung (Kakaluk inan dan kakaluk oan) tersebut memiliki nilai perlambang yang erat kaitannya dengan simbol kekuatan, keangungan dan kekuasaan. Sedangkan ditinjau dari pengetahuan mekanika teknik serta logika sederhana menunjukan bahwa tiang-tiang rumah adat yang terbuat dari pohon yang sejenis akan memiliki kekuatan yang sama pula dalam menopang beban-beban bangunan diatasnya. Hal ini sekaligus menunjukan adanya kesadaran terhadap peran atau tugas utama dari tiang utama (Kakaluk inan dan kakaluk oan) tersebut yang menjamin kekokohan bangunanya. Dengan kata lain, tiang-tiang utama disini memegang peranan penting, karena apabila tiang-tiang utama ini runtuh atau patah berarti rumah tersebut akan hancur binasa. Sedangkan tiang-tiang utama dalam wujudnya yang berukir dan berdimensi besar menggambarkan keagungan dan wibawa dari leluhurnya. Sementara penampang tiang yang berbentuk bulat serta pengolahan tiang yang berbentuk sederhana selaras dengan bentuk asli pohonnya mencerminkan suatu upaya yang dimaksudkan untuk mempermudah pembuatan tiang tersebut, mengingat kemampuan teknologi yang dimiliki masih sederhana pula. Jika dilihat dari dalam (interior), khususnya pada tiang utama (Kakaluk ina dan kakaluk oan), terdapat nilai-nilai yang mengadung makna permusyawaratan atau perwakilan nenek moyang (leluhur) yang bersifat suci, simbol pemimpin, berada di tengah-tengah, tempat segala sesuatu urusan disampaikan, penopang, pembela dan penegak keadilan serta kesejahteraan.


3.2 Sakramentali Pemberkatan Rumah

Sakramentali oleh Konsili Vatikan II dirumuskan sebagai “tanda tanda suci”, yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen (SC 60).[6] Sakramentali adalah doa permohonan Gereja, agar Allah memberkati dan menguduskan orang atau benda. Daya guna sakramentali terjadi menurut ex opere operantis (berkat tindakan/karya Gereja yaitu Gereja yang memohon).[7]  Oleh karena itu, sakramentali perlu dipahami dalam kerangka hidup liturgi Gereja, bukan sebagai tindakan lepas, yang mempunyai arti dalam dirinya sendiri.
Sakramentali masuk dalam bidang liturgis karena kaitannya dengan sakramen atau dengan perayaan Gerejawi. Namun, segala macamsakramentali dalam lingkungan keluarga juga harus dihubungkan dengan doa Gereja. Sakramentali tidak mempunyai daya Ilahi dari dirinya sendiri tetapi hanya sejauh merupakan perwujudan sikap doa Gereja. Namun, meskipun sakramentali berbeda dengan sakramen, daya guna keduanya mengalir dari sumber yang sama, yaitu mengalir dari misteri paskah, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus.[8] Perayaan sakramentali adalah suatu perayaan kerinduan akan sakramen dan perayaan yang diarahkan kepada perayaan sakramen.[9]
Melalui sakramentali pemberkatan rumah, Umat Allah menunjukkan kecintaan dan rasa syukurnya kepada Allah Sang Pencipta. Upacara sakramentali pemberkatan rumah ini mendatangkan efek rohani bagi mereka yang tinggal di dalamnya (SC 60)[10] karena dalam upacara sakramentali pemberkatan rumah ini, yang diberkati adalah orang-orang yang tinggal di dalamnya. Maksud utama sakramentali pemberkatan rumah adalah menguduskan umat beriman yang tinggal di dalam rumah itu, dan bukan semata menguduskan rumah itu sendiri. Oleh karena itu, jika sebuah rumah sudah pernah diberkati, namun pemilik yang terdahulu sudah pindah, adalah baik jika pemilik baru mengadakan pemberkatan rumah. Hal ini tidak berarti meragukan efek sakramentali yang sudah pernah diberikan, tetapi memohon agar rahmat sakramentali yang memberikan efek pengudusan itu dapat diberikan kepada orang atau keluarga baru yang tinggal di rumah tersebut. Melalui upacara sakramentali pemberkatan rumah, Allah hadir di tengah keluarga dan hidup di dalam hati orang yang berdiam di dalam rumah tersebut.

3.3  Relevansi Upacara Adat Halirin Uma Lulik Dengan Sakramentali Pemberkatan Rumah

3.3.1 Kesamaan
Upacara adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali pemberkatan rumah sama-sama mengungkapkan rasa syukur dan memohon perlindungan kepada Maromak dan Allah Sang Pencipta atas rejeki dan rahmat yang telah diterima pemilik rumah sehingga rumah tersebut dapat berdiri. Upacara adat Halirin Uma Lulik  dan sakramentali pemberkatan rumah memiliki makna pembersihan, yakni membersihkan rumah dan orang-orang yang tinggal dalam rumah dari hal-hal yang buruk. Upacara adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali pemberkatan rumah merupakan bentuk perhatian umat Allah bagi kehidupan orang-orang yang bernaung di dalam sebuah rumah.

3.3.2 Perbedaan
Meskipun upacara adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali pemberkatan rumah memiliki persamaan, akan tetapi terdapat juga perbedaan antara peristiwa sakramentali pemberkatan rumah dan upacara adat Halirin Uma Lulik.
Perbedaan upacara adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali pemberkatan rumah yakni,

            pertama, upacara adat Halirin Uma Lulik merupakan salah satu adat istiadat dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran. Upacara ini dilaksakan secara turun temurun oleh nenek moyang dari masyarakat suku tersebut. Sedangkan sakramentali pemberkatan rumah adalah salah satu bentuk doa permohonan Gereja agar Allah menguduskan rumah tersebut, sehingga orang atau keluarga yang berdiam di dalam rumah itu merasakan kehadiran Allah di tengah-tengah mereka. Upacara adat Halirin Uma Lulik adalah upacara adat yang hanya dilakukan oleh masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran, sedangkan sakramentali pemberkatan rumah bersifat universal, artinya sakramentali pemberkatan rumah dapat dilaksanakan atau dirayakan oleh Gereja di seluruh dunia.

Kedua, perbedaan lain adalah upacara adat halirin uma lulik memiliki kekuatan magis yang dipercaya oleh masyarakat setempat, sedangkan 244 JURNAL SEPAKAT Vol. 2, No. 2, Juni 2016 sakramentali pemberkatan rumah merupakan tanggapan atas iman yang dimiliki oleh umat Allah yang bersyukur atas tempat tinggal yang boleh  diberikan Allah kepadanya.

Ketiga, pelayan upacara dan tata cara pelaksanaannya. Pelayan upacara dalam halirin uma lulik adalah Bei Fukun (Kepala Suku). Tata cara pelaksanaan upacara adat halirin uma lulik harus dimulai pada sore hari sekitar pukul 15.00 WITA. Pelayan upacara sakramentali pemberkatan rumah tidak harus seorang klerus atau orang yang telah menerima tahbisan. Awam juga dapat menjadi pelayan dalam upacara sakramentali pemberkatan rumah ini karena awam memiliki imamat umum yang diperoleh dalam sakramen pembaptisan dan penguatan atau krisma.[11]

Keempat, Tata pelaksanaan sakramentali pemberkatan rumah tidak terikat oleh waktu. Sakramentali pemberkatan rumah dapat dilaksanakan kapan saja, tergantung kesepakatan orang atau keluarga yang mendiami rumah dengan pelayan upacara sakramentali.
Upacara adat halirin uma lulik merupakan salah satu warisan nenek moyang suku Ta’e Hutun Kaweran. Melalui upacara adat halirin uma lulik, masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran mengungkapkan rasa syukur atas berdirinya sebuah rumah dan memohon perlindungan kepada maromak dan para leluhur atau Sang Pencipta. Masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran  masih melaksanakan upacara adat halirin uma lulik meskipun sudah memiliki agama. Agama bukanlah menjadi penghalang bagi masyarakat untuk terus melaksanakan upacara adat halirin uma lulik.


3.4 Pertimbangan untuk Inkulturasi Iman Gereja dalam Konteks Ritus Halirin Uma Lulik Suku Ta’e Hutun Kaweran

Dalam upaya inkulturasi iman Gereja dalam konteks budaya setempat,ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yakni
pertama, manusia sebagai makhluk rohani merupakan benang merah yang mempertemukan
agama dan kebudayaan sebagai dua hal yang tidak bertentangan. Keadaan tanpa pertentangan ini terjalin karena antara upacara adat halirin uma lulik dan ritus sakramentali pemberkatan rumah sama-sama mengungkapkan sisi rohani manusia yang mengarahkan diri pada realitas meta-empirik.
Kedua, upaya kontekstualisasi ini memiliki dasarnya pada pribadi Allah yang terlebih dahulu mengkontekstualisasikan dirinya melalui peristiwa inkarnasi. Dalam peristiwa inkarnasi tersebut Allah berupaya menyesuaikan diri-Nya dengan peristiwa dan sejarah hidup manusia. Oleh karena itu, ketika manusia berupaya menyesuaikan ajaran iman dengan tata cara kebudayaan setempat maka sama halnya dengan berpartisipasi dalam karya Allah.
Ketiga, keikutsertaan atau keterlibatan umat dalam tata peribadatan merupakan unsur penting dalam menghayati iman kepercayaan. Masyarakat Ta’e Hutun Kaweran dibimbing untuk memahami bahwa sakramentali pemberkatan rumah memiliki makna sebagaimana upacara
adat halirin uma lulik. Oleh karena itu, sakramentali pemberkatan rumah pun perlu dihayati karena maknanya membawa orang pada keselamatan dan perlindungan.
Pengalaman religius dimulai dengan kesadaran manusia sebagai makhluk yang mengakui Allah sebagai dasar dan sumber hidupnya.[12]Maka, sebagai orang beriman dan beragama, khususnya beragama Katolik, pengalaman religius tersebut harus terus ditumbuhkan dengan mengakui Allah sebagai “Pemberi Hidup” dan mensyukuri segala berkat yang telah diberikan Allah kepada manusia. Selain itu, Allah juga sebagai tempat manusia untuk mengadu dan meminta. Banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk menunjukkan pengakuan dan rasa syukurnya atas segala pemberian Allah. Salah satunya adalah upacara sakramentali pemberkatan rumah. Sakramentali pemberkatan rumah merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur karena Allah berkenan memberikan tempat tinggal bagi umatnya. Dalam sakramentali pemberkatan rumah, umat juga meminta
perlindungan kepada Allah sehingga orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut merasa aman, damai dan terlindungi.

Selain menjalankan sakramentali pemberkatan rumah, umat Katolik Suku Ta’e Hutun Kaweran juga melakukan upacara halirin uma lulik adalah salah satu upacara adat ungkapan penuh syukur dan mohon perlindungan dari Maromak dan para lelubur untuk rumah baru dan orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut. Mencintai dan menghargai kebudayaan yang merupakan warisan leluhur adalah baik. Karena itu, Gereja dapat menginkulturasikan halirin uma lulik  ke dalam kebaktian Kristiani agar Gereja senantiasa bersatu dan terus menyuarakan Injil dalam kehidupan sehari-hari.Gereja harus berupaya sedemikian rupa agar agama dan budaya dapat berjalan beriringan. Untuk memenuhi tuntutan tersebut, maka para pekerja pastoral harus memiliki kreativias dalam melaksanakan tugas dan
pewartaannya.

3.5 Gereja Melestarikan Budaya

Gereja purba dulunya kurang peduli dengan budaya-budaya yang terdapat di dalam masyarakat. Karena Gereja purba menganggap bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh di dalam Gereja. Anggapan ini mau menegaskan bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja, kita bisa selamat jika masuk di dalam Gereja itu sendiri. Namun setelah adanya Konsili Vatikan II, jendela-jendela dibuka dan keterbukaan Gereja terhadap dunia mengakibatkan suatu tugas perutusan yang berat bagi Gereja sendiri untuk mewartakan kerajaan Allah. untuk mewartakan kerajaan Allah itu, bukan hanya ditujukan pada anggota Gereja, melainkan ditujukan kepada seluruh umat manusia. Gereja sadar bahwa keselamatan itu bukan hanya didapat di dalam Gereja saja, tetapi di luar Gerejapun masih ada keselamatan. Gereja juga mulai memperbaharui cara pewartaannya, dengan cara terbuka terhadap budaya-budaya yang ada di dunia ini. Keterbukaan Gereja terhadap budaya berdampak positif serta menjalin relasi yang baik antara budaya dan Gereja. Relasi antara Gereja dan budaya ini mau mewujudkan suatu keserasian berbagai nilai pola-pola kebudayaan.[13] Dalam hal ini Gereja mengarahkan kebudayaan nilai-nilai reigius serta nilai-nilai keseniannya terus berkembang di dalam dunia modern saat ini. Banyak ragam cara Gereja melestarikan budaya yang ada, seperti nilai-nilai kereligiusan dan nilai keseniannya.  Bukan hanya mengarahkan kebudayaan untuk terus berkembang, tetapi Gereja juga menyampaikan suatu pewartaan atau kabar baik bagi semua orang lewat nilai-nilai budaya yang ada.

Untuk menyampaikan kabar gembira lewat pewartaan serta lewat budaya, Gereja menggunakan istilah inkulturasi. Dalam surat apostolik Catechesi tradendae Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa katekese mempunyai dimensi inkarnasi. Katekis yang baik mengetahui kalau katekese mendapat bentuk nyata (menjadi daging) dalam berbagai budaya dan situasi. Seperti lewat inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia demikian pula lewat inkulturasi katekese sebagai satu bentuk pewartaan Injil, mendapat ekspresi budaya. Katekese mesti membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Menurut Paus Yohanes Paulus II, inkulturasi adalah inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja. Dengan kata lain Beliau mendefinisikan inkulturasi sebagai transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang berbeda-beda. Maka ada gerak ganda dalam inkulturasi yaitu lewat inkulturasi Gereja membuat Injil menjelma dalam aneka kebudayaan, dan sekaligus memasukkan para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam persekutuan Gereja sendiri. Nampak jelas bahwa Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya asli dan integrasinya ke dalam kristianitas yang memungkinkan penjelmaan Injil dalam budaya setempat sehingga kekristenan sungguh berakar di dalam budaya asli para penganut iman kristiani.[14]

Paus Yohanes Paulus II membuka Gereja untuk masuk ke dalam budaya-budaya supaya Gereja mampu mewartakan kabar baik itu lewat kebudayaan yang ada. Lewat inkulturasi ini tampak jelas bahwa Gereja mau membangun iman umat dengan nilai-nilai budaya yang ada dan juga Gereja ingin mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya tersebut. Bukan hanya mengembangkan nilai kebudayaan yang ada namun Gereja juga mau mewartatakan injil Yesus Kristus lewat kebudayaan. Gereja mau menanamkan nilai kereligiusan itu ke dalam budaya-budaya, dan Gereja tidak sama sekali meninggalkan budaya yang ada di dalam masyarakat melainkan menyempurnakan kebudayaan sesuai dengan inkarnasi Yesus Kristus.

Hipolitus (2010:35-36) menyatakan bahwa evangelisasi mau tidak mau harus berurusan dengan manusia. Demikian juga evangelisasi mau tidak mau harus berkaitan dengan kebudayaan. Meskipun demikian, evangelisasi sendiri tidak identik dengan kebudayaan. Bagiamanpun juga isi dari evangelisasi adalah Kerajaan Allah, yang disampaikan dan dihayati oleh manusia-manusia yang secara sangat mendalam terikat pada suatu kebudayaan. Pembangunan Kerajaan Allah harus meminjam unsur-unsur dari kebudayaan manusia (lih. EN 20). Oleh karena itu, sekalipun tidak tergantung pada kebudayaan, evangelisasi sendiri tidak harus bertentangan dengan kebudayaan. Sangat diharapkan bahwa evangelisasi memandang luhur kebudayaan yang ada dan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi tunduk terhadapnya.

Pada hakikatnya Gereja dan kebudayaan berhubungan sangat erat karena dengan adanya nilai-nilai kebudayaan maka niali-nilai Injil itu juga dapat diwartakan. Hubungan Gereja dan kebudayaan sesungguhnya bertolak pada bagaimana memahami gereja atau Kristus dan kebudayaan. Hubungan ini berlangsung dengan beranekaragam kepercayaan, sehingga pemahaman itu tergantung sejauh mana seseorang memahami apa itu Gereja dan apa itu kebudayaan. Dengan adanya kebudayaan Gereja hadir sebagai ragi dan penerang bagi mereka yang belum mengenal Kristus. Dan dengan suatu kepercayaan seseorang terhadap Allah sebagai pencipta maka dalam perwujudnyataannya terhadap alam semesta akan seturut kehendak Allah. Tidak bertindak sewenang-wenangnya tehadap alam yang ada sehingga sungguh-sungguh mewujudkan nilai-nilai Injil. Dan apa yang dihendaki Allah dapat terlaksana dengan baik.

Pelestarian budaya oleh Gereja disambut baik bagi umat, sebab Gereja mau berinkulturasi dengan budaya setempat, contoh dalam perayaan liturgi. Dalam perayaan liturgi Gereja memberikan kesempatan budaya yang ada untuk ikut terlibat dalam hal merayakan perayaan liturgi dan ekaristi, misalnya: mengadakan perarakan/mengantarkan persembahan yang di iringi oleh tari-tarian dan musik khas budaya setempat dan adanya misa yang menggunakan bahasa khas dari budaya setempat. Dalam hal ini saya mau memaparkan keikutsertaan budaya dayak di dalam perayaan liturgi / ekaristi. Keikutsertaan budaya dayak dalam perayaan liturgi / ekaristi sering dilakukan seperti perarakan imam dan perarakan persembahan. Hal seperti ini sering dilakukan di kampung / stasi ketika imam datang untuk turnei di stasi tersebut. Sebelum misa imam diiringi oleh perarakan tari-tarian khas dayak. Selanjutnya ketika persembahan, ada juga perarakan tari-tarian untuk menghantar persembahan umat. Dalam tari-tarian itu kita bisa menyaksikan kesenian budaya masyarakat kabupaten Malaka yang indah serta dapat mengikuti misa dengan baik dan merasakan adanya nilai budaya yang masuk dalam perayaan liturgi / ekaristi tersebut.








BAB IV
SILSILAH KETURUNAN ANGGOTA SUKU TA’E HUTUN KWERAN

4.1 ASAL USUL NENEK MOYANG ORANG MALAKA DAN BELU
            ` Menurut pandangan-pandangan antopolog modern : Timor serta pulau-pulaunya adalah suatu daerah peralihan di mana bertemu dan saling pengaruh antara komponen ras Melayu Indonesia denganras Melanesia (in sensu lago). Agaknya suku marae dan kemak menunjukkan elmen Melanesia yang lebih tua, dari pada suku Belu dan Sabu Rote yang baru masuk kemudian di Timor. Suku Belu dan Rote nyatanya memiliki tempat tinggi yang paling tampan, ditanah rata sepanjang pantai dan terus ke pedalaman, namun di sepanjang lembah sungai lalu sepanjang jalan. Antropolog-antropolog sependapat bahwa unsur Melanesia nampak sangat kuat pada penduduk asli Timor: suku Atoni di Dawan (orang pegunungan yang jumlahnya kira-kira 300.000 penduduk mendiami daerah-daerah pegunungan Timor Indonesia. Tokoh badan mereka agak berlainan dengan tetangga-tetangganya: suku Belu-Sabu-Rote dan Kemak Marae. Mereka agak pendek dengan bentuk tengkorak Brachichepel (tengkorak pendek) dengan warna kulitnya coklat kehitam-hitaman, rambutnya keriting, sangat mirip orang-orang papua. (cf. ormeling, F.J. Dr. The Timor problem, 1957 hal. 66-67).

Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah Malaka, bahwa sebelum orang Malaka menghuni Daerah Malaka maka sebelumnya ada sebuah suku yang terlebih dahulu mendiami wilayah Kab. Belu Umumnya adalah "Suku Melus". Orang Melus di kenal dengan sebutan "Emafatuk oan ai oan", (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain suku melus yang menghuni daerah tersebut, berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang penulis ketahui bahwa Orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka" yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya. Namun berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu yang sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa disisi lain terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.

Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah berlainan. Dari makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain.

Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain” di Malaka. Bahakan menurut para peneliti asing ”Liurai Nain” kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.

Menurut para sejarahwan Tanah Malaka disebarluaskan menjadi Belu bagian Selatan. Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu, khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.[15]


4.2 SITUASI DAN KONDISI KEHIDUPAN MASYARAKAT MALAKA TEMPO DULU
Daerah kabupaten Malaka pada umumnya terdiri atas daratan bukit dan pegunungan serta hutan. Daerah Malaka tergolong daerah yang curah hujannya sedikit yang secara tidak langsung iklim tersebut mempengaruhi pola hidup dan watak keseharian masyarakat Malaka.

           Tempat tinggal orang-orang Malaka dahulunya banyak berada di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh semak berduri dan batu karang yang tidak mudah didatangi orang dan hidup secara berkelompok, dengan maksud untuk menjaga keamanan dari gangguan orang luar maupun binatang buas. Rumah asli penduduk Malaka bernama Uma lulik, yaitu rumah yang berbentuk seperti kapal terbalik dan ada yang seperti gunung. Atapnya menjulur ke bawah hampir menyentuh tanah. Dinding rumah terbuat dari Pelepah Gewang, biasa disebut Bebak namun sekarang menggunakan papan dari kayu jati, tiang-tiangnya terbuat dari kayu-kayu balok, sedang atapnya dari daun gewang. Di bagian dalam rumah dibagi menjadi dua ruangan yaitu bagian luar diberi nama labis molin, untuk ruang tamu, tempat tidur tamu , dan tempat anak-anak laki-laki dewasa .Pada bagian dalam disebut labis laran yaitu tempat untuk tidur keluarga dan tempat makan . Sebelum pengaruh agama masuk ke daerah ini masyarakat di sini sudah mempunyai kepercayaan kepada Sang Pencipta, Sang Pengatur, yang biasa mereka sebut dengan Maromak, Dewa Bumi. Banyak ragam upacara dan sesaji yang ditujukkan kepada dewa-dewa tersebut untuk meminta berkah kesuburan tanah, hasil panen dan lain-lain. Salah satu contoh adalah upacara Hamis Batar no Hatama Mamaik suatu upacara sebagai tanda rasa syukur dimulainya musim petik jagung. Tindakan ini yang biasa dilakukan anggota Suku Tae Hutun Kweran setiap tahunnya.

4.3 GENERASI AWAL ANGGOTA SUKU TA’E HUTUN KWERAN-KATERI

Penutur adat Kabupaten Belu, yang dijuluki gelar Mako’an, menuturkan bahwa konon Pulau Timor ini belum muncul ke permukaan. Semua masih ditutupi air. Dan kita bisa membayangkan itu dengan jaman es (atau Jaman Glasial) yang terjadi sekitar 500 atau 600 ribu tahun silam. Dalam dunia ilmu pengetahuan, Jaman Glasial merupakan bagian dari Masa Neozoikum, khususnya Periode Pleitosen (Dilluvium) … yang ditandai pula dengan munculnya manusia raksasa (bdk. Science Daily, 27 Mei 2010)

Konon, seluruh permukaan bumi tertutup air, termasuk di Timor. Namun pada suatu ketika, di Timor, muncullah sebuah titik, yang ternyata itu adalah puncak tertinggi dari keseluruhan Pulau Timor kelak. Titik kecil itu muncul dan bersinar sendiri! Orang di generasi sesudahnya menggambarkan kembali titik bumi yang muncul itu dengan sapaan adat: Fo’in Nu’u Manu Matan, Foin Nu’u Bua Klau. Foin Nu’u Etu Kumun, Foin Nu’u Murak Husar. Baru Seperti Biji Mata Ayam, Baru Seperti Potongan Sebelah Buah Pinang, Baru Sebesar Gumpalan Nasi Di Tangan, Baru Sebesar Pusar Mata Uang. Dan titik kecil itulah yang kelak dikenal dengan Gunung Lakaan sekarang, sebagai puncak tertinggi di Kabupaten Belu! Oleh karenanya, tidaklah heran kalau Orang Belu menjuluki puncak itu dengan nama Foho Laka An, Manu Aman Laka An, Sa Mane Mesak, Baudinik Mesak. Gunung Yang Memiliki Cahaya Sendiri, Ayam Jantan Merah Bercahaya Sendiri, Seperti Lelaki Tunggal, Seperti Bintang Tunggal.

Adapun cerita sejarah awal mula keringnya pulau timor berdasarkan versi tokoh adat Opa Simon Petrus Seran[16] selaku tokoh adat yang mengetahui sejarah perkampungan kateri. Menurut versi beliau keringnya pulau Timor berawal dari Marlilu-Kateri. Konon ada seorang putrid raja yang merupakan titisan dewa turun dari langit yang tidak diketahui namanya turun di tempat ini  melalui labadain kaban no laliran kaban. Putri raja ini datang dengan sendirinya (Tetum: nataduan duuk). Adapun sajak bahasa tetum yang menggambarkan tentang jati dirinya yakni: “Sama niit ai na tun kotu la kotu, tobo rik ai na tun sit la sit, nola hali badalele (menginjak dan menjinjit kaki diturubkan tapi tidak putus, injak berdiri dengan kaki diturunkan putus tidak putus melewati pohon beringin yang bernama badalele). Di tempat inilah ia meneruskan keturunannya di tempat ini dengan melahirkan seorang putri cantik jelita yang husar nalik ba hali badalele (tali pusatnya melilit di pohon beringin badalele). Dari putri yang dilahirkan inilah berkembanglah manusia di wilayah kerajaan Liurai We Hali.

Tentang nama Kateri sebagai sebuah kampung, dulunya dikenal sebagai Loro Inan Bakiruk.  Karena dulu di perkampungan kateri sering Teri Ata no Nain (tempat persinggahan raja Liurai dan para hambanya) maka nama itu berubah menjadi Kateri. Adapun ceritanya yakni karena tere hola Nain Bria, Nain Tur Iha Kamanasa maka nama itupun berubah menjadi Kateri.[17] Konsep perubahan nama "Kateri" berdasarkan kronologis peristiwa masa lampau.

Berpatokan pada sejarah asal usul nenek moyang, adapun keyakinan anggota Suku Ta’e Hutun Kaweran tentang leluhur pertama mereka di perkampungan Kateri yakni Be Tuan (Kakek/Buyut) yang bernama Be Seran Tema. Sejarah atau riwayat hidup dari Be Seran Tema berdasarkan tuturan adat lisan ia merupakan seorang meo atau ksatria yang mempunyai karisma dalam hal futu manu (sabung ayam). Setiap kali ada sabung ayam, manu aman (ayam jago) yang dibawanya selalu menang bahkan ia mampu mengalahkan para raja dalam hal sabung ayam. Hasil dari perjudian ini ia mampu mengambil semua harta kekayaan raja bahkan para hamba dan istri raja pun ia bawa serta kembali ke rumahnya.

Adu Ayam Jago atau biasa disebut sabung ayam merupakan permainan yang telah dilakukan masyarakat di kepulauan Nusantara sejak dahulu kala. Permainan ini merupakan perkelahian ayam jago yang memiliki taji dan terkadang taji ayam jago ditambahkan serta terbuat dari logam yang runcing. Permainan Sabung Ayam di Nusantara ternyata tidak hanya sebuah permainan hiburan semata bagi masyarakat, tetapi merupakan sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun politik Rupanya sabung ayam pada dahulu kala di Nusantara bukan hanya sebuah permainan rakyat semata tetapi telah menjadi budaya politik yang mempengaruhi perkembangan sebuah dinasti kerajaan.

Berawal dari kemenangan Be Seran Tema atas raja dalam hal sabung ayam inilah, maka raja memiliki dendam pribadi untuk membunuhnya. Atas provokasi raja, maka para raja bersama para hambanya melakuksan serangan pembunuhan untuk dia. Be Seran Tema meninggal dengan lehernya terputus. Berdasarkan cerita yang diwariskan turun temurun, waktu itu meninggalnya Be Seran Tema, jasadnya hanyalah badannya saja sedangkan kepalanya tidak kelihatan. Saudari-saudari dari Be Seran Tema yakni Iba Lera, Ade Lera, Luruk Lera berusaha mencari Kepala beliau namun tidak menemukannya. Dengan bantuan anjing peliharaan Be Seran Tema yang bernama Fini maka kepala beliau dibawa pulang ke rumah.

Kepintaran anjing peliharaan ini membuat saudari-saudari terpesona dan takjub maka dengan spontanitas membuat semacam janji adat sebagai penghargaan jasa dari si anjing ini maka mereka bersumpah bahwa “mulai saat ini sampai turunan kami selanjutnya akan luli ha naan asu (pemali makan daging anjing). Dengan sumpah inilah maka masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran dan Be Tema pada umumnya tidak memakan daging anjing hingga sekarang. Inilah salah satu budaya totem[18] yang dimiliki oleh masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran dan juga suku Be Tema. Adapun versi lain yang melandasi semua anggota suku haram memakan daging anjing karena nenek moyang mereka dibesarkan oleh seekor anjing (Bdk. Hasil wawancara tokoh adat Opa Simo Petrus Seran yang biasa dikenal Be Rai) . Dari dua versi cerita totem ini, tidak melunturkan diri mereka untuk memakan daging anjing, namun budaya luli asu (pemali daging anjing) masih tetap dipertahankan dan menjadi tradisi yang terus diwariskan dari generasi ke generasi.

4.4 Silsilah Keluarga Suku Ta’e Hutun Kaweran

4.4.1. Generasi I-V
a)      Generasi I: Be Seran Tema, Iba Lera, Ade Lera, Luruk Lera
b)      Generasi II: Tidak diketahui
c)      Generasi III: tidak diketahui
d)     Generasi IV: Be Bano
e)      Generasi V: Be Hoar Ferik

4.4.2 Generasi VI-sekarang
A.     Bei Aek (dari Kateri) dan suaminya Bei Tahanama (dari Builaran), memiliki 4 orang anak antara lain:
1.      Bei Klara Hoar (berdomisili di Kateri dan menjaga rumah adat Ta’e Hutun Kweran)
2.      Bei Hendrikus Bere (merantau dan tinggal menetap di Jakarta)
3.      Bei Maria Luruk Nahak (pengganti Bei Bau Modok sebagai mata musan di Suku Mamulak-Numbei)

Bei Bau Modok: adalah mata musan antara Uma Ta’e Hutun Kaweran dengan mamulak. Ketika masih muda, ia dikategorikan sebagai orang yang sangat rajin karena tipe pekerja keras. Pekerjaan semasa hidupnya yakni sebagai petani dengan memiliki 2 kebun yakni di Numbei dan Kateri. Di Numbei awalnya dia bersama keluarga Mamulak tinggal di Tatasik-Numbei (wilayah pertemuan sungai Mota Baen dan Mota Bot). Semasa hidupnya ia memilih hidup membujang dan meninggal di Numbei. Peristiwa kematiannya membuat Be Bano merasakan kedukaan yang mendalam. Bei Bano menghendaki putera kesayangannya itu harus dibawa pulang walaupun sudah dalam bentuk raga yang kaku. Apabila jasadnya tidak dikembalikan ke Kateri maka Be Bano selaku ibu mengambil sumpah bahwa dia akan mati juga bersama anaknya jika anaknya itu tidak dikuburkan di Kateri. Menurut cerita lisan yang diwariskan tentang polemic meninggalnya Bei Bau Modok dengan istilah hola maten tukar moris (orang yang sudah meninggal ditukar dengan yang masih hidup). Maka diambil keputusan bahwa yang menggantikan Be Bau Modok di Numbei adalah Be Luruk. Hal ini sebagai tanda relasi atau hubungan kekeluargaan antara suku Ta’e Hutun Kaweran-Kateri dengan Suku Mamulak-Numbei tidak putus. Sampai dengan sekarang relasi persaudaraan antra keluarga Ta’e Hutun dengan Mamulak masih terjalin harmonis.

Kuburan Bei Bau Modok Bersama kedua orang tuanya



kukuy

4.      Bei WilhelminaSeuk Nahak (mata musan di Fohon Manas tetapi orang suku Lawalu mengambil sebagai anak pelihara untuk menjaga rumah adat suku di Buiuduk Fehan karena kekurangan anggota suku)

B.     Dari 4 Orang anak inilah mereka meneruskan keturunan sesuai dengan tempat berdomisili mereka sebagai berikut:

1.      Bei Klara Hoar dengan suami bernama Bei Simon Bau berdomisilli di Kateri. Mereka memiliki anak-anak sebagai berikut:
a.       Nahak Bauk (meninggal)
b.      Taek Bauk
c.       Nahak Bauk (meninggal)
d.      Bui Bauk (meninggal)
e.       Lidvina Aek
f.       Kristina Iba Bauk
g.      Lambertus Berek (berdomisili di Kateri dan sekarang sebagai Kepala Suku Ta’e Hutun Kweran)
h.      Marsel Tae Bauk (berdomisili di Betun)
i.        Yakobus Fahik (meninggal, semasa hidupnya ia bersama istrinya tinggal di Kupang)
j.        Fanu Bauk (meninggal)
k.      Lusia Luruk (berdomisili di Kateri)

2.      Bei Hendrikus Bere (alm.) dengan istrinya orang dari Jakarrta-Tanjung Periuk. Mereka tinggal di Jakarta, beliau sudah meninggal dan memiliki anak sebagai berikut:
a.       Stefanus Bere (Anak Kandung)
b.      Emi Bere (Anak Pelihara atau adopsi)

3.      Bei Maria Luruk Nahak (alma.) dengan suaminya Bei  Simon Mau (Senan Mau-biasa dikenal oleh orang Numbei pada zamannya sebagai Bei Free). Mereka tinggal di Numbei dan memiliki beberapa orang anak antara lain sebagai berikut:
a.       Marselinus Seran (alm.) (Seran Mau, red. Nama kampungnya, semasa hidupnya ia membujang)
b.      Klara Hoar (alma.) dengan suaminya Philipus Berek berdomisili di Numbei. Mereka  memiliki 8 orang anak yakni 4 Laki-laki dan 4 Perempuan, 2 anak perempuannya meninggal saat baru lahir. Anak –anak yang masih hidup antara lain:
1)      Goris Bria dan istrinya tinggal di Numbei. Mempunyai anak: 1 orang Perempuan dan 3 orang Laki-laki.
2)      Herman Bau dan istrinya tinggal di Numbei. Mempunyai Anak: 3 Perempuan (1 orang anaknya perempuan sudah meninggal) dan 1 orang anak Laki-laki.
3)      Vinsen Nahak dan istrinya tinggal di Kupang-Belo. Mempunyai anak: 1 orang Perempuan dan 3 orang Laki-laki.
4)      Maksi Nurak dan istrinya tinggal di Kupang-Liliba. Mempunyai 1 orang anak Laki-laki.
5)      Magdalena Uduk dan suaminya tinggal di Numbei. Mempunyai anak: 1 orang laki-laki dan 3 orang Perempuan
6)      Rosalia Aek dan suaminya tinggal di Manggarai-Ruteng. Mempunyai Anak: 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan.
c.       Kristina Iba Mauk (alma.) dengan suaminya Andreas Iba (alm.) (berdomisili di Numbei) dan memiliki 3 orang anak yakni Mea, Klaran Fidelis Seran. Mea dan Klaran meninggal masih balita. Fidelis Seran bersama istrinya tinggal di Kupang-Tarus. Mereka mempunyai anak: 5 orang Laki-laki.
d.      Robeka Anok (alma.) dengan suaminya bernama Andreas Luman (alm.) (berdomisili du Numbei) dan memiliki 1 orang Anak Perempuan yang bernama Maria Luruk Luman (biasa disapa Maria Lotu).
e.       Yakobus Nahak dengan istrinya (alma), orang dari Wederok dan berdomisili di Wederok.
f.       Paulus Fahik dengan istrinya bernama Emerenciana Bui (berdomisili di Numbei) dan memiliki 3 orang anak perempuan.
g.      Silvester Bere (alm.) (biasa dipanggil Sili Bere), semasa hidupnya ia memilih hidup membujang.
h.      Rosalia Bui (alma.) dan semasa hidupnya ia memiliki seorang anak perempuan bernama Theresia Hoar (biasa disapa Lin). Sekarang bersama suaminya tinggal di Kefa-Sunbaki. Mempunyai anak 3 orang Laki-laki.

4.     

a.       Silvester Seran (Bei Ulu-Tuak Ulu) dan Istrinya bernama Margaretha Bano (Be Meta) dari Suku Bunda’o memiliki anak: 3 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Mereka berdua tinggal di Buiduk Fehan.
b.      Marselinus Tahu (Bei Tahu-Tuak Tahu) dan istrinya bernama Elisabeth Luruk dari Rabasa (Makbukar. Mereka memiliki anak: 5 orang Laki-laki (1 orang sudah meninggal) dan 1 orang Perempuan. Sekarang berdomisili di We Ulun.
c.       Florentina Aek (Ina Aek ) dan suaminya bernama Alexander Bria (Be Dahan Bria).
d.      Mikhael Tae (Bei Tae-Tuak Tae) memilih untuk hidup membujang di Buiuduk Fehan
e.       Arnoldina Fore (Ina Mea) memilih untuk  hidup membujang di Buiuduk Fehan
f.       Theresia Luruk (Ina Luruk) dengan suaminya bernamaRafael Asa (Bei Asa). Mereka memiliki 1 orang anak. Sekarang berdomisili di Buiuduk Fehan.
g.       Fransiskus Seran Bria dengan istrinya bernama Renelde Hoar orang dari  Kakaniuk. Mereka memiliki anak: 3 Laki-laki (1 orang sudah meninggal) dan 4  Perempuan. Sekarang berdomisili di Basdebu.
h.      Maria Hoar (Ina Hoar Uit) dengan suaminya bernama Yoseph Seran (dari Manumuti-Umanen) mereka tinggal di Buiduk Fehan dan memiliki 3 orang anak, 1 Perempuan dan 3 Laki-laki.
i.        Romanus Bere (Bere Muti): meninggal saat berumur ± 5 Tahun.


Bei Wilhelmina Seuk (Seuk Nahak) dengan suaminya bernama Pius Bria. Mereka tinggal di Buiuduk Fehan dan memiliki beberapa orang anak antara lain:













C.   













  Turunan dari Bei Klara Hoar dan suaminya Simon Bau yang menjaga dan mememilihara rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran-Kateri antara lain sebagai berikut:

1.      Tae Bauk (alm.) dengan istrinya bernama Nai Bui Balok Fahik. Mereka memiliki 1 orang anak yang bernama Kauk
2.      Hendrikus Nahak (alm.) dan Istrinya berdomisili di Jakarta. Mereka Memiliki anak antara lain: Lidia Aek

3.      Lidvina Aek dengan Suaminya bernama Philipus Bere. Mereka memiliki anak antara lain:
a.       Antonius Tae dan istrinya, memiliki anak 3 orang. Mereka tinggal di Kateri.
b.      Mari Goreti Eno Berek dan suaminya,  memiliki anak ada 2 orang. Mereka tinggal di Kateri.
4.      Lambertus Berek (Kepala Suku Ta’e Hutun Kweran sekarang) dan istrinya bernama Petronela Naben (dari Eban). Mereka berdomisili di Kateri dan memiliki beberapa orang anak antara lain:
a.       Yulita Eta Berek sudah mempunyai suami. Mereka tinggal di Kupang dan memiliki 3 orang anak.
b.      Martinus Ses Berek: bersama orang tua tinggal di Kateri.
c.       Yoseph Nahak: merantau di Malaysia.
d.      Gabriel Bria: merantau di Kupang.
e.       Oktovianus Seran: berdomisili di Eban (red. Mata musan)
f.       Theresia Bano Berek: merantau di Malaysia.
g.      Kornelis Mau: Kuliah di Universitas Timor Kefa
5.      Marsel Tae dengan istrinya bernama Magdalena Fouk. Mereka tinggal di Betun dan memiliki 2 orang anak laki-laki yakni: Egidius Tae dan Roni Tae

6.      Yakobus Fahik (alm) dengan istrinya bernama Rofina Naben. Semasa hidupnya alm. Yakobus Fahik dan istrinya (masih hidup) berdomisili di Kupang. Mereka berdua memiliki 1 orang anak yang bernama:
ü  Lin Fahik sudah mempunyai suami dan tinggal di Kupang. Mereka mempunyai anak 4 orang.
7.      Lusia Luruk dengan suaminya bernama Frans Klau. Mereka berdomisili di Kateri. Mereka mempunyai anak 4 orang yakni:
a.       Agustina Klau, sudah mempunyai suami dan tinggal di Soe. Mereka mempunyai anak 1 orang Perempuan.
b.      Jhon Klau (meninggal)
c.       Ekarius Klau: merantau di Malaysia
d.      Herminus Klau: kuliah di Universitas Timor Kefa       

Catatan: nama-nama disesuaikan dengan nama sapaan sehari-hari oleh masyarakat maupun keluarga







BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Gereja menerima kebiasaan masyarakat lokal, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan iman Katolik. Dengan demikian Gereja dapat bertumbuh dan berakar di dalam kehidupan masyarakat setempat, dan membentuk persekutuan iman dan budaya. Prinsip ini sejalan dengan apa yang diajarkan dalam Konsili Vatikan II, tentang Hubungan Gereja dengan Agama- agama non Kristen.

“Demikian pula agama-agama lain, yang terdapat di seluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci. Gereja Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” (Nostra Aetate, 2)

Dengan demikian, hal penghormatan leluhur memang diperbolehkan, namun sepanjang pengetahuan kami, belum ada dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak Vatikan, ataupun dari pihak KWI/ Konferensi WaliGereja Indonesia yang menyebutkan secara rinci tentang bagaimana hal penghormatan semacam ini dapat dilakukan [yang sudah ada adalah proposal dari Konferensi Uskup- uskup Taiwan -seperti tertulis dalam link yang anda sertakan- namun sejauh ini kami belum mengetahui apakah proposal ini sudah disetujui oleh Vatikan untuk dapat dilakukan di negara- negara lain]. Namun ada prinsip yang sudah disetujui oleh pihak Vatikan, berdasarkan hasil pembicaraan resmi antara para Uskup Taiwan dengan Mgr Joseph Caprio pada tanggal 18-19 Juli 1964 tentang hal Penghormatan Leluhur, (sumber: dari situs Keuskupan Agung Singapura) yaitu demikian:
a)      Untuk mengenang orang tua/ leluhur, pihak keluarga diperbolehkan untuk menyediakan semacam plakat yang bertuliskan nama orang yang meninggal, tetapi tanpa tambahan tulisan lainnya yang berbau tahayul.
b)      Diperbolehkan untuk memberi penghormatan/ sikap hormat di hadapan plakat tersebut, atau foto, atau peti jenazah.
c)      Diperbolehkan untuk menyediakan buah atau makanan di depan plakat leluhur atau di kubur mereka.
d)     Tidak diperbolehkan membakar kertas uang bagi jenazah, sebab ini mempunyai makna tahayul.

Selanjutnya dasar ajaran Gereja Katolik tentang Mengapa kita mendoakan jiwa orang- orang yang sudah meninggal, dan Bolehkah memohon leluhur mendoakan kita. Penghormatan arwah orang tua sesungguhnya merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah Tuhan yang ke-empat dalam kesepuluh perintah Allah, yaitu: “Hormatilah ayahmu dan ibumu” (Kel 20:12). Sedangkan hal penguburan dan penghormatan jenazah dengan memberikan sajian makanan itu diajarkan dalam Kitab Suci (lih. Bar 6:26; Sir 7:33, 30:18; Tob 4:17). Orang- orang Yahudi mengikuti kebiasaan ini yang umum dilakukan oleh bangsa-bangsa non-Yahudi, namun untuk maksud yang berbeda. Bangsa-bangsa non Yahudi memandang bahwa jiwa- jiwa orang mati itu yang akan makan persembahan; namun orang-orang Yahudi dan setelah itu orang-orang Kristen, melakukannya untuk memberi makan fakir miskin terutama yang mengurus kubur itu, sehingga mereka dapat turut mendoakan jiwa orang yang meninggal tersebut.

Terhadap keempat poin tersebut, Romo Santo Pr. memberi tambahan informasi demikian:
Menurut Rm. Agung Wijayanto SJ (doktor sastra china klasik universitas Sanata Dharma), ketika memberi penerangan pada umat Katolik di Kebon Dalem Semarang pada perayaan Imlek tahun 2006, penghormatan dengan batang dupa bisa dilakukan oleh imam di depan altar saja. Karena fungsi dupa menyala/berasap memang untuk menghormati pribadi yang lebih agung, namun bukan untuk jenazah. Sedangkan jenazah hanya boleh didupai sebagaimana lazimnya liturgi pemberkatan jenazah. Sedangkan tambahan pada poin c, tentang penempatan buah-buahan dianggap sejajar dengan penempatan bunga di makam (tabur bunga). Bunga dan buah merupakan puncak adanya pertumbuhan suatu pohon. Maka hasil akhir penyelamatan yaitu hidup bahagia abadi disimbolkan dengan penempatan bunga atau buah. Harapan dengan menempatkan bunga dan buah ialah, semoga kita pun bisa memetik buah penebusan Kristus yaitu hidup bahagia abadi, dan semoga almarhum sudah memetik buah penebusan itu karena Kristus. Buah-buahan dan bunga yang ditempatkan adalah buah-buah dan bunga yang secara budaya lazim dipakai dan tidak memberi batu sandungan, contohnya: bukan buah kersen atau durian atau bunga bangkai.”

Rm. Bosco da Cunha O. Carm, sekretaris eksekutif KomLit KWI juga menambahkan demikian:
“Selalu diizinkan mendoakan arwah dengan budaya apapun termasuk budaya China. Dan harus diakui, simbol-simbol yang dipakai oleh budaya China begitu rumit antar sub suku pun berlainan padahal banyak sekali sub sukunya. Maka diminta keluarga berkonsultasi dengan imam yang akan memimpin upacara. Simbolnya harus dimaknai secara Katolik, seperti halnya pada bunga dan buah itu.”

Maka, sebelum dikeluarkannya urutan resmi yang diijinkan oleh KWI, upacara penghormatan kepada leluhur dapat dilakukan dengan membicarakannya dengan imam yang bersangkutan, dan tentu sebelumnya umat harus diberi penjelasan terlebih dahulu alasannya, agar jangan sampai upacara tersebut menjadi batu sandungan; sebab biar bagaimanapun upacara penghormatan leluhur menurut iman Katolik tidak persis sama dengan penghormatan menurut tradisi Cina. Sebab menurut ajaran iman Katolik, penghormatan kepada leluhur tidak terpisah dari penghormatan kepada Allah Trinitas yang menciptakan, menyelamatkan dan menguduskan orang yang sedang kita doakan, dan penghormatan tertinggi tetap hanya diberikan kepada Allah. Sebab sikap hormat dapat diberikan kepada yang meninggal (umumnya dengan menundukkan kepala), namun sikap penghormatan tertinggi yaitu doa dengan memegang batang dupa/ hio dilakukan oleh imam saja untuk menghormati Tuhan dan bukan untuk menghormati jenazah. Pemahaman ini juga mendasari mengapa plakat nama orang yang meninggal tersebut juga tidak berdiri sendiri, melainkan selalu disertai salib/ crucifix, untuk menggambarkan bahwa janji kehidupan kekal itu diperoleh atas jasa pengorbanan Kristus di kayu salib.

5.2  Usul Saran
5.2.1        Untuk Pemangku Adat di Desa kateri
Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa peran rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran adalah rumah untuk menentukan norma tentang pola tingkah laku manusia dan menentukan keputusan yang baik dan benar maka ada dua aspek yang perlu diperhatikan oleh para pemangku adat di Desa Kateri yakni:
1.      Kewajiban
a)      Wajiib menaati hokum adat dan norma-norma sosial yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat.
b)      Hakotu lia, mesti lia diak no lia los artinya mengambil keputusan harus adil dengan baik dan benar. Contoh dari mengambil keputusan yang baik dan benar tentang menjaga keutuhan alam semesta adalah pada tanggal 28 Oktober 2018 Kepala Suku Be Tema, Be Rai bersama rombongan Pejabat Pemerintahan pergi membuat upacara adat yakni ba tunu iha rai lulik kreis Kamanasa. Hasilnya Air langsung mengalir kembali ke Rumah Sakit Penyanggah Perbatasan Kabupaten Malaka.
Adapun Kiat Sukses dalam mengambil Keputusan
v  Rona malu: saling mendengarkan.
v  Fiar malu: saling percaya.
v  Halaok adat iha Kateri hodi neon no laran diak: Melakukan tata adat di Kateri harus dengan hati yang tulus.
v  Hafoli Ukun Rai: menghornati dan menghargai Pemimpin Wilayah daerah Kateri yakni Kepala Desa Kateri.
v  Hadomi malu: saling mencintai.
v  Hafoli  malu: saling menghargai dan menghormati karena secara kodrati manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sama sebagai citra Allah.
2.      Larangan:
*      Bagi siapa saja yang melanggar hukuman adat harus dikenai sanksi.
*      Para Pemangku Adat tidak boleh sombong.
*      Para Pemangku Adat harus mengambil keputusan secara baik dan benar.
Berhubungan dengan para Pemangku Adat memiliki kewenangan terbatas maka wajib hukumnya apabila mengambil keputusan hendaknya selalu terlebih dahulu memohon petunjuk leluhur dengan membuat upacara adat. Hal ini untuk menghindairi malapetaka atau kutukan dari para leluhur. Diharapakan kepada semua masyarakat untuk mengoptimalkan kembali Peran Fukun, Katuas No Ferik Fukun Sira agar budaya hakneter dan haktaek (saling menghargai dan menghormati) tidak punah.

5.2.2        Untuk Pemerintah Wilayah Setempat
Potret pembangunan di Indonesia perihal situs peninggalan sejarah, amat sangat memprihatinkan karena banyak sekali candi dan situs peninggalan sejarah lainnya yang terancam punah. Tak terawat dan diabaikan begitu saja. Banyaknya situs peninggalan sejarah yang berada di luar perkampungan warga yang membuat sulitnya pengawasan.

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan yang tidak mem-perhatikan upaya pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun sebagai titik tolak penetapan status “kepur-bakalaan” objek secara bertahap menempatkan benda, bangunan, atau struktur lama menjadi cagar budaya baru. Warisan yang lebih tua, karena tidak bisa digantikan dengan yang baru, akan terus berukurang tanpa dapat dicegah.

Dalam konteks ini kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah adalah untuk memperlambat hilangnya warisan budaya dari wilayah Indonesia. Presepsi bawha cagar budaya memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan apabila diperjual belikan, secara bertahap dapat digantikan dengan pemanfaatan bersifat berkelanjutan (sustainable) agar dapat dinikmati kehadirannya oleh generasi mendatang. Peran Pemerintah Daerah menjadi tantangan yang patut dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Hanya melalui pendekatan pelestarian yang bersifat menyeluruh (holistik) harapan rakyat yang dirumuskan menjadi un-dang-undang ini dapat direalisasikan oleh semua pemangku kepentingan. Masyarakat daerah mampu menjadi garda terdepan menjaga kekayaan budaya miliknya sebagai kekayaan bangsa yang dibanggakan oleh generasi mendatang.




DAFTAR PUSTAKA
Katekismus Gereja Katolik, terj. P. Herman Embuiru. Flores: Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, 2007

Kewuel, K, Hipolatus dan Gabriel Sunyoto. (Eds.). 12 Pintu Evangelisasi:Menebar Garam Di Atas Pelangi. Yogyakarta: WINA PRESS, 2010

Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Martasudjita, E. Sakramen-Sakramen Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 2003.




[1] Desa kateri adalah salah satu desa yang merupakan bagian dari Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka-Provinsi NTT.
[2] Hamis batar merupakan sebuah ritual adat untuk menyambut musim panen jagung yang berasal dari kabupaten Belu dan Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hamis Batar dilaksanakan oleh masyarakat Belu dan Malaka sebagai wujud rasa syukur kepada sang Pencipta atas panen yang mereka peroleh. Dengan dipimpin oleh tua adat (Kepala Suku), masyarakat akan mempersembahkan hasil panen yang terbaik. Bdk. Https://id.wikipedia.org/wiki/Hamis_Batar
[3] Greg Neonbasu, Sejarah Sebuah Agenda
[4]Bdk. https://www.kompasiana.com/1b3las-mk/59381b61a013e43add0e2063/morten-untaian-perhiasan-artistik-dan-tetap-mempesona)

[5] Bdk.https://www.kompasiana.com/1b3las-mk/54f8520ea33311f07d8b45d9/situs-ksadan-di-kabupaten-belu
[6] Dokumen Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (Penerj.),Yogyakarta: Kanisius, 2009 hlm. 26
[7] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 203.
[8] Dokumen Konsili Vatikan II, loc.cit.
[9] E. Martasudjita, op.cit. hlm. 202.
[10] Ibid.
[11] E. Martasudjita, Op.Cit, hal 204
[12] Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm.119.
[13] Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium Et Spes), bab I; artikel 59. Hal 601.
[14] http://www.katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/
[15] http://kepulauanntt.blogspot.com/2017/06/sejarah-kabupaten-malaka.html
[16] Wawancara dengan Opa Simon Petrus Seran (Be Rai) di Kampung Nabo, Desa Fatuaruin, Kecamatan Sasitamean- Kabupaten Malaka, NTT Pukul 15.00 s/d 17.30 WITA 
[17] Ibid. 
[18] Totem adalah suatu entitas yang mengawasi atau membantu sekelompok orang, seperti keluarga, suku, atau rumpun tertentu. Totem mendukung kelompok yang lebih besar daripada satu orang individu. Dalam keluarga dan keturunan, apabila nenek moyang apikal dari suatu suku bukan manusia, maka disebut totem. Biasanya kepercayaan ini disertai juga dengan dongeng totemis. Walaupun ini berasal dari kaum ojibwa, penganut totemisme tidak hanya terbatas kepada Indian asli amerika. Sejarah Kepercayaan totemisme yang sama telah ditemukan di bagian dunia lainnya, termasuk Eropa Barat, Eropa Timur, Afrika, Australia dan wilayah artik. Pada saat ini, beberapa individu, tidak ingin terlibat kepada kegiatan-kegiatan mengenai suku, telah memilih untuk mengadopsi roh binatang pembantu pribadi, yang mempunyai arti spesial bagi mereka, dan dimaksudkan sebagai totem ini. Penggunaan non tradisional dari istilah ini adalah umum. Bdk. https://id.wikipedia.org/wiki/Totem

Suara Numbei

Setapak Rai Numbei adalah sebuah situs online yang berisi berita, artikel dan opini. Menciptakan perusahaan media massa yang profesional dan terpercaya untuk membangun masyarakat yang lebih cerdas dan bijaksana dalam memahami dan menyikapi segala bentuk informasi dan perkembangan teknologi.

Posting Komentar

Silahkan berkomentar hindari isu SARA

Lebih baru Lebih lama