SELAYANG PANDANG RUMAH ADAT TA'E HUTUN KAWERAN DI KAMPUNG KATERI
Kabupaten Malaka-NTT
Kabupaten Malaka-NTT
Relevansinya Menurut Perspektif Budaya dan Ajaran Agama Katolik
Oleh: Frederick Mau, S.Fil
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
“Dunia
adalah sebuah kampung global (global village)”, demikian Marshall McLuhan,
seorang sosiolog asal Amerika Serikat, menggambarkan perkembangan dunia saat
ini. Modernisasi dalam pelbagai dimensi kehidupan menipiskan, bahkan
meruntuhkan batas-batas kebudayaan. Hal ini kian menyebabkan terjadinya ragam
heterogenitas dalam pelbagai bidang kehidupan. Masyarakat tersusun atas
pelbagai macam bentuk kehidupan dan orientasi nilai. Salah satu persoalan
bangsa Indonesia adalah amnesia kolektif. Kebanyakan manusia Indonesia lebih
ingat pada seorang penjahat yang membagi-bagikan hadiah dengan satu tujuan yang
tidak jelas dan cepat lupa terhadap seseorang yang berbuat kebaikan. Pahlawan
yang dikenang adalah mereka yang gugur dalam iktiar mengupayakan dan
mempertahankan kemerdekaan. Pahlawan dalam konsep pola pemikiran orang
Malaka-Belu Selatan (Tetum) adalah Meo.
Pengertian Meo merujuk pada orang yang berjuang mempertahankan tradisi dan
budayanya dari serangan musuh. Tindakan-tindakan praktis yang dilakukan seorang
meo adalah berperang melawan kerajaan
lain bahkan mengorbankan nyawanya di medan pertempuran.
Pada zaman dahulu, semenjak manusia
dilahirkan, sesungguhnya ia telah berada dalam suatu lingkungan
kebudayaan. Lingkungan inilah yang kemudian turut berperan membentuk
kepribadiaan dirinya. Seorang budayawan, E.B Tylor (1987) berpandangan, bahwa
“kebudayaan merupakan suatu keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kesanggupan dan
kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Di
sini, ia hendak mengetengahkan kepada kita, bahwa dalam totalitas kehidupan
manusia sehari-hari, selalu saja bersinggungan dengan unsur atau nilai-nilai
dari suatu kebudayaan. Selain itu, patut digarisbawahi juga adalah, bahwa
interaksi sosial atau proses belajar dalam suatu lingkungan masyarakat
merupakan unsur terpenting dalam tindakan manusia yang berkebudayaan. Dapat
saya katakan, bahwa kebudayaan itu ada, bersamaan dengan adanya manusia.
Wujud kebudayaan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu budaya yang
bersifat abstrak dan budaya yang bersifat konkret (dalam buku Posman
Simanjuntak: Berkenalan dengan Antropologi). Rumah adat, dan barang-barang
peninggalan leluhur merupakan salah satu wujud kebudayaan yang bersifat
konkret. Mengingat ia berwujud konkret dari suatu kebudayaan masyarakat
tertentu dan merupakan salah satu bentuk dari kebudayaan materi yang dihasilkan
dari aktifitas sosial, perbuatan dan karya manusia, maka pertumbuhan dan
pekembangan rumah adat pun erat kaitannya dengan sejarah nenek moyang.
Berbicara tentang rumah adat dan barang-barang peninggalan leluhur, sebetulnya
kita diajak untuk melihat kembali asal-usul kehidupan kita sendiri. Ada orang
yang mengatakan, bahwa rumah adat merupakan ungkapan usaha manusia sebagai
sarana untuk memahami, menghormati dan memberi arti kepada wujud tertinggi dan
kepada arwah leluhur. Rumah adat adalah bagian dari usaha menelusuri misteri
eksistensi manusia itu sendiri. Maka, adanya rumah adat, sekiranya menjadi
suatu fenomena yang menarik untuk disimak.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa peran rumah adat untuk kehidupan masyarakat zaman
dahulu hingga sekarang, masih sangat berarti. Bahkan masyarakat suku tertentu
melihatnya sebagai sesuatu yang sangat urgen dalam kehidupan bersama. Mereka
menghargai dan menjunjung tinggi adat-istiadat warisan nenek moyang
mereka. Hal ini bisa ditemui dalam kehidupan sosial. Dari tradisi seketurunan
(satu suku) kemudian terekspose menjadi banyak suku dan banyak kebudayaan baru.
Namun, dibalik tradisi lampau itu, tetap saja menyisahkan satu tanggung jawab
di masa kini, untuk kita sama-sama mempertahankan dan melestarikan warisan para
leluhur yang sangat tinggi nilai sejarahnya itu.
Pada
masa era globalisasi saat ini, apakah masih relevan penghormatan kepada leluhur
dengan pendasaran teologis bagi praktek penghormatan tersebut?. Jawabannya
berkaitan erat dengan konsekuensi suatu masyarakat tenggalam dalam amnesia
kolketif. Keadaan masyarakat seperti ini (baca: amnesia kolektif) akan
kehilangan jati dirinya. Ketercabutan dari akar budaya, akan membuat suatu
masyarakat gampang diarahkan pada kepentingan sesaat para penguasa. Akibat
lanjutnya adalah hilangnya keberagaman budaya dalam kuali besar budaya global.
Karena budaya global adalah bentukan kebudayaan-kebudayaan kuat dan dominan,
maka masyarakat budayakecil dan lemah, akan berada pada posisi penyelaras,
tanpa kontribusi cultural bermakna.
1.2 TUJUAN PENULISAN
Tulisan ini dibuat
untuk:
a. menambah
wawasan berpikir untuk semua kalangan yang ingin memperjari kebudayaan khas
atau unik dari setiap suku dan juga sebagai acuan untuk semua anggota suku Ta’e
Hutun Kaweran dalam mengembangkan dan menghayati tradisi adat para leluhur.
b. Sebagai
sarana pengembangan nilai-nilai budaya yang bermanfaat bagi generasi penerus.
Nilai-nilai budaya tersebut antara lain: kebersamaan, gotong royong, dan
semangat kekeluargaan.
c. Meningkatkan
kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan nilai-nilai budaya
melalui komunitas-komunitas masyarakat adat.
d. Mendukung
pemerintah melalui program promosi parawisata
dan atau revatalisasi budaya di Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara
Timur.
1.3 RUANG LINGKUP PENULISAN
Pola pemikiran yang
dikembangkan dalam tulisan ini dipersempit pada Pola Perkembangan Rumah adat
Suku Ta’e Hutun Kaweran beserta dengan sejarah historis tentang terbentuknya
Suku ini, pemaparan materi pengaruh agama katolik dalam kebudayaan masyarakat
dan juga akan dibahas tentang silsilah keturunan dari generasi awal hingga
sekarang ini.
1.4 METODE PENULISAN
Di dalam membuat tulisan ini
menggunakan studi lapangan (dokumentasi dalam bentuk foto bukti-bukti sejarah
tentang awal mula keberadaan suku Ta’e Hutun Kaweran) , wawancara lisan bersama
para makoan (ahli bahasa dan sejarah adat) serta tokoh-tokoh adat yang
mempunyai wawasan pengeratahuan tentang sejarah kebudayaan suku ini. Di lain
sisi penulis berusaha membuat studi pustaka dengan membaca buku-buku yang
berkaitan dengan cagar budaya dan perkembangan iman katolik dalam ranah
inkulturasi.
BAB II
SELAYANG PANDANG
TENTANG RUMAH ADAT
SUKU TA’E HUTUN KAWERAN
DESA KATERI[1]-KABUPATEN MALAKA-NTT
2.1 Pengertian Rumah adat Suku Ta’e
Hutun Kweran
2.1.1
Defenisi Rumah Adat
Rumah
adat merupakan rumah keramat yang dalam istilah bahasa Tetum, Bahasa Lokal
Kabupaten Malaka disebut Uma Lulik. Uma berarti rumah, lulik berarti keramat
atau pemali. Rumah adat merupakan pusat spiritual dan tradisi orang Timor.
Setiap tahunnya, anggota suku yang berfaliasi dengan rumah adat biasanya
berkumpul untuk mengadakan upacara ritual adat. Upacara ritual adat yang
biasanya rutin dilakukan adalah upcara adat hamis batar[2]
dan kegiatan upacara adat lainnya.
Hal
yang membuat rumah adat itu keramat karena barang-barang peninggalan nenek
moyang dari suku yang tetap eksis hingga saat ini. Rumah keramat tersebut
biasanya hanya dimasuki oleh seorang pemimpin kharisatik(Kepala Suku) yang
merupakan ahli waris secara turun temurun. Pemimpin tersebut merupakan
“jembatan” penghubung antara mereka yang masih hidup dan yang telah meninggal
dunia. Ia berhak mempersembahkan persembahan dari para anggota suku kepada para
leluhur mereka.
2.1.2 Arti Nama Ta’e Hutun Kaweran
Nama
Ta’e Hutun Kaweran terdiri dari tiga suku kata yaitu: Ta’e, Hutun, renu. Ta'e terjemahan lurusnya adalah pukul atau memukul. Namun dalam konteks adat istiadat Ta'e bukan berhubungan langsung dengan istilah pukul melainkan sebuah bahasa adat yang berhubungan dengan konteks peran dari rumah adat sebagai tempat penyelesaian perkara berdasarakan ukun no badu (norma dan adat istiadat) yang berlaku. Hutun bahasa kiasan dengan kata dasar renu (Terj. masyarakat) bersinonim dengan uma maklibur atau rumah yang menghimpun masyarakat. Sedangkan Kaweran berasal dari kata dasar beran yang artinya keuatan atau tenaga.
Berdasarkan arti etimologis dari tiga suku kata di atas, maka secara harafiah Ta'e Hutun Kaweran adalah rumah penentu norma atau pola tingkah laku manusia yang berhubungan dengan peradaban hidup manusia dalam konteks budaya dan adat istiadat.
2.2.
Peran dari Uma Ta’e Hutun Kaweran
Pada dasarnya, setiap masyarakat selalu ingin hidup harmonis. Keadaan yang
harmonis ini baru akan tercipta, apabila setiap orang bisa hidup bersama tanpa
ada sikap egois, sombong, dan pelanggaran tata tertib atau norma-norma
setempat. Setiap kehidupan bersama, baik dalam hidup berkeluarga,
bermasyarakat, maupun dalam hidup bernegara, selalu memiliki aturan. Aturan
merupakan hal yang esensial dalam mengatur dan menegakkan kebenaran kepada
setiap individu. Tanpa adanya norma, dapat dipastikan dalam praktek kehidupan
bersama akan mengalami banyak kerancuan.
Uma
Ta’e Hutun Kaweran merupakan rumah adat yang menghimpun dan menaungi 4 suku
besar di Kateri yakni: Suku Be Bata, Suku Be Kolo-Melus, Suku Be Seran Manlima
dan Suku Be Aek. Rumah ini menjadi penentu norma, penentu tingkah laku manusia
yang berkaitan dengan budaya dan adat istiadat. Adapun fungsi dari rumah adat
ini yakni:
a.
Sebagai Tempat Berdialog atau Bermusyawarah Semua Warga
Dimana saja, terdapat berbagai wadah untuk melaksanakan musyawarah atau dialog
bersama. Dalam lingkungan yang terbatas, ada organisasi rukun tetangga. Di
desa-desa, terdapat Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD). Di tempat itu, para warga dapat bermusyawarah
mendiskusikan masalah dan menemukan solusi yang tepat untuk kepentingan
bersama.
Dalam Kehidupan masyarakat rumah adat suku Ta'e Hutun
Kaweran di Desa Kateri memiliki fungsi sebagai rumah untuk berbicara adat
(hakes adat), dan penentuan norma kehidupan social bermasyarakat. Tempat ini
biasa digunakan dan dianggap penting sebagai cara terbaik untuk memecahkan
Persoalan bersama menyangkut kelangsungan hidup semua suku di wilayah
perkampungan Kateri. Diskusi yang berlangsung itu dihadiri oleh beberapa pemuka
tua adat, seluruh Kepala Suku dan masyarakat. Para tua adat yang memimpin
jalannya musyawarah ini harus mempunyai pemahaman yang luas, argumentasi yang
sehat dan berkualitas. Dengan berbagai masukan dan pendapat dari para anggota,
akhirnya dicapailah kata sepakat. Maka rumah ini disebut juga uma hakotu lia
(rumah untuk mengambil keputusan yang baik dan benar).
b.
Sebagai Sarana Pemersatu
Ditinjau dari berbagai segi kehidupan bermasyarakat, rumah adat dapat dikatakan
sebagai sarana pemersatu. Jika, ditelaah dari sisi religiusitas, rumah
adat bersifat vertikal dalam hubungan antara manusia dengan arwah-arwah
leluhur. Karena itu, rumah adat diyakini sebagai mediasi pemersatu antara dunia
nyata dan dunia semu (alam baka), dan menyingkapkan tiga dimensi waktu, yakni:
dunia kemarin (masa lampau), dunia sekarang (masa kini), dan dunia yang akan
datang (masa depan). Sedangkan, jika dilihat dari kaca mata ilmu filsafat,
rumah adat merupakan landasan hidup manusia, karena sebagai titik mula dan
titik tuju semua aktifitas manusia. Maka, yang mau diketengahkan adalah unsur
persatuan dan kesatuannya.
Kapan dan dimana saja, manusia selalu hidup bersama dengan yang lain (No man is
an Island). Karena pada hakekatnya, setiap individu selalu membutuhkan bantuan
dan campur tangan individu yang lain, untuk saling menopang satu dengan yang
lainnya.
Dalam kehidupan masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran, mereka meyakini, bahwa
rumah adat dapat mempersatukan mereka dengan para leluhur mereka dan dengan
sesama yang lain. Filosofinya adalah, bahwa “manusia ada bukan untuk
dirinya melainkan ada di dalam solidaritas dengan sesamanya” (eksistensi mereka
adalah juga eksistensi mereka dengan sesama yang lain). Dari kebersamaan itu,
mereka semakin didekatkan dalam bingkai persaudaraan. Saling membantu dan
menolong, penuh rasa persatuan dan kesatuan sebagai orang-orang yang berbudaya.
Sehingga, terciptalah kehidupan yang rukun, serasi, selaras dan seimbang di
dalam hidup keseharian mereka.
c. Sebagai Tempat Berelasi dengan Wujud
Tertinggi dan Para Leluhur
Pada intinya, manusia ada dari ketiadaan. Dari ketiadaan, ia menjadi ada karena adanya “ADA” (ada universal, yang melingkupi seluruh realitas). Hidup adalah sebuah anugerah dari sang “Creator ex Nihilo”. Dalam arti, bahwa manusia meyakini adanya kekuatan lain yang melampaui keberadaan manusia itu sendiri. Manusia menginsyafi, bahwa antara dunia bawah (alam, tempat manusia hidup) dan dunia atas (langit, adanya “ada” yang tak terhingga) harus ada satu ikatan atau hubungan yang erat. Menyikapi itu, maka manusia membangun relasi lewat berbagai upacara adat yang ditujukkan semata-mata untuk menghormati sang pencipta.
Pada intinya, manusia ada dari ketiadaan. Dari ketiadaan, ia menjadi ada karena adanya “ADA” (ada universal, yang melingkupi seluruh realitas). Hidup adalah sebuah anugerah dari sang “Creator ex Nihilo”. Dalam arti, bahwa manusia meyakini adanya kekuatan lain yang melampaui keberadaan manusia itu sendiri. Manusia menginsyafi, bahwa antara dunia bawah (alam, tempat manusia hidup) dan dunia atas (langit, adanya “ada” yang tak terhingga) harus ada satu ikatan atau hubungan yang erat. Menyikapi itu, maka manusia membangun relasi lewat berbagai upacara adat yang ditujukkan semata-mata untuk menghormati sang pencipta.
Dalam masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran, ada penghormatan terhadap terhadap “wujud tertinggi” itu. Rumah adat, menyatukan mereka, dan para leluhur menjadi perantara untuk berelasi dengan dunia atas yang tak terlampaui. Rumah adat dalam pandangan suku Ta’e Hutun Kaweran, merupakan “gerejanya” agama asli mereka. Atau dengan kata lain, rumah adat Ta’e Hutun Kaweran berfungsi sebagai “Mediator Dei et Hominum” (perantara Allah dan manusia). Rumah adat juga digunakan sebagai sarana untuk menghormati dan memohon berkat dari para leluhur atau nenek moyang untuk kepentingan suku. Hal ini nampak dalam ritual memberikan sesajian, dengan harapan agar apa yang akan mereka lakukan dapat disertai oleh para leluhur.
2.3
Bagian- bagian dari Arsitektur Rumah Adat Suku Ta’e Hutun Kaweran
Uma, ya istilah umum dari rumah dalam
bahasa Tetun (bahasa daerah di kabupaten Beludan Malak) disebut, uma.
Istilah ini mengacu kepada bentuk fisik bangunan sebagai tempat tinggal manusia
agar mereka dapat terlindungi dari ketidaknyamanan hidup yang disebabkan oleh
kepanasan terik matahari atau udara yang sangat dingin dan
musibah-musibah alam serta ancaman-ancaman bahaya dari manusia. Sejauh ini
istilah uma bermakna sebagai sebuah tempat tinggal yang biasanya disebut
uma tur fatin, sebuah tempat tinggal yang biasanya dihuni oleh sebuah
keluarga rumah tangga atau uma kain.
Sehubungan
dengan pembangunan rumah tradisional atau rumah panggung, ada tiga jenis rumah
tradisional yaitu: uma Timur (rumah tinggal), uma lulik (rumah adat), dan uma
kakaluk (rumah pengobatan). Rumah-rumah ini strukturnya sederhana.
Rangka-rangka bangunan uma ini biasanya terbuat dari kayu-kayu balok,
jenis batang kayu yang besar dan atapnya dari daun gewang (pohonnya jenis
sagu). Bangunan uma ini biasanya mempunyai dua pintu, sebuah menghadap ke arah
matahari terbit yang disebut, oda matan lor, dan pintu yang lain
menghadap ke arah matahari terbenam yang disebut, oda matan rae.
Ternyata
tidak sesederhana itu, orang Malaka punya makna khusus mengenai tata letak tersebut.
Ada beberapa pintu yang terdapat di dalam rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran
antara lain:
a) Oda matan lor yang diperuntukkan bagi tamu dan
kaum laki-laki harus menghadap ke sebelah Timur atau sebelah matahari terbit
karena jurusan ini dianggap sebagai posisi yang membawa keberuntungan,
kesejahteraan material, kehidupan, kebaikan dan prospek yang cerah dalam hidup
sebagaimana sang surya yang mulai menyinari bumi dengan sinarnya yang terang
benderang dan terik panasnya.
b) Oda matan rae yang diperuntukkan khusus bagi
anggota-anggota rumah tangga dan kaum perempuan pada umumnya biasanya menghadap
ke arah Barat ke jurusan terbenamnya matahari sebagai pintu yang melambangkan
waktu senja dari kehidupan seseorang di dunia ini. Keadaan ini adalah saat-saat
ketika seseorang berhadapan dengan banyak kesulitan, penyakit, kesengsaraan,
kesepian dalam hidupnya dan pada akhirnya meninggal dunia.
c) Oda
Matan Lasaen
yang diperuntukan untuk mengeluarkan anggota suku yang meninggal (bodik hasai
ema maten). Dalam tradisi suku Ta’e Hutun Kaweran berkaitan dengan proses
membuka Oda Matan Lasaen biasanya dilakukan oleh Ema Malun (anggota suku Be
Bata-Uma Karoti)
Atap
rumah biasanya hampir menyentuh tanah maka bagian dalam rumah itu gelap gulita
tetapi sejuk rasanya. Suasana gelap dan sejuk melambangkan bahwa manusia itu
lahir dari satu dunia yang suci (gelap) dan penuh ketenangan (sejuk). Alasan
dasar kenapa atap rumah adat di wilayah Kabupaten Malaka lebih dominan
beratapkan daun gewang karena di tempat ini banyak pohon gewang yang tumbuh.
Sedangkan di wilayah Kabupaten Belu, pengatapan rumah adat menggunakan daun
gewang. Maka ada istilah adat yang berbunyi: “uma tahan ida, uma hae ida”.
Pernyataan ini mau menunjukkan bahwa pengatapan rumah adat baik menggunakan
daun gewang maupun alang-alang sebenarnya sama, tidak ada unsure mistis atau
tanda keramat yang membedakan design pengantapan rumah adat ini.
Adapun Konsep pembagian tata ruang
dan fungsinya adalah menggunakan konsep uma Timur, sebagai berikut:
- a) Labis Kraik (Teras): sebagai tempat
menerima tamu dan duduk santai.
- b) Labis Leten (Ruang Tamu): sebagai
tempat untuk menerima tamu dan melakukan kegiatan upacara adat seperti
peminangan dan pernikahan.
- c) Kean Mane Fou (Ruang Tidur Menantu
Pria): sebagai kamar tidur menantu pria yang baru setelah tunangan (terang
kampong atau tukar cincin).
- d) Labis Laran (Ruang Keluarga):
sebagai ruangan untuk tempat untuk makan dan juga tidur bagi seluruh anggota
keluarga baik orang tua maupun anak-anak.
- e) Loka Laran (Ruang Tidur Anak Gadis):
sebagai tempat tidur untuk anak gadis yang menginjak usia dewasa.
- f) Ai Lalao (Tempat Bersalin): sebagai
kamar bersalin sampai dengan bayi berumur 40 hari. Posisinya dekat dengan
tungku api supaya bayi dan ibunya tidak kedinginan.
- g) Hai Matan (Tungku Api): Sebagai tempat
untuk masak atau mengolah makanan keluarga.
- h) Klot We (Tempat Air): sebagai tempat
untuk menyimpan air minum di dalam guci (Lolo,Tetum) yang terbuat dari tanah
liat.
- i)
Kahak
Leten (Loteng): sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan seperti padi dan
jagung dll.
- j)
Bahani:
Sebagai tempat untuk menyimpan pusaka leluhur.
Dalam pengantapan rumah adat, ketika
sudah selesai, biasanya dilakukan pemotongan rebis daun gewang yang sudah
kering (ta tateten). Kebiasaan ini dilakukan agar rumah itu
mendapatkan terang sinar mentari dan tidak terlihat gelap seperti di dalam gua.
Pola/
tata ruang dalam arsitektur tradisional Malaka-Suku Tae Hutun Kaweran secara
hirarkis dibagi atas dua, yakni secara horisontal dan secara vertikal. Secara
horisontal pola ruang pada arsitektur rumah adat di Malaka-suku Ta’e Hutun
Kawera (uma fukun) dibagi atas tiga ruang (berdasarkan adat perkawinan/kawin masuk/matrilineal),
dengan ruang tengah sebagai inti rumah, ruang ini bersifat profan, yakni
digunakan juga dalam aktifitas sehari – hari serta sakral karena digunakan
sebagai tempat melakukan aktifitas upacara adat dalam rumah, juga bersifat
sakral dikarenakan ada benda-benda peninggalan para leluhur. Bagian depan rumah
merupakan ruang yang bersifat profan serta terbuka untuk umum. Dikatakan
terbuka untuk umum karena ruang ini boleh dimasuki oleh segala gender dari
segala usia (siapa saja boleh masuk/ tidak ada ikatan adat).
Secara
vertikal rumah tradisional Malaka-suku Ta’e Hutun Kawera, dibagi menjadi tiga
bagian besar, yakni kolong rumah (o’hak
laran), bagian dalam rumah - diatas panggung (uma Laran) serta bagian atas/ loteng rumah (kahak Leten). O’hak
Laran berfungsi sebagai tempat untuk menenun, anak-anak bermain dan memasak yang
sekarang dilakukan di luar rumah. Sebenarnya o’hak laran merupakan tempat yang
tidak dipakai untuk aktifitas (tinggi panggung 80 cm) karena dipercaya sebagai
tempat dunia orang mati, tetapi akibat bertambahnya kebutuhan, ruang-ruang ini
berubah fungsi sebagai tempat aktifitas sehari – hari. Uma laran merupakan
tempat tinggal manusia, dipercaya sebagai dunia orang hidup. Yang terakhir
bagian yang dianggap sakral/suci, Kahak leten tempat menyimpan benda adat
dipercaya sebagai dunia leluhur. Kahak leten ini dibagi atas dua bagian menurut
fungsinya yakni kahak Lor tempat menyimpan benda pusaka/kakaluk dan kahak kotuk
difungsikan sebagai lumbung makanan. Pola ruang luar pada permukiman
(perkampungan) tradisional Malaka (Uma Fukun) pada dasarnya memiliki konsep dan
hirarki ruang yang identik dengan pola/hirarki pada tata ruang dari dalam
arsitekturnya.
2.4 Pemisahan Uma Ta’e Hutun Kaweran
dan Uma Tema
Pada mulanya Uma Ta’e Hutun Kaweran
dan Uma Tema hanya satu rumah adat. Namun dalam
perjalanan sejarah setelah manusia semakin banyak dan kebutuhan pelayanan
semakin meningkat maka dipandang perlu adanya pembagian tugas yang baru.
Gagasan pembagian tugas yang baru ini akhirnya dipelopori oleh beberapa Raja
Liurai Wehali yang datang dan berbicara dengan Nenek Klara Hoar. Selanjutnya
terjadilah pembagian tugas dan akhirnya dipelopori oleh beberapa Raja Liurai
Wehali yang datang dan berbicara dengan Nenek Klara Hoar. Selanjutnya
terjadilah pembagian tugas dan diikuti pembagian rumah yang diberi nama: Uma
Ta’e Hutun Kaweran dan Uma Tema. Masing-masing memiliki peran dan fungsi yang
sailing melengkapi. Uma Ta’e Hutun Kaweran sebagai uma Feto dan Uma Tema
sebagai Uma Mane. Maka sering kita mendengar pernyataan: Uma Tema ita uma Ina
Ama. Yang dimaksudkan Uma Ina Ama adalah kedua rumah ini.
Berdasarkan cerita lisan yang
diwariskan turun temurun, konon tempo dulu ketika Be Seran Tema sai ba
nalaok tugas, Iba Lera yang menjaga rumah dan menunggu saudaranya. Kubur mereka
bersebelahan dan telah menjadi fosil batu. Semua anggota suku meyakini bahwa
tempat itu adalah tempat bersejarah tentang sejarah asal usul suku mereka.
2.5 Benda-benda Pusaka Warisan
Leluhur
Benda-benda pusaka leluhur merupakan
benda budaya yang dikategorikan sebagai:[3]
- ·
Benda
budaya yang merupakan karya historis kaum pribumi.
- ·
Benda
budaya yang memiliki kekuatan magis.
- · Benda-benda
alamiah yang memiliki fungsi dan peranan di dalam kehidupan masyarakat namun
jarang digunakan.
Benda-benda pusaka yang dimiliki
antara lain:
No.
|
Nama Benda Pusaka
|
Jumlah
|
Keterangan
|
1.
|
Surik
Lulik (Pedang Pusaka)
|
1
|
Baik
|
2.
|
Kbelak (matahari) adalah perhiasan
dada yang berbentuk liontin gong dan biasanya dibuat oleh para penempah besi
yang mempunyai keahlian khusus. Masyarakat Malaka biasanya menyebut tukang
penempah besi dengan sebutan besi
badaen.
|
3
|
Baik
|
3.
|
Morten ialah kalung berisi
untaian manik-manik sebagai budaya yang familiar di Timor. Kalung leher ini
memiliki kaidah keindahan yang sangat tinggi.
Di Belu dan Malaka masyarakat
menyebutnya morten, sedangkan di daerah Dawan, Rote dan Sabu disebut muti
atau muti salak. Konon peredaran morten sudah dilakukan sebelum zaman VOC
melalui berita-berita lisan zaman pemerintahan raja-raja Timor-Sabu dan Rote.
Morten dianggap sebagai harta mulia yang amat penting selain emas, perak dan
perunggu. Karena morten memiliki daya pikat luar biasa dan mampu mempererat
rasa kekeluargaan. Wanita dan pria memakai morten saat menghadiri pertemuan
baik rohani maupun pemerintahan. Bagaikan untaian mutiara, kemilau morten
segera menarik perhatian orang di sekitar lalu datang beramah-tamah dengan
pemakainya. Suasanapun langsung begitu familiar.
Sebenarnya morten merupakan
perhiasan leher wajib bagi wanita dan pria di sini untuk pertemuan atau
pentas tarian bidu dan likurai. Sering orang tidak memakainya karena
pertimbangan keamanan diri saja. Tak heran bahwa kepemilikan morten menandai
status, keberhasilan, kekayaan dan martabat. Akan tetapi kini terdapat banyak
morten bukan lagi barang asli melainkan tiruan yang didatangkan dari luar
pulau. Kalau morten asli memiliki harga amat mahal yang kira-kira setara
dengan beberapa ekor sapi atau kerbau. Kini morten asli hanya dimiliki oleh
keluarga-keluarga terpandang Timor saja.[4]
|
2
|
Baik
|
4.
|
Lukton adalah uang koin kuno yang
terdapat cetakan atau tulisan Ratu Wilhelmina de Nederlanden dari Belanda.
Uang koin ini ada di Indonesia bersamaan dengan penjajahan Belanda sehingga
mata uang sisa menjadi barang koleksi yang memiliki nilai budaya yang sangat
mendalam. Masyarakat Malaka yang menganut perkawinan matrilineal biasanya
menjadikan lukton sebagai salah satu mahar kawin yang harus diberikan
keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan bersamaan
dengan mama lulik (sirih pinang pemali).
|
2
|
Baik
|
5.
|
Riti Fui
(gelang tangan)
|
1
|
Baik
|
6.
|
Kloat
(Tempat sirih pinang matabian/leluhur):
Be Seran Tema, Be Bau Modok, Klara Hoar dan seluruh anggota suku atau
keluarga yang sudah meninggal dunia.
|
6
|
Baik
|
2.6
Ritus-ritus Upacara adat Suku Ta’e Hutun Kaweran
2.6.1
Tata Ritus Peresmian Rumah Adat Yang Baru
Ada
beberapa tahapan yang biasa dilakukan dalam peresmian rumah adat setelah
tahapan persiapan dan pembuatan rumah adat (uma lulik) yakni:
- a) Katak ema:
mengundang semua keluarga secara lisan
- b) Hatais Lulik:
pembersihan barang-barang peninggalan para leluhur dan penggantian kloat yang
baru. Kebiasaan ini dilakukan oleh Kepala Suku dengan memotong seekor ayam
jantan sebagai tanda minta restu dari para leluhur untuk kegiatan pembersihan
ini.
- c) Kuru We Fohon:
pengambilan air yang dianggap sacral yang dilakukan oleh Kepala Suku dan salah
satu anggota suku. Waktu pengambilan airnya yakni saat subuh dan diisi dalam
tempayan. Air yang diambil biasanya di sumber mata air.
d) Perarakan
barang-barang leluhur menuju rumah adat yang baru, dengan urutannya sebagai
berikut:
Ø Tim
Likurai
Ø Petugas
pembawa barang-barang pusaka leluhur
1. Pembawa
biti (tikar)
2. Pembawa
barang-barang pemali leluhur oleh ferek fukun
3. Pembawa
Surik Lulik (Klewang Pusaka) Oleh Kepala Suku
4. Pembawa
Tempat sirih Leluhur
5. Pembawa
Hanematan (tempat sirih untuk upacara adat), babarak (nyiru), knedok dll
6. Pembawa
We Fohon yang diisi dalam tempayan
7. Petugas
Hatiu Fahi (memikul babi)
Ø Para
Fukun (Kepala Suku yang ada di wilayah Kateri) dan Para tua adat
Ø Para
Undangan dan kalayak umum
e) Hoda Fahi Ba Kakuluk
(persembahan darah babi pada tiang agung oleh Kepala Suku sebagai ungkapan
syukur dan permohonan kepada para leluhur)
f) Ha adat:
acara makan adat dalam posisi tur sabete (duduk bersila) dalam bentuk
lingkaran.
g) Penerimaan
mama lulik (sirih pinang pemali) yang
diambil dari kloat yang ada di dalam rumah adat.
h) Acara
syukuran sebagai ungkapan bahagia yang biasanya dibuat dalam bentuk menari
bersama yakni: Likurai, bidu dan Tebe.
2.6.2
Hamis Batar atau kari Batar
Hamis
batar tinan sebagai tanda bahwa secara resmi petani dapat memanen jagung yang
ditanam dan dinikmati bersama. Upacara Hamis Batar merupakan salah
satu bentuk kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Belu dan Malaka yang dipimpin oleh
Tetua Adatnya untuk menyambut musim petik jagung atau panen jagung, sebagai wujud
rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta. Hamis menurut bahasa setempat
berarti syukur dan batar berarti jagung. Masyarakat percaya bahwa hasil jagung
yang akan mereka peroleh merupakan karunia Sang Pencipta. Rasa syukur ini
diwujudkan denganmempersembahkan jagung yang terbaik hasil panen kepada Yang
Maha Kuasa.
Sebelum
upacara dimulai para kepala keluarga turun ke kebun masing-masing untuk memetik
sebuah jagung termuda dan paling bagus. Setelah itu mereka berkumpul di tempat
upacara dan diadakan seleksi jagung yang paling bagus. Jagung yang paling baik
kemudian diletakkan di troman (tiang agung) yang
terbuat dari tumpukkan batu yang dikelilingi batu-batu kecil untuk meletakkan
jagung baik yang lainnya.
Setelah
semua batu tertutup oleh jagung muda, Ketua Adat kemudian memimpin doa
persembahan jagung kepada Sang Pencipta dan memohon agar jagung yang dipanen
bermanfaat. Seusai berdoa, upacara dilanjutkan dengan menyebar jagung-jagung ke
seluruh kebun untuk dipersembahkan kepada Penguasa Tanah, Foho No Rai, yang
telah memberikan tanah dan kesuburan jagung. Upacara dilanjutkan dengan batar
babulun, pencabutan pohon jagung secara utuh, untuk dibawa ke kampung dan
diikat pada tiap-tiap kayu tiang agung yang sesuai dengan fungsinya,
yaitu karau sarin (untuk beternak sapi), fahi ahuk (untuk
beternak babi dan fatuk (untuk orang-orang tua atau ektua
adat). Seiring dengan upacara tersebut diadakan batar fohon, yaitu
acara pemotongan batang buah jagung menjadi 12 potong untuk diserahkan kepada
Ketua Adat, dan selanjutnya Ketua Adat menentukan waktu upacara inti.Upacara
inti hamis batar itu sendiri merupakan proses persembahan
sesaji/jagung-jagung yang baik yang telah dikupas dan dibakar kemudian
dimasukkan kedalam gantang penyimpanan jagung yang disebut hane matan untuk
dipersembahkan di tempat-tempat yang dianggap keramat (Ksadan, We Lulik dll).
Pada proses pembakaran jagung, api yang digunakan merupakan api khusus yang
disebut Tahu Hai yang dibuat oleh ketua adat dengan
menggosokkan sepotong batu berwarna merah dengan sepotong besi yang disertai
serbuk dari pohon enau. Pembakaran dilakukan dengan tiga buah tungku yang
diiringi dengan pembacaan doa oleh ketua adat.
Untuk
Suku Tae’e Hutun Kaweran memiliki ritual khusus dalam hal hamis batar atau kari
batar. Upacara hamisan dimulai dari Uma Kakaluk dengan kehadiran kepala Suku
dari Be Tema, Be Rai dan Ta’e Hutun Kaweran. Tahap awal dari upacara syukur ini
adalah halo mama (persembahan sirih pinang kepada leluhur) di Uma Kakaluk.
Setelah itu dilanjutkan halo mama di Uma Tafatik (Be Rai) dan Akhirnya di Uma
Bot atau Uma Suku Be Tema dan Uma Suku Ta’e Hutun Kaweran. Kegiatan upacara
hamisan sangat membutuhkan keterlibatan dari tiga Kepala Suku yakni dari Suku
Ta’e Hutun Kaweran, Be Tema dan Be Rai serta semua anggota sukunya. Setelah
kegiatan halo mama selesai maka 4 Suku lain yang berada di wilayah Kateri bisa
mengadakan upacara hamisan pada hari yang bersamaan.
Kompas.com pada 3 September 2012 menulis bahwa di kalangan
orang Timor, ritual ini dikenal luas dan tetap dipertahankan hingga sekarang.
Masyarakat NTT termasuk Timor sejak lama mengandalkan jagung sebagai bahan
pangan utamanya, meski belakangan mulai tergusur oleh beras. Namun bagi
masyarakat terutama pedesaan, jagung tidak sekadar bahan pangan. Tanaman
semusim itu diyakini sebagai tanaman yang memiliki “roh” hingga budidayanya
selalu disertai ritual ksusus seperti hamis.
Masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran selalu bersyukur akan
hasil panen yang diterima, ini ditandai dengan hamis yang mereka lakukan setiap
tahunnya. Menurut mama Brigita Abu, seorang guru SD dari suku Suhi, sewaktu
masa kecilnya pernah terjadi kekeringan yang berkepanjangan sehingga tidak ada
jagung yang bisa dipakai untuk ritual. Namun ritual hamis tetap dilaksanakan
dengan menggunakan sirih pinang sebagai penggantinya.
2.6.3
Tunu Ba Mata Bian (Penyembelihan darah
kurban hewan pada kakuluk atau tiang agung di rumah adat beruba ayam atau babi
kepada para leluhur)
Upacara
Tunu Ba Mata Bian merupakan salah satu kearifan budaya dan merupakan harta yang
ditinggalkan oleh leluhur kepada generasi penerusnya. Masyarakat anggota suku
percaya bahwa dengan menjalankan ritual adat ini maka mereka dapat perlindungan
dari para leluhur berupa matak malirin (berkat dan perlindungan). Tindakan Tunu
Ba Mata Bian biasanya dilakukan oleh Kepala Suku dan dihadiri oleh semua
anggota suku dan bisa juga hanya dihadiri oleh salah satu anggota keluarga
bersama Be Fukun dan Ferek Fukun. Tindakan tunu ini dengan intense dasarnya
adalah untuk memohon agar diberikan kesehatan, semangat dalam kerja, memohon
izin untuk merantau, dan permohonan yang lainnya. Makna kurban ayam dan babi
adalah membawa keselamatan bagi mereka yang memiliki keyakinan akan peran para
leluhur di dalam keseharian hidup
mereka.
Upacara
Tunu Ba Mata Bian melalui tahapan sebagai berikut:
Ø Halo
mama, sarana yang dibutuhkan adalah fuik (daun sirih) no bua (buah pinang) yang
ditaruh di kabir (tempat sirih pinang). Daun sirih itu dipilih dan dilihat
tulang daunnya harus saling berhubungan dari sisi kiri dan kanan dan dipilih 7
lembar daun sirih serta pinang yang sudah kering dan cara belahnya dalam bentuk
lingkaran. Hal ini menandaskan tentang pentingnya kesakralan dalam penghormatan
kepada para leluhur.
Ø Penyembelihan
darah kurban hewan pada kakuluk (tiang agung) dan sebagian darah lainnya
dialiri pada sirih pinang yang telah dipilih dan setelah itu menunggu sampai
hewan kurban mati.
Ø Melihat
usus ayam untuk mengetahui apakah para leluhur menyetujui tindakan Tunu Ba Mata
Bian ini. Untuk hewan kurban berupa manu (ayam), ususnya akan dikeluarkan
melalui anusnya secara perlahan-lahan untuk mendeteksinya. Sedangkan hewan
kurban lainnya beruba babi maka akan dilihat pada hatinya.
Ø Setelah
itu dilanjutkan dengan prose tein etu no naan (memasak nasi dan daging). Untuk
daging proses mengolahnya tidak diraciki dengan bumbu-bumbu dapur.
Daging-daging hewan kurban yang telah dipotong menjadi beberapa bagian langsung
dicuci dan dimasukan ke dalam periuk yang sudah ada airnya.
Ø Ketika
proses memasak telah selesai, dilanjutkan dengan persembahan etu no naan (nasi
dan daging) kepada para leluhur dengan menaruhnya pada sebuah bikan (piring).
Ø Selanjutnya
proses makan bersama
Ø Penerimaan
sirih pinang pemali dan langsung dimakan dan tidak boleh membuang air liur
keluar.
Masyarakat
suku Ta’e Hutun Kaweran sangat mencintai alam sekitarnya dan sangat menghormati
adat istiadat yang sudah ada sejak turun temurun. Selain itu masyarakat juga
sangat menghormati maromak dan para leluhur. Untuk mendapatkan perlindungan,
masyarakat percaya bahwa mereka harus meminta perlindungan dari roh para leluhur.
Roh para leluhur akan memberikan perlindungan kepada keluarga yang mendiami
sebuah rumah baik di perkampungan Kateri maupun di tanah rantau.
2.7
Ksadan Yang Dimiliki oleh Suku Ta’e Hutun Kaweran dan Juga Suku Be Tema
Ksadan
(bahasa Tetum) adalah sebuah bangunan megalitik yang menandakan tata cara dalam
kebiasaan pada masa prasejarah dan hingga kini dianggap sebagai tempat yang sakral
atau keramat karena mengandung nilai historis dari suatu suku di wilayah
Kabupaten Belu dan Malaka. Ksadan adalah bangunan Kuno yang merupakan peninggalan
purbakala. Ksadan menjadi media yang membuktikan realitas kehidupan manusia
pada masa lalu melalui kajian-kajian arkeologis karena ksadan sebagai sebuah
tempat jejak-jejak kehidupan manusia pada masa silam.
Sebagai
situs arkeologi nasional, bangunan Ksadan secara esensial maupun eksistensial
telah menunjukkan warisan ilmu pengetahuan-budaya arkeologis. Bangunan Ksadan
dan aktivitas manusia di dalamnya telah melewati enam (6) zaman-zaman budaya
(Bdk. Edi Sedyawati: 2007, PP.290-292). Keenam zaman-zaman budaya itu ialah:[5]
Pertama, zaman prasejarah awal. Zaman ini ditandai dengan
kehidupan nomaden atau hidup berpindah-pindah. Penghidupan masyarakat dilakukan
lewat meramu, mencari ikan, mencari kerang di pantai dan berburu di hutan.
Masyarakat belum hidup menetap dan berkelompok. Istilah arkeologisnya disebut
Paleo dan Meso-lithik. Penggunaan batu, kayu dan tulang sebagai peralatan hidup
menjadi yang utama. Zaman batu ini terlihat dalam substansi bangunan Ksadan
yang hampir 100% terdiri atas batu, hal mana menunjukkan kesan bahwa pembuatan
Ksadan masih melekat pada masa prasejarah awal begitu kentara. Tempat tinggal
manusia masa prasejarah adalah pada gua-gua batu dengan makanannya adalah hewan
buruan dan ikan, dedaunan dan buah-buahan di hutan.
Kedua, zaman prasejarah akhir. Zaman ini terdiri 2 babakan yakni
Neolithik dan Perunggu Besi. Pada masa ini manusia mulai hidup menetap dan
bercocok tanam. Pada masa perunggu besi ini, manusia mulai mengenal pembuatan
alat-alat logam serta mulainya pengelompokkan masyarakat berdasarkan pada
keahlian khusus. Menhir pada bagian dalam bangunan Ksadan dan bahan-bahan
persembahan pada Dewata yang mulai beragam menunjukkan bahwa manusia pada zaman
ini mulai beradab. Mereka telah mengenal ritus dan upacara-upacara religi
teristimewa kepada leluhur dan pemimpin suku yang terkenal.
Ketiga, zaman Hindu-Budha. Zaman ini terlaksana melalui penaklukan kelompok-kelompok
intern suku-suku teristimewa oleh penguasaan atas kekuasan Timor oleh
kebudayaan Hindu dan Budha dari kerajaan Majapahit dan Sriwijaya. Pada masa ini
kebudayaan tarian, nyanyian, pantun, seperti lakmerin, tebe, likurai dan
bidu mulai menonjol dalam setiap kali hajatan di situs Ksadan atau dalam pesta
suku dan keluarga. Juga terdapat adanya seni pertunjukan musik dan
kaidah-kaidah estetik, norma-norma adat, moral serta hukum bertumbuh pada masa
ini. Selain itu seni anyaman dari daun lontar dan daun pandan hutan dan
pembuatan gerabah dari tanah liat mulai dikembangkan pada masa ini.
Konon
dulu di wilayah Belu dan Malaka ditemukan banyak deretan lelubang tanah yang
diduga merupakan bekas tambang tanah liat untuk keperluan pembuatan barang
keperluan kebutuhan peralatan dapur, seperti periuk tanah, kumbang air minum
dari tanah liat. Dalam hal ini para pelaku ritus bukan hanya para penikmat seni
namun juga pelaku seni tradisional. Stratifikasi sosial masyarakat juga
terbentuk secara rapih, dan hal itu terekam dalam pembagian tugas di Ksadan.
Singkatnya pada masa ini, kaidah-kaidah estetis manusia bertumbuh pesat pada pengaruh
kekuasaan Hindu dan Budha atas Timor, khususnya tetum ini.
Keempat, zaman Islam. Dalam periode ini dikatakan bahwa kebudayaan Timor
mendapat pengaruh signifikant dari budaya muslim melalui para pedagang asal
kerajaan Ternate (Ardhana:2007). Kerajaan Ternate dalam sejarahnya dikatakan
pernah menguasai Timor. Pada masa ini mulai dilaksanakan adanya
perdagangan-perdagangan di pesisir pantai yang disebut: Papalele. Pengaruh
muslim terpampang di atas warisan budaya zaman prasejarah awal, zaman prasejarah
akhir dan zaman Hindu dan Budha, hal mana sangat kuat seperti yang terjadi pada
masyarakat muslim-Jawa yang mengakarkan iman muslimnya pada 3 warisan budaya
masa lampau yakni masa prasejarah awal, masa prasejarah akhir serta masa Hindu
dan Budha.
Pengaruh
Muslim atas bangunan Ksadan sedikit terasa. Sedikit terdeteksi pada adanya
ritus adat sunatan tradisional Belu. Namun masih tetap dipertanyakan: Apakah
ritus adat sunatan tradisional Belu berasal dari periode masa Islam di Belu,
masih perlu penyelidikan secara lebih intensif. Sesuatu yang pasti bahwa
pengaruh muslim atas Timor, khususnya kerajaan Ternate secara esensial
dihentikan oleh penaklukan kaum kolonial yakni Portugis, Belanda dan Inggris
yang membawa serta agama Kristen.
Penyebaran
agama oleh kolonial Belanda lebih kepada agama kristen Protestan sedangkan
Portugis pada agama kristen Katolik. Setelah para pedagang dan penakluk muslim
dikalahkan kolonial Portugis, Belanda dan Inggris maka dimulailah kekuasaan
kaum kolonial atas Belu.
Kelima, zaman kolonial. Selain pemerintahan, kegiatan kaum kolonial lebih banyak
terkonsentrasi pada penyebaran agama khususnya agama kristen Katolik dan
pembabtisan raja-raja ke dalam lingkup teritorial kaum kolonialis itu di
wilayah Belu. Pada abad-abad awal penyebaran agama kristen, paham kekristenan
pada zaman Eropa abad pertengahan masih ikut mewarnai paham kekristenan itu.
Pada abad pertengahan di Eropa, kekuasaan paderi Katolik dan biarawatan/i
Katolik serta kemudian para pendeta Kristen Protestan sangat kuat di dalam
masyarakat, jauh lebih kuat dari pengaruh kekuasaan dan aktivitas pemerintahan
negara.
Kolonialisme
di Indonesia terjadi karena kedatangan Portugis, Belanda dan pada waktu yang
singkat Inggris. Demi tujuan ekonomis, akhirnya kaum kolonialis menguasai Belu-Indonesia
dari segi militer dan politik. Diperkenalkan gagasan baru seperti prinsip
keilmiahan, sistem pendidikan formal, nyanyian ber-not, alat-alat musik,
bentuk-bentuk kesenian Eropa. Maka bangunan Ksadan dan manusianya pun mengalami
perubahan signifikant dalam ketertekanan oleh bangsa Eropa. Mata uang Gulden,
mata uang Portugal, tenunan sutera dari orang China yang merupakan perpanjangan
tangan bangsa kolonial menjadi nampak. Aktivitas perdagangan di sekitar Ksadan
juga sangat terasa.
Peran
sentral raja-raja sebagai penguasa kolonial makin kuat juga. Sistem feodal
merajalela. Rakyat Ksadan tertekan keras. Selama masa ini jarang dilakukan
upacara di Ksadan akibat dilarang penjajah, terlebih karena dianggap berbau
kafir. Namun akhirnya penguasa kolonial juga tak mampu mengurusi dan campur
tangan dalam aktivitas di dalamnya. Dalam arti tertentu penjajah melarang ritus
adat di bangunan Ksadan, namun dalam arti lain mereka ingin mengambil untung
dari kehadiran adat istiadat Ksadan demi kepentingan imperialisme mereka.
Penyebaran
agama Katolik yang berbarengan dengan imperialisme itu dalam arti tertentu
telah dianggap sebagai alat ampuh dalam penjajahan Eropa atas wilayah Belu.
Pada masa kolonialisme, kolaborasi pemimpin agama dengan penguasa lokal
(para raja) telah menunjukkan tampilan pemimpin agama dalam masa kolonial
sebagai penguasa masyarakat, seperti yang juga terjadi di Eropa dalam masa abad
pertengahan. Pendidikan dasar yang tidak seberapapun itu hanya dinikmati
kalangan elitis rakyat.
Selain
agama melarang acara ritus yang berlebihan di Ksadan karena dianggap berbau
kafir, namun di satu sisi agama juga ingin mengambil keuntungan melalui
pengakaran agama ke dalam budaya tetum. Alhasil, hingga saat ini, pengaruh
Katolik melanjut pada suatu sosok kuat zaman prasejarah awal, prasejarah akhir,
zaman Hindu-Budha, zaman Muslim yang dalam banyak hal masih terbawa terus
hingga saat ini dalam ekspresi budaya meskipun nampak dari luar bahwa agama
Katolik yang terutama dipraktekkan atau dianut secara mayoritas orang tetum.
Istilah yang paling terdengar ialah Inkulturasi, di mana agama berusaha
berdamai dengan tradisi budaya adat istiadat dalam Ksadan.
Bentuk-bentuk
kesenian Eropa yang lebih maju diperkenalkan, juga nyanyian bernotasi, aksara
latin, bahasa barat (Belanda), keramik, peralatan rumah tangga dari logam,
minuman beralkohol. Tentu masyarakat kalangan penguasa dan ningrat menjadi
kalangan yang paling utama diperhatikan setelah itu baru kalangan rakyat
jelata. Kolonial Belanda berusaha agar para raja yang diakuinya dapat
mengambil alih peran yang lebih besar atas kekuasaan di Ksadan namun pada
saat yang sama telah muncul kekuasaan Volksbestuurder sebagai saingan utama
Zelbsbestuurder. Dalam hal ini peran Volksbestuurder lebih terasa di Ksadan.
Keenam, zaman kemerdekaan RI. Pada zaman kemerdekaan RI suasana
kebebasan sangat terasa. Pendidikan makin maju dan meningkat dari tahun ke
tahun. Zaman kemerdekaan lebih kepada pewarisan zaman kolonial yakni pengambil
alihan segala budaya Eropa menjadi bentuk-bentuk baru yang relevan dengan
budaya Indonesia sekaligus menjadi lebih bersifat nasional. Mobilisasi dan
akultutasi budaya Ksadan meningkat drastis.
Ekspresi
seni-budaya tradisional Ksadan menjangkau dunia yang semakin luas yakni dunia
nasional Indonesia. Kebudaayaan Ksadan telah menjadi salah satu warisan budaya
nasional menunjukkan bahwa Ksadan melintasi batas-batas kesukuan dan menjadi
lebih bersifat nasional dan universal.Sebagai perkumpulan masyarakat adat
(gemeinschaft), Ksadan menjadi tempat berdialog dan pertemuan menggalang
kekuatan dan semangat dalam kehidupan demokrasi, tetapi terlebih merupakan
bagian dari tradisi adat istiadat tetum.
Dengan menyimak
semuanya itu nampaknya kedudukan acara Ksadan agaknya masih tetap relevan
dengan kehidupan zaman kini, karena Ksadan mewakili kekokohan tardisi selama
berabad-abad dan telah terbukti bahwa sebagai sebuah aktivitas budaya
tradisional, ia membawa manusia menuju kesadaran manusia akan nilai-nilai
kehidupan dalam keberadaban dan dalam kualitas manusia Belu yang akan tetap
langgeng, seperti juga keberadaan adat istiadat yang akan tetap langgeng.
Agaknya tradisi adat istiadat-budaya dalam Ksadan akan tetap kuat bertahan
diterpa angin perubahan dalam jangka waktu yang lama menuju ke masa depan. Adapun
Ksadan yang dimiliki oleh suku Ta’e Hutun Kaweran Kateri yang letaknya di dekat
SMP Negeri Kat antara lain:
a) Tumpukan batu yang pertama adalah
Uma Tuan Ta’e Hutun Kaweran (Rumah pertama suku Ta’e Hutun Kaweran dan Be Tema). Keluarga
meyakini bahwa itu sebagai tempat pertama rumah adat Ta’e Hutun Kaweran,
berdasarkan factor pembuatan rumah adat biasanya dekat sumber mata air. Tempat
ini sangat dekat dengan mata air We
Babene
b)
Batu
fosil yang telah berumur ratusan tahun. Batu fosil ini adalah kuburan tua Bei
Seran Tema dan Bei Iba Lera
Kuburan
Bei Seran Tema
|
Kuburan
Bei Iba Lera
|
c)
Tumpukan
batu berbentuk lingkaran sebagai tempat transaksi faen ata (penjualan dan
pembelian para budak atau hamba) karena zaman dulu di kateri kekurangan populasi
manusia.
Batu tempat menjual para hamba oleh raja (Nain). Doc.Setapak Rai Numbei |
.
BAB III
MENIMBANG
UPACARA HALIRIN UMA LULIK (RUMAH ADAT) KE DALAM KEBAKTIAN KRISTIANI KATOLIK
3.1 Nilai-nilai Simbolisme Rumah
Adat
Menurut
Abdul Aziz Said (2004:49) pada semua kebudayaan tradisional, rumah merupakan
karya manusia dalam wujud tiga dimensional yang dianggap memiliki peranan yang
sangat penting dalam kehidupan. Rumah menciptakan ‘ruang khayal’ di dalam ruang
nyata yang dapat dipergunakan, tempat yang membatasi ‘sesuatu’ terhadap dunia sekitarnya
dan bertujuan menjadikan manusia sebagai ‘bagian utama’ dari lingkungan
sekelilingnya. Lebih lanjut Abdul Aziz Said mengatakan, bahwa bagi masyarakat
tradisional, rumah dibangun atau didirikan, dihuni dan dipergunakan oleh
manusia, bukan sekedar untuk mewadahi kegiatan fisik belaka, yang hanya
mempertimbangkan segi kegunaan praktis semata seperti untuk tidur, bekerja dan
membina keluarga. Bagi mereka, rumah merupakan ungkapan ‘alam khayal’ pikiran
dalam wujud nyata yang mewakili alam semesta, dimana alam pikirannya selalu
diliputi oleh mitos dan bayangan terhadap sesuatu (dewa-dewi) yang mempunyai
kekuatan atau kekuasaan yang mengatur alam ini.
Oleh karena itu, membangun sebuah rumah
berarti menciptakan sebuah alam kecil (mikrokosmos) di dalam alam semesta
(makrokosmos), sehingga dianggap memulai hidup baru. Hal inilah yang menjadi
konsep dasar dalam setiap upaya mendirikan bangunan pada masyarakat
tradisional. Rumah tradisional di beberapa daerah (negara) di Asia Tenggara
pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya (termasuk juga di Nusa Tenggara
Timur) diakui mempunyai banyak signifikansi. Ruang di dalam rumah yang
merupakan wadah tiga dimensional, tidak hanya sebagai suatu bagian yang
membatasi ruang dengan dunia sekelilingnya secara fisik, tetapi juga dalam arti
keberadaanya sebagai ruang merupakan ungkapan simbolik (Said, 2004: 52).
Terdapat pengertian yang lebih luas mengenai konsep dan struktur kosmos,
seperti strata atau hirarki vertikal mengenai ‘surga’ (dunia atas), dan
‘bumi’(dunia bawah) atau aturan-aturan horisontal yang mengacu pada titik pusat
(‘cardinal point’), termasuk juga catatan mengenai lokasi antara gunung dan
laut. Kesemuanya itu dirangkum dalam simbolik dan divisualisasikan pada wujud
bagian-bagian rumah, yang bertujuan untuk menentukan posisi rumah di lingkungan
alamnya. Dengan demikian rumah merupakan suatu miniatur kosmos atau dapat
disebut gambaran mengenai mikrokosmos (‘jagad kecil’).
Konsep
mikrokosmos dan makrokosmos ini juga ditemui dalam kehidupan masyarakat dan
kebudayaan Malaka pada umumnya, dan masyarakat yang mendiami kampung Kateri-Suku
Ta’e Hutun Kaweran di Desa Kateri Kecamatan Malaka Tengah Kabupaten Malaka.
Rumah-rumah adat atau setiap perkampungan di Malaka mempunyai tatahan yang
integral dengan bangunan-bangunan megalitik berupa Aitos yang terdapat di
setiap ksadan rumah setempat.
Kenyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Beding dan Lestari
(2003: 54) bahwa alam nyata tidak dapat dipisahkan begitu saja dengan alam
baka; betapa tergantung dan berhubungan dengan mikrokosmos (‘jagad kecil’) dan
makrokosmos atau alam semesta. Penataan atau tata letak rumah-rumah dalam pola
pemukiman tradisional di Malaka (termasuk juga di kampong Kateri-Suku Ta’e
Hutun Kaweran) yang ditata secara cluster di dalam perkampungan. Gugusan
rumah-rumah tinggal biasa yang terdapat dalam pemukiman tradisional perkampungan
nampaknya tidak ada ketentuan khusus mengenai perletakannya dalam tata
tapaknya, kecuali 3 rumah suku harus dibangun saling berhadapan seperti lalian
(tungku api) yakni uma suku Be Tema, Uma
Ta’e Hutun Kaweran dan uma Kakaluk.
Pada
umumnya arsitektur rumah adat dan rumah tinggal dalam kehidupan masyarakat
budaya Malaka memiliki arti dan makna tertentu, baik secara praktis maupun
religius. Para ahli antropologi, sosiologi dan arkeologi mengatakan bahwa
arsitektur dan penataan rumah-rumah adat dan rumah tinggal dalam kebudayaan
masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur berkaitan erat dengan makna-makna
simbolis dan religius. Pembuatan dan pendirian perkampungan maupun rumah adat
dan rumah tinggal tersebut selalu dikaitkan dengan harapan dan permohonan yang
disampaikan kepada sang pencipta untuk ketentraman, keamanan dan kesejahteraan
melalui perantaraan para leluhur mereka. Sebagaimana telah diungkapkan diatas bahwa
pada dasarnya rumah-rumah adat dan rumah tinggal ataupun perkembangan
tradisional di Malaka (termasuk juga Suku Ta’e Hutun Kaweran yang ada di Desa
Kateri) dibangun dengan pertimbangan praktis dan religius.
Pertimbangan praktis antara lain sebuah pemukiman
tradisional (kampung tradisional) sedapat mungkin di bangun relatif dekat
sumber air (mata air), karena air memiliki peran penting bagi kelangsungan
hidup manusia beserta makhluk hidup lainnya. Bahkan bagi masyarakat Malaka,
mata air merupakan salah satu unsur yang mendukung keberadaan suatu kampung
adat. Karena mata air dalam hal ini merupakan salah satu tempat untuk
pelaksanaan upacara adat tertentu. Rumah di bangun berpanggung untuk
menghindari binatang yang mencelakakan penghuni rumah, disamping untuk
mengantisipasi kelembaban tanah yang membahayakan kesehatan manusia. Selain
itu, rumah panggung merupakan suatu penyelesaian masalah yang sangat arif dan
bijaksana, mengingat terbatasnya teknologi yang dimiliki serta sebagai
manifestasi dari upaya untuk tidak merusak alam. Perpanggungan bangunan
dimaksudkan sebagai tempat tambahan akan kesadaran mereka terhadap ruang
manusia yang dapat dipergunakan sebagai wadah untuk melakukan aktivitas
keseharian. Makna religius dibuktikan dengan adanya Kakaluk Inan dan kakaluk Oan
(tiang suci) yang terletak dibagian tengah rumah sebagai pusat orientasi dalam
rumah adat (uma lulik), terutama pada saat pelaksanaan upacara-upacara adat.
Makna religius juga ditandai oleh benda-benda pusaka milik suku merupakan
manifestasi dari makna religius tersebut. Dengan demikian, maka rumah
tradisional Malaka (termasuk rumah adat Ta’e Hutun Kaweran) secara vertikal
yang berkaitan dengan makna religius tersebut setidaknya terdiri dari tiga
bagian yang memiliki nilai perlambangan (simbolik) tertentu. Paling bawah,
kolong rumah melambangkan ‘dunia bawah’ atau ‘alam bawah’; bagian tengah rumah
sebagai tempat tinggal manusia melambangkan ‘dunia tengah’ atau alam tengah;
dan bagian atas rumah (‘Kahak Leten) sebagai tempat para arwah leluhur
melambangkan ‘dunia atas’ atau ‘alam atas’. Jadi disini, rumah tidak hanya
sekedar sebagai tempat kediaman manusia semata, tetapi merupakan pula tempat
kebaktian, tempat pertemuan manusia dengan para dewa dan arwah serta tempat
pertemuan manusia dengan Sang Penciptanya (Maromak).
Dalam
arsitektur tradisional Malaka, khususnya rumah adat terdapat nilai simbolisme
yang cukup penting, yakni tiang-tiang penopang rumah adat tersebut. Rumah adat Ta’e
Hutun Kaweran (salah satunya rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran) biasanya
ditopang oleh tiang-tiang utama atau tiang agung (Kakaluk inan dan kakaluk oan)
dan tiang-tiang penunjang yang umumnya terbuat dari jenis pohon yang sama. Dari
segi konsep kepercayaan khususnya tiang utama atau tiang agung (Kakaluk inan
dan kakaluk oan) tersebut memiliki nilai perlambang yang erat kaitannya dengan
simbol kekuatan, keangungan dan kekuasaan. Sedangkan ditinjau dari pengetahuan
mekanika teknik serta logika sederhana menunjukan bahwa tiang-tiang rumah adat
yang terbuat dari pohon yang sejenis akan memiliki kekuatan yang sama pula
dalam menopang beban-beban bangunan diatasnya. Hal ini sekaligus menunjukan
adanya kesadaran terhadap peran atau tugas utama dari tiang utama (Kakaluk inan
dan kakaluk oan) tersebut yang menjamin kekokohan bangunanya. Dengan kata lain,
tiang-tiang utama disini memegang peranan penting, karena apabila tiang-tiang
utama ini runtuh atau patah berarti rumah tersebut akan hancur binasa. Sedangkan
tiang-tiang utama dalam wujudnya yang berukir dan berdimensi besar
menggambarkan keagungan dan wibawa dari leluhurnya. Sementara penampang tiang
yang berbentuk bulat serta pengolahan tiang yang berbentuk sederhana selaras
dengan bentuk asli pohonnya mencerminkan suatu upaya yang dimaksudkan untuk
mempermudah pembuatan tiang tersebut, mengingat kemampuan teknologi yang
dimiliki masih sederhana pula. Jika dilihat dari dalam (interior), khususnya
pada tiang utama (Kakaluk ina dan kakaluk oan), terdapat nilai-nilai yang
mengadung makna permusyawaratan atau perwakilan nenek moyang (leluhur) yang
bersifat suci, simbol pemimpin, berada di tengah-tengah, tempat segala sesuatu
urusan disampaikan, penopang, pembela dan penegak keadilan serta kesejahteraan.
3.2 Sakramentali Pemberkatan Rumah
Sakramentali oleh Konsili Vatikan II dirumuskan
sebagai “tanda tanda suci”, yang memiliki kemiripan dengan sakramen-sakramen (SC
60).[6]
Sakramentali adalah doa permohonan Gereja, agar Allah memberkati dan
menguduskan orang atau benda. Daya guna sakramentali terjadi menurut ex
opere operantis (berkat tindakan/karya Gereja yaitu Gereja yang memohon).[7] Oleh karena itu, sakramentali perlu dipahami dalam
kerangka hidup liturgi Gereja, bukan sebagai tindakan lepas, yang mempunyai
arti dalam dirinya sendiri.
Sakramentali masuk dalam bidang liturgis karena
kaitannya dengan sakramen atau dengan perayaan Gerejawi. Namun, segala
macamsakramentali dalam lingkungan keluarga juga harus dihubungkan dengan doa
Gereja. Sakramentali tidak mempunyai daya Ilahi dari dirinya sendiri tetapi
hanya sejauh merupakan perwujudan sikap doa Gereja. Namun, meskipun
sakramentali berbeda dengan sakramen, daya guna keduanya mengalir dari sumber
yang sama, yaitu mengalir dari misteri paskah, sengsara, wafat dan kebangkitan
Yesus Kristus.[8]
Perayaan sakramentali adalah suatu perayaan kerinduan akan sakramen dan
perayaan yang diarahkan kepada perayaan sakramen.[9]
Melalui sakramentali pemberkatan rumah, Umat Allah
menunjukkan kecintaan dan rasa syukurnya kepada Allah Sang Pencipta. Upacara sakramentali
pemberkatan rumah ini mendatangkan efek rohani bagi mereka yang tinggal di
dalamnya (SC 60)[10]
karena dalam upacara sakramentali pemberkatan rumah ini, yang diberkati adalah
orang-orang yang tinggal di dalamnya. Maksud utama sakramentali pemberkatan rumah
adalah menguduskan umat beriman yang tinggal di dalam rumah itu, dan bukan
semata menguduskan rumah itu sendiri. Oleh karena itu, jika sebuah rumah sudah
pernah diberkati, namun pemilik yang terdahulu sudah pindah, adalah baik jika
pemilik baru mengadakan pemberkatan rumah. Hal ini tidak berarti meragukan efek
sakramentali yang sudah pernah diberikan, tetapi memohon agar rahmat
sakramentali yang memberikan efek pengudusan itu dapat diberikan kepada orang atau
keluarga baru yang tinggal di rumah tersebut. Melalui upacara sakramentali
pemberkatan rumah, Allah hadir di tengah keluarga dan hidup di dalam hati orang
yang berdiam di dalam rumah tersebut.
3.3 Relevansi Upacara Adat Halirin Uma Lulik
Dengan Sakramentali Pemberkatan Rumah
3.3.1 Kesamaan
Upacara
adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali pemberkatan rumah sama-sama
mengungkapkan rasa syukur dan memohon perlindungan kepada Maromak dan
Allah Sang Pencipta atas rejeki dan rahmat yang telah diterima pemilik rumah
sehingga rumah tersebut dapat berdiri. Upacara adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali pemberkatan rumah memiliki makna
pembersihan, yakni membersihkan rumah dan orang-orang yang tinggal dalam rumah
dari hal-hal yang buruk. Upacara adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali
pemberkatan rumah merupakan bentuk perhatian umat Allah bagi kehidupan
orang-orang yang bernaung di dalam sebuah rumah.
3.3.2
Perbedaan
Meskipun upacara adat Halirin Uma Lulik dan
sakramentali pemberkatan rumah memiliki persamaan, akan tetapi terdapat juga
perbedaan antara peristiwa sakramentali pemberkatan rumah dan upacara adat Halirin
Uma Lulik.
Perbedaan
upacara adat Halirin Uma Lulik dan sakramentali pemberkatan rumah yakni,
pertama,
upacara adat Halirin Uma Lulik merupakan salah satu adat istiadat
dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran. Upacara ini
dilaksakan secara turun temurun oleh nenek moyang dari masyarakat suku
tersebut. Sedangkan sakramentali pemberkatan rumah adalah salah satu bentuk doa
permohonan Gereja agar Allah menguduskan rumah tersebut, sehingga orang atau
keluarga yang berdiam di dalam rumah itu merasakan kehadiran Allah di
tengah-tengah mereka. Upacara adat Halirin Uma Lulik adalah upacara adat
yang hanya dilakukan oleh masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran, sedangkan
sakramentali pemberkatan rumah bersifat universal, artinya sakramentali
pemberkatan rumah dapat dilaksanakan atau dirayakan oleh Gereja di seluruh
dunia.
Kedua, perbedaan
lain adalah upacara adat halirin uma lulik memiliki kekuatan magis yang
dipercaya oleh masyarakat setempat, sedangkan 244 JURNAL SEPAKAT Vol. 2, No. 2,
Juni 2016 sakramentali pemberkatan rumah merupakan tanggapan atas iman yang dimiliki
oleh umat Allah yang bersyukur atas tempat tinggal yang boleh diberikan Allah kepadanya.
Ketiga, pelayan
upacara dan tata cara pelaksanaannya. Pelayan upacara dalam halirin uma
lulik adalah Bei Fukun (Kepala Suku). Tata cara pelaksanaan upacara adat halirin
uma lulik harus dimulai pada sore hari sekitar pukul 15.00 WITA. Pelayan
upacara sakramentali pemberkatan rumah tidak harus seorang klerus atau orang yang
telah menerima tahbisan. Awam juga dapat menjadi pelayan dalam upacara
sakramentali pemberkatan rumah ini karena awam memiliki imamat umum yang
diperoleh dalam sakramen pembaptisan dan penguatan atau krisma.[11]
Keempat, Tata
pelaksanaan sakramentali pemberkatan rumah tidak terikat oleh waktu.
Sakramentali pemberkatan rumah dapat dilaksanakan kapan saja, tergantung
kesepakatan orang atau keluarga yang mendiami rumah dengan pelayan upacara
sakramentali.
Upacara
adat halirin uma lulik merupakan salah satu warisan nenek moyang suku Ta’e
Hutun Kaweran. Melalui upacara adat halirin uma lulik, masyarakat suku Ta’e
Hutun Kaweran mengungkapkan rasa syukur atas berdirinya sebuah rumah dan
memohon perlindungan kepada maromak dan para leluhur atau Sang Pencipta.
Masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran masih
melaksanakan upacara adat halirin uma lulik meskipun sudah memiliki agama.
Agama bukanlah menjadi penghalang bagi masyarakat untuk terus melaksanakan
upacara adat halirin uma lulik.
3.4
Pertimbangan untuk Inkulturasi Iman Gereja dalam Konteks Ritus Halirin Uma
Lulik Suku Ta’e Hutun Kaweran
Dalam upaya inkulturasi iman Gereja dalam konteks
budaya setempat,ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan, yakni
pertama, manusia
sebagai makhluk rohani merupakan benang merah yang mempertemukan
agama
dan kebudayaan sebagai dua hal yang tidak bertentangan. Keadaan tanpa
pertentangan ini terjalin karena antara upacara adat halirin uma lulik dan
ritus sakramentali pemberkatan rumah sama-sama mengungkapkan sisi rohani
manusia yang mengarahkan diri pada realitas meta-empirik.
Kedua, upaya
kontekstualisasi ini memiliki dasarnya pada pribadi Allah yang terlebih dahulu
mengkontekstualisasikan dirinya melalui peristiwa inkarnasi. Dalam peristiwa
inkarnasi tersebut Allah berupaya menyesuaikan diri-Nya dengan peristiwa dan
sejarah hidup manusia. Oleh karena itu, ketika manusia berupaya menyesuaikan
ajaran iman dengan tata cara kebudayaan setempat maka sama halnya dengan
berpartisipasi dalam karya Allah.
Ketiga, keikutsertaan
atau keterlibatan umat dalam tata peribadatan merupakan unsur penting dalam
menghayati iman kepercayaan. Masyarakat Ta’e Hutun Kaweran dibimbing untuk
memahami bahwa sakramentali pemberkatan rumah memiliki makna sebagaimana
upacara
adat
halirin uma lulik. Oleh karena itu, sakramentali pemberkatan rumah pun perlu
dihayati karena maknanya membawa orang pada keselamatan dan perlindungan.
Pengalaman religius dimulai dengan kesadaran manusia
sebagai makhluk yang mengakui Allah sebagai dasar dan sumber hidupnya.[12]Maka,
sebagai orang beriman dan beragama, khususnya beragama Katolik, pengalaman
religius tersebut harus terus ditumbuhkan dengan mengakui Allah sebagai
“Pemberi Hidup” dan mensyukuri segala berkat yang telah diberikan Allah kepada
manusia. Selain itu, Allah juga sebagai tempat manusia untuk mengadu dan
meminta. Banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk menunjukkan pengakuan
dan rasa syukurnya atas segala pemberian Allah. Salah satunya adalah upacara
sakramentali pemberkatan rumah. Sakramentali pemberkatan rumah merupakan salah
satu bentuk ungkapan syukur karena Allah berkenan memberikan tempat tinggal
bagi umatnya. Dalam sakramentali pemberkatan rumah, umat juga meminta
perlindungan
kepada Allah sehingga orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut merasa
aman, damai dan terlindungi.
Selain menjalankan sakramentali pemberkatan rumah,
umat Katolik Suku Ta’e Hutun Kaweran juga melakukan upacara halirin uma
lulik adalah salah satu upacara adat ungkapan penuh syukur dan mohon
perlindungan dari Maromak dan para lelubur untuk rumah baru dan
orang-orang yang tinggal di dalam rumah tersebut. Mencintai dan menghargai
kebudayaan yang merupakan warisan leluhur adalah baik. Karena itu, Gereja dapat
menginkulturasikan halirin uma lulik ke dalam kebaktian Kristiani agar Gereja senantiasa
bersatu dan terus menyuarakan Injil dalam kehidupan sehari-hari.Gereja harus
berupaya sedemikian rupa agar agama dan budaya dapat berjalan beriringan. Untuk
memenuhi tuntutan tersebut, maka para pekerja pastoral harus memiliki
kreativias dalam melaksanakan tugas dan
pewartaannya.
3.5 Gereja Melestarikan Budaya
Gereja purba
dulunya kurang peduli dengan budaya-budaya yang terdapat di dalam masyarakat.
Karena Gereja purba menganggap bahwa keselamatan hanya dapat diperoleh di dalam
Gereja. Anggapan ini mau menegaskan bahwa tidak ada keselamatan di luar Gereja,
kita bisa selamat jika masuk di dalam Gereja itu sendiri. Namun setelah adanya
Konsili Vatikan II, jendela-jendela dibuka dan keterbukaan Gereja terhadap
dunia mengakibatkan suatu tugas perutusan yang berat bagi Gereja sendiri untuk
mewartakan kerajaan Allah. untuk mewartakan kerajaan Allah itu, bukan hanya
ditujukan pada anggota Gereja, melainkan ditujukan kepada seluruh umat manusia.
Gereja sadar bahwa keselamatan itu bukan hanya didapat di dalam Gereja saja,
tetapi di luar Gerejapun masih ada keselamatan. Gereja juga mulai memperbaharui
cara pewartaannya, dengan cara terbuka terhadap budaya-budaya yang ada di dunia
ini. Keterbukaan Gereja terhadap budaya berdampak positif serta menjalin relasi
yang baik antara budaya dan Gereja. Relasi antara Gereja dan budaya ini mau
mewujudkan suatu keserasian berbagai nilai pola-pola kebudayaan.[13]
Dalam hal ini Gereja mengarahkan kebudayaan nilai-nilai reigius serta
nilai-nilai keseniannya terus berkembang di dalam dunia modern saat ini. Banyak
ragam cara Gereja melestarikan budaya yang ada, seperti nilai-nilai
kereligiusan dan nilai keseniannya. Bukan hanya mengarahkan kebudayaan
untuk terus berkembang, tetapi Gereja juga menyampaikan suatu pewartaan atau
kabar baik bagi semua orang lewat nilai-nilai budaya yang ada.
Untuk
menyampaikan kabar gembira lewat pewartaan serta lewat budaya, Gereja
menggunakan istilah inkulturasi. Dalam surat apostolik Catechesi
tradendae Paus Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa katekese mempunyai
dimensi inkarnasi. Katekis yang baik mengetahui kalau katekese mendapat bentuk
nyata (menjadi daging) dalam berbagai budaya dan situasi. Seperti lewat
inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia demikian pula lewat inkulturasi katekese
sebagai satu bentuk pewartaan Injil, mendapat ekspresi budaya. Katekese mesti
membudaya karena menggunakan metode, sarana dan nilai-nilai dari adat kebiasaan
atau cara hidup setempat untuk menjelaskan, memahami dan menghayati misteri
keselamatan yang diwujudkan oleh Yesus Kristus. Menurut Paus Yohanes Paulus II,
inkulturasi adalah inkarnasi Injil dalam pelbagai kebudayaan yang otonom dan
sekaligus memasukkan kebudayaan-kebudayaan tersebut ke dalam kehidupan Gereja.
Dengan kata lain Beliau mendefinisikan inkulturasi sebagai transformasi
mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang diintegrasikan ke dalam
kristianitas dan penanaman kristianitas ke dalam aneka budaya manusia yang
berbeda-beda. Maka ada gerak ganda dalam inkulturasi yaitu lewat inkulturasi
Gereja membuat Injil menjelma dalam aneka kebudayaan, dan sekaligus memasukkan
para bangsa, bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam persekutuan Gereja
sendiri. Nampak jelas bahwa Paus Yohanes Paulus II menggarisbawahi transformasi
mendalam dari nilai-nilai budaya asli dan integrasinya ke dalam kristianitas
yang memungkinkan penjelmaan Injil dalam budaya setempat sehingga kekristenan
sungguh berakar di dalam budaya asli para penganut iman kristiani.[14]
Paus Yohanes
Paulus II membuka Gereja untuk masuk ke dalam budaya-budaya supaya Gereja mampu
mewartakan kabar baik itu lewat kebudayaan yang ada. Lewat inkulturasi ini
tampak jelas bahwa Gereja mau membangun iman umat dengan nilai-nilai budaya
yang ada dan juga Gereja ingin mengembangkan nilai-nilai yang terkandung dalam
budaya tersebut. Bukan hanya mengembangkan nilai kebudayaan yang ada namun
Gereja juga mau mewartatakan injil Yesus Kristus lewat kebudayaan. Gereja mau
menanamkan nilai kereligiusan itu ke dalam budaya-budaya, dan Gereja tidak sama
sekali meninggalkan budaya yang ada di dalam masyarakat melainkan
menyempurnakan kebudayaan sesuai dengan inkarnasi Yesus Kristus.
Hipolitus
(2010:35-36) menyatakan bahwa evangelisasi mau tidak mau harus berurusan dengan
manusia. Demikian juga evangelisasi mau tidak mau harus berkaitan dengan
kebudayaan. Meskipun demikian, evangelisasi sendiri tidak identik dengan
kebudayaan. Bagiamanpun juga isi dari evangelisasi adalah Kerajaan Allah, yang
disampaikan dan dihayati oleh manusia-manusia yang secara sangat mendalam
terikat pada suatu kebudayaan. Pembangunan Kerajaan Allah harus meminjam
unsur-unsur dari kebudayaan manusia (lih. EN 20). Oleh karena itu, sekalipun
tidak tergantung pada kebudayaan, evangelisasi sendiri tidak harus bertentangan
dengan kebudayaan. Sangat diharapkan bahwa evangelisasi memandang luhur
kebudayaan yang ada dan dapat merasuki kebudayaan tanpa menjadi tunduk
terhadapnya.
Pada hakikatnya
Gereja dan kebudayaan berhubungan sangat erat karena dengan adanya nilai-nilai
kebudayaan maka niali-nilai Injil itu juga dapat diwartakan. Hubungan Gereja
dan kebudayaan sesungguhnya bertolak pada bagaimana memahami gereja atau
Kristus dan kebudayaan. Hubungan ini berlangsung dengan beranekaragam
kepercayaan, sehingga pemahaman itu tergantung sejauh mana seseorang memahami
apa itu Gereja dan apa itu kebudayaan. Dengan adanya kebudayaan Gereja hadir
sebagai ragi dan penerang bagi mereka yang belum mengenal Kristus. Dan dengan
suatu kepercayaan seseorang terhadap Allah sebagai pencipta maka dalam
perwujudnyataannya terhadap alam semesta akan seturut kehendak Allah. Tidak
bertindak sewenang-wenangnya tehadap alam yang ada sehingga sungguh-sungguh
mewujudkan nilai-nilai Injil. Dan apa yang dihendaki Allah dapat terlaksana
dengan baik.
Pelestarian
budaya oleh Gereja disambut baik bagi umat, sebab Gereja mau berinkulturasi
dengan budaya setempat, contoh dalam perayaan liturgi. Dalam perayaan liturgi
Gereja memberikan kesempatan budaya yang ada untuk ikut terlibat dalam hal
merayakan perayaan liturgi dan ekaristi, misalnya: mengadakan
perarakan/mengantarkan persembahan yang di iringi oleh tari-tarian dan musik
khas budaya setempat dan adanya misa yang menggunakan bahasa khas dari budaya
setempat. Dalam hal ini saya mau memaparkan keikutsertaan budaya dayak di dalam
perayaan liturgi / ekaristi. Keikutsertaan budaya dayak dalam perayaan liturgi
/ ekaristi sering dilakukan seperti perarakan imam dan perarakan persembahan.
Hal seperti ini sering dilakukan di kampung / stasi ketika imam datang untuk
turnei di stasi tersebut. Sebelum misa imam diiringi oleh perarakan tari-tarian
khas dayak. Selanjutnya ketika persembahan, ada juga perarakan tari-tarian
untuk menghantar persembahan umat. Dalam tari-tarian itu kita bisa menyaksikan
kesenian budaya masyarakat kabupaten Malaka yang indah serta dapat mengikuti
misa dengan baik dan merasakan adanya nilai budaya yang masuk dalam perayaan
liturgi / ekaristi tersebut.
BAB IV
SILSILAH KETURUNAN ANGGOTA SUKU
TA’E HUTUN KWERAN
4.1
ASAL USUL NENEK MOYANG ORANG MALAKA DAN BELU
`
Menurut pandangan-pandangan antopolog modern : Timor serta pulau-pulaunya
adalah suatu daerah peralihan di mana bertemu dan saling pengaruh antara
komponen ras Melayu Indonesia denganras Melanesia (in sensu lago). Agaknya suku
marae dan kemak menunjukkan elmen Melanesia yang lebih tua, dari pada suku Belu
dan Sabu Rote yang baru masuk kemudian di Timor. Suku Belu dan Rote nyatanya
memiliki tempat tinggi yang paling tampan, ditanah rata sepanjang pantai dan
terus ke pedalaman, namun di sepanjang lembah sungai lalu sepanjang jalan.
Antropolog-antropolog sependapat bahwa unsur Melanesia nampak sangat kuat pada
penduduk asli Timor: suku Atoni di Dawan (orang pegunungan yang jumlahnya
kira-kira 300.000 penduduk mendiami daerah-daerah pegunungan Timor Indonesia.
Tokoh badan mereka agak berlainan dengan tetangga-tetangganya: suku
Belu-Sabu-Rote dan Kemak Marae. Mereka agak pendek dengan bentuk tengkorak
Brachichepel (tengkorak pendek) dengan warna kulitnya coklat kehitam-hitaman,
rambutnya keriting, sangat mirip orang-orang papua. (cf. ormeling, F.J. Dr. The
Timor problem, 1957 hal. 66-67).
Sesuai berbagai penelitian dan cerita
sejarah daerah Malaka, bahwa sebelum orang Malaka menghuni Daerah Malaka maka
sebelumnya ada sebuah suku yang terlebih dahulu mendiami wilayah Kab. Belu
Umumnya adalah "Suku Melus". Orang Melus di kenal dengan sebutan
"Emafatuk oan ai oan", (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia
Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain suku
melus yang menghuni daerah tersebut, berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang
penulis ketahui bahwa Orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina
Mutin Malaka" yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang
berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya. Namun
berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan
Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu yang
sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa disisi lain
terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan
universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang
bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu umumnya, bercampur
dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing
- masing daerah berlainan. Dari makoan Faturuin menyebutnya Nekin
Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan
Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo
(Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal
Besikama yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk
Nain.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu
bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan
persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan
mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di
bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan Tanah
Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain” di
Malaka. Bahakan menurut para peneliti asing ”Liurai Nain” kekuasaaannya juga
merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan
tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali
dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta
Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri
menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Menurut para sejarahwan Tanah Malaka
disebarluaskan menjadi Belu bagian Selatan. Pada masa penjajahan Belanda
muncullah siaran dari pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya
"Zaman Keemasan Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam
sejarah daerah Belu, khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan
Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua
adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan,
Liurai Nain mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro
dan Liurai.[15]
4.2 SITUASI DAN KONDISI KEHIDUPAN
MASYARAKAT MALAKA TEMPO DULU
Daerah kabupaten Malaka pada umumnya terdiri atas daratan
bukit dan pegunungan serta hutan. Daerah Malaka tergolong daerah yang curah
hujannya sedikit yang secara tidak langsung iklim tersebut mempengaruhi pola
hidup dan watak keseharian masyarakat Malaka.
Tempat tinggal orang-orang Malaka dahulunya banyak
berada di daerah perbukitan yang dikelilingi oleh semak berduri dan batu karang
yang tidak mudah didatangi orang dan hidup secara berkelompok, dengan maksud
untuk menjaga keamanan dari gangguan orang luar maupun binatang buas. Rumah
asli penduduk Malaka bernama Uma lulik, yaitu rumah yang berbentuk seperti
kapal terbalik dan ada yang seperti gunung. Atapnya menjulur ke bawah hampir
menyentuh tanah. Dinding rumah terbuat dari Pelepah Gewang, biasa disebut Bebak
namun sekarang menggunakan papan dari kayu jati, tiang-tiangnya terbuat dari
kayu-kayu balok, sedang atapnya dari daun gewang. Di bagian dalam rumah dibagi
menjadi dua ruangan yaitu bagian luar diberi nama labis molin, untuk ruang tamu,
tempat tidur tamu , dan tempat anak-anak laki-laki dewasa .Pada bagian dalam
disebut labis laran yaitu tempat untuk tidur keluarga dan tempat makan .
Sebelum pengaruh agama masuk ke daerah ini masyarakat di sini sudah mempunyai
kepercayaan kepada Sang Pencipta, Sang Pengatur, yang biasa mereka sebut dengan
Maromak, Dewa Bumi. Banyak ragam upacara dan sesaji yang ditujukkan kepada
dewa-dewa tersebut untuk meminta berkah kesuburan tanah, hasil panen dan
lain-lain. Salah satu contoh adalah upacara Hamis Batar no Hatama Mamaik suatu
upacara sebagai tanda rasa syukur dimulainya musim petik jagung. Tindakan ini
yang biasa dilakukan anggota Suku Tae Hutun Kweran setiap tahunnya.
4.3 GENERASI AWAL ANGGOTA SUKU TA’E
HUTUN KWERAN-KATERI
Penutur adat Kabupaten
Belu, yang dijuluki gelar Mako’an, menuturkan bahwa konon Pulau Timor ini belum
muncul ke permukaan. Semua masih ditutupi air. Dan kita bisa membayangkan itu
dengan jaman es (atau Jaman Glasial) yang terjadi sekitar 500 atau 600 ribu
tahun silam. Dalam dunia ilmu pengetahuan, Jaman Glasial merupakan bagian dari
Masa Neozoikum, khususnya Periode Pleitosen (Dilluvium) … yang ditandai pula
dengan munculnya manusia raksasa (bdk. Science Daily, 27 Mei 2010)
Konon, seluruh
permukaan bumi tertutup air, termasuk di Timor. Namun pada suatu ketika, di
Timor, muncullah sebuah titik, yang ternyata itu adalah puncak tertinggi dari
keseluruhan Pulau Timor kelak. Titik kecil itu muncul dan bersinar sendiri!
Orang di generasi sesudahnya menggambarkan kembali titik bumi yang muncul itu
dengan sapaan adat: Fo’in Nu’u Manu
Matan, Foin Nu’u Bua Klau. Foin Nu’u Etu Kumun, Foin Nu’u Murak Husar. Baru
Seperti Biji Mata Ayam, Baru Seperti Potongan Sebelah Buah Pinang, Baru Sebesar
Gumpalan Nasi Di Tangan, Baru Sebesar Pusar Mata Uang. Dan titik kecil itulah
yang kelak dikenal dengan Gunung Lakaan sekarang, sebagai puncak tertinggi di
Kabupaten Belu! Oleh karenanya, tidaklah heran kalau Orang Belu menjuluki
puncak itu dengan nama Foho Laka An, Manu Aman Laka An, Sa Mane Mesak, Baudinik
Mesak. Gunung Yang Memiliki Cahaya Sendiri, Ayam Jantan Merah Bercahaya
Sendiri, Seperti Lelaki Tunggal, Seperti Bintang Tunggal.
Adapun cerita sejarah
awal mula keringnya pulau timor berdasarkan versi tokoh adat Opa Simon Petrus
Seran[16]
selaku tokoh adat yang mengetahui sejarah perkampungan kateri. Menurut versi
beliau keringnya pulau Timor berawal dari Marlilu-Kateri. Konon ada seorang
putrid raja yang merupakan titisan dewa turun dari langit yang tidak diketahui
namanya turun di tempat ini melalui labadain kaban no laliran kaban. Putri
raja ini datang dengan sendirinya (Tetum: nataduan duuk). Adapun sajak bahasa
tetum yang menggambarkan tentang jati dirinya yakni: “Sama niit ai na tun kotu la kotu, tobo rik ai na tun sit la sit, nola
hali badalele (menginjak dan menjinjit kaki diturubkan tapi tidak putus,
injak berdiri dengan kaki diturunkan putus tidak putus melewati pohon beringin
yang bernama badalele). Di tempat inilah ia meneruskan keturunannya di tempat
ini dengan melahirkan seorang putri cantik jelita yang husar nalik ba hali badalele (tali pusatnya melilit di pohon
beringin badalele). Dari putri yang dilahirkan inilah berkembanglah manusia di
wilayah kerajaan Liurai We Hali.
Tentang nama Kateri
sebagai sebuah kampung, dulunya dikenal sebagai Loro Inan Bakiruk. Karena
dulu di perkampungan kateri sering Teri Ata no Nain (tempat persinggahan raja
Liurai dan para hambanya) maka nama itu berubah menjadi Kateri. Adapun
ceritanya yakni karena tere hola Nain Bria, Nain Tur Iha Kamanasa maka nama
itupun berubah menjadi Kateri.[17] Konsep perubahan nama "Kateri" berdasarkan kronologis peristiwa masa lampau.
Berpatokan pada sejarah
asal usul nenek moyang, adapun keyakinan anggota Suku Ta’e Hutun Kaweran
tentang leluhur pertama mereka di perkampungan Kateri yakni Be Tuan
(Kakek/Buyut) yang bernama Be Seran
Tema. Sejarah atau riwayat hidup dari Be Seran Tema berdasarkan tuturan
adat lisan ia merupakan seorang meo atau ksatria yang mempunyai karisma dalam
hal futu manu (sabung ayam). Setiap kali ada sabung ayam, manu aman (ayam jago)
yang dibawanya selalu menang bahkan ia mampu mengalahkan para raja dalam hal
sabung ayam. Hasil dari perjudian ini ia mampu mengambil semua harta kekayaan
raja bahkan para hamba dan istri raja pun ia bawa serta kembali ke rumahnya.
Adu Ayam Jago atau
biasa disebut sabung ayam merupakan permainan yang telah dilakukan masyarakat
di kepulauan Nusantara sejak dahulu kala. Permainan ini merupakan perkelahian
ayam jago yang memiliki taji dan terkadang taji ayam jago ditambahkan serta
terbuat dari logam yang runcing. Permainan Sabung Ayam di Nusantara ternyata
tidak hanya sebuah permainan hiburan semata bagi masyarakat, tetapi merupakan
sebuah cerita kehidupan baik sosial, budaya maupun politik Rupanya sabung ayam pada dahulu kala di Nusantara bukan
hanya sebuah permainan rakyat semata tetapi telah menjadi budaya politik yang
mempengaruhi perkembangan sebuah dinasti kerajaan.
Berawal
dari kemenangan Be Seran Tema atas raja dalam hal sabung ayam inilah, maka raja
memiliki dendam pribadi untuk membunuhnya. Atas provokasi raja, maka para raja
bersama para hambanya melakuksan serangan pembunuhan untuk dia. Be Seran Tema
meninggal dengan lehernya terputus. Berdasarkan cerita yang diwariskan turun
temurun, waktu itu meninggalnya Be Seran Tema, jasadnya hanyalah badannya saja
sedangkan kepalanya tidak kelihatan. Saudari-saudari dari Be Seran Tema yakni
Iba Lera, Ade Lera, Luruk Lera berusaha mencari Kepala beliau namun tidak
menemukannya. Dengan bantuan anjing peliharaan Be Seran Tema yang bernama Fini maka kepala beliau dibawa pulang ke
rumah.
Kepintaran
anjing peliharaan ini membuat saudari-saudari terpesona dan takjub maka dengan
spontanitas membuat semacam janji adat sebagai penghargaan jasa dari si anjing
ini maka mereka bersumpah bahwa “mulai saat ini sampai turunan kami selanjutnya
akan luli ha naan asu (pemali makan
daging anjing). Dengan sumpah inilah maka masyarakat Suku Ta’e Hutun Kaweran
dan Be Tema pada umumnya tidak memakan daging anjing hingga sekarang. Inilah
salah satu budaya totem[18]
yang dimiliki oleh masyarakat suku Ta’e Hutun Kaweran dan juga suku Be Tema. Adapun versi lain yang
melandasi semua anggota suku haram memakan daging anjing karena nenek moyang
mereka dibesarkan oleh seekor anjing (Bdk. Hasil wawancara tokoh adat Opa Simo Petrus Seran yang biasa dikenal Be Rai) . Dari dua versi cerita totem ini, tidak
melunturkan diri mereka untuk memakan daging anjing, namun budaya luli asu
(pemali daging anjing) masih tetap dipertahankan dan menjadi tradisi yang terus
diwariskan dari generasi ke generasi.
4.4
Silsilah Keluarga Suku Ta’e Hutun Kaweran
4.4.1.
Generasi I-V
a)
Generasi
I: Be Seran Tema, Iba Lera, Ade Lera, Luruk Lera
b)
Generasi
II: Tidak diketahui
c)
Generasi
III: tidak diketahui
d)
Generasi
IV: Be Bano
e)
Generasi
V: Be Hoar Ferik
4.4.2
Generasi VI-sekarang
A. Bei
Aek (dari Kateri)
dan suaminya Bei Tahanama (dari Builaran), memiliki 4 orang anak antara lain:
1. Bei Klara Hoar
(berdomisili di Kateri dan menjaga rumah adat Ta’e Hutun Kweran)
2. Bei Hendrikus Bere
(merantau dan tinggal menetap di Jakarta)
3. Bei Maria Luruk Nahak
(pengganti Bei Bau Modok sebagai
mata musan di Suku Mamulak-Numbei)
Bei
Bau Modok: adalah mata musan antara Uma Ta’e Hutun Kaweran
dengan mamulak. Ketika masih muda, ia dikategorikan sebagai orang yang sangat
rajin karena tipe pekerja keras. Pekerjaan semasa hidupnya yakni sebagai petani
dengan memiliki 2 kebun yakni di Numbei dan Kateri. Di Numbei awalnya dia
bersama keluarga Mamulak tinggal di Tatasik-Numbei (wilayah pertemuan sungai
Mota Baen dan Mota Bot). Semasa hidupnya ia memilih hidup membujang dan
meninggal di Numbei. Peristiwa kematiannya membuat Be Bano merasakan kedukaan
yang mendalam. Bei Bano menghendaki putera kesayangannya itu harus dibawa
pulang walaupun sudah dalam bentuk raga yang kaku. Apabila jasadnya tidak
dikembalikan ke Kateri maka Be Bano selaku ibu mengambil sumpah bahwa dia akan
mati juga bersama anaknya jika anaknya itu tidak dikuburkan di Kateri. Menurut
cerita lisan yang diwariskan tentang polemic meninggalnya Bei Bau Modok dengan istilah
hola maten tukar moris (orang yang
sudah meninggal ditukar dengan yang masih hidup). Maka diambil keputusan bahwa
yang menggantikan Be Bau Modok di Numbei adalah Be Luruk. Hal ini sebagai tanda
relasi atau hubungan kekeluargaan antara suku Ta’e Hutun Kaweran-Kateri dengan
Suku Mamulak-Numbei tidak putus. Sampai dengan sekarang relasi persaudaraan
antra keluarga Ta’e Hutun dengan Mamulak masih terjalin harmonis.
Kuburan Bei
Bau Modok Bersama kedua orang tuanya
|
kukuy
|
4. Bei WilhelminaSeuk Nahak
(mata musan di Fohon Manas tetapi orang suku Lawalu mengambil sebagai anak
pelihara untuk menjaga rumah adat suku di Buiuduk Fehan karena kekurangan
anggota suku)
B. Dari 4 Orang anak inilah mereka
meneruskan keturunan sesuai dengan tempat berdomisili mereka sebagai berikut:
1. Bei Klara Hoar
dengan suami bernama Bei Simon Bau berdomisilli di Kateri. Mereka memiliki
anak-anak sebagai berikut:
a. Nahak Bauk
(meninggal)
b.
Taek
Bauk
c. Nahak Bauk
(meninggal)
d. Bui Bauk (meninggal)
e.
Lidvina
Aek
f.
Kristina
Iba Bauk
g. Lambertus Berek
(berdomisili di Kateri dan sekarang sebagai Kepala Suku Ta’e Hutun Kweran)
h. Marsel Tae Bauk
(berdomisili di Betun)
i.
Yakobus
Fahik (meninggal, semasa hidupnya ia bersama istrinya
tinggal di Kupang)
j.
Fanu
Bauk
(meninggal)
k. Lusia Luruk (berdomisili
di Kateri)
2. Bei Hendrikus Bere (alm.)
dengan istrinya orang dari Jakarrta-Tanjung Periuk. Mereka tinggal di Jakarta,
beliau sudah meninggal dan memiliki anak sebagai berikut:
a. Stefanus
Bere (Anak Kandung)
b. Emi
Bere (Anak Pelihara atau adopsi)
3. Bei Maria Luruk Nahak
(alma.) dengan suaminya Bei Simon Mau
(Senan Mau-biasa dikenal oleh orang Numbei pada zamannya sebagai Bei Free).
Mereka tinggal di Numbei dan memiliki beberapa orang anak antara lain sebagai
berikut:
a. Marselinus Seran (alm.) (Seran
Mau, red. Nama kampungnya, semasa hidupnya ia membujang)
b. Klara Hoar
(alma.) dengan suaminya Philipus
Berek berdomisili di Numbei. Mereka memiliki 8 orang anak yakni 4 Laki-laki dan 4
Perempuan, 2 anak perempuannya meninggal saat baru lahir. Anak –anak yang masih
hidup antara lain:
1) Goris
Bria dan istrinya tinggal di Numbei. Mempunyai anak: 1 orang Perempuan dan 3
orang Laki-laki.
2) Herman
Bau dan istrinya tinggal di Numbei. Mempunyai Anak: 3 Perempuan (1 orang
anaknya perempuan sudah meninggal) dan 1 orang anak Laki-laki.
3) Vinsen
Nahak dan istrinya tinggal di Kupang-Belo. Mempunyai anak: 1 orang Perempuan
dan 3 orang Laki-laki.
4) Maksi
Nurak dan istrinya tinggal di Kupang-Liliba. Mempunyai 1 orang anak Laki-laki.
5) Magdalena
Uduk dan suaminya tinggal di Numbei. Mempunyai anak: 1 orang laki-laki dan 3
orang Perempuan
6) Rosalia
Aek dan suaminya tinggal di Manggarai-Ruteng. Mempunyai Anak: 1 orang laki-laki
dan 1 orang perempuan.
c. Kristina Iba Mauk (alma.)
dengan suaminya Andreas Iba (alm.) (berdomisili di Numbei) dan memiliki 3 orang
anak yakni Mea, Klaran Fidelis Seran. Mea dan Klaran meninggal masih balita.
Fidelis Seran bersama istrinya tinggal di Kupang-Tarus. Mereka mempunyai anak:
5 orang Laki-laki.
d. Robeka Anok (alma.)
dengan suaminya bernama Andreas Luman (alm.) (berdomisili du Numbei) dan
memiliki 1 orang Anak Perempuan yang bernama Maria Luruk Luman (biasa disapa
Maria Lotu).
e. Yakobus Nahak
dengan istrinya (alma), orang dari Wederok dan berdomisili di Wederok.
f. Paulus Fahik
dengan istrinya bernama Emerenciana Bui (berdomisili di Numbei) dan memiliki 3
orang anak perempuan.
g. Silvester Bere (alm.)
(biasa dipanggil Sili Bere), semasa hidupnya ia memilih hidup membujang.
h. Rosalia Bui (alma.)
dan semasa hidupnya ia memiliki seorang anak perempuan bernama Theresia Hoar
(biasa disapa Lin). Sekarang bersama suaminya tinggal di Kefa-Sunbaki.
Mempunyai anak 3 orang Laki-laki.
4.
Bei
Wilhelmina Seuk (Seuk Nahak) dengan suaminya bernama
Pius Bria. Mereka tinggal di Buiuduk Fehan dan memiliki beberapa orang anak
antara lain:
a. Silvester Seran
(Bei Ulu-Tuak Ulu) dan Istrinya bernama
Margaretha Bano (Be Meta) dari Suku Bunda’o memiliki anak: 3 orang
laki-laki dan 3 orang perempuan. Mereka berdua tinggal di Buiduk Fehan.
b. Marselinus Tahu
(Bei Tahu-Tuak Tahu) dan istrinya bernama
Elisabeth Luruk dari Rabasa (Makbukar. Mereka memiliki anak: 5 orang
Laki-laki (1 orang sudah meninggal) dan 1 orang Perempuan. Sekarang
berdomisili di We Ulun.
c. Florentina Aek (Ina
Aek ) dan suaminya bernama Alexander
Bria (Be Dahan Bria).
d. Mikhael Tae (Bei
Tae-Tuak Tae) memilih untuk hidup
membujang di Buiuduk Fehan
e. Arnoldina Fore (Ina
Mea) memilih untuk hidup membujang di Buiuduk Fehan
f. Theresia Luruk (Ina
Luruk) dengan suaminya bernamaRafael Asa
(Bei Asa). Mereka memiliki 1 orang anak. Sekarang berdomisili di Buiuduk
Fehan.
g. Fransiskus Seran
Bria dengan istrinya bernama
Renelde Hoar orang dari Kakaniuk.
Mereka memiliki anak: 3 Laki-laki (1 orang sudah meninggal) dan 4 Perempuan. Sekarang berdomisili di
Basdebu.
h. Maria Hoar (Ina
Hoar Uit) dengan suaminya bernama Yoseph
Seran (dari Manumuti-Umanen) mereka tinggal di Buiduk Fehan dan memiliki 3
orang anak, 1 Perempuan dan 3 Laki-laki.
i.
Romanus
Bere (Bere Muti): meninggal saat
berumur ± 5 Tahun.
|
C.
Turunan dari Bei Klara Hoar dan
suaminya Simon Bau yang menjaga dan mememilihara rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran-Kateri
antara lain sebagai berikut:
1. Tae Bauk
(alm.) dengan istrinya bernama Nai
Bui Balok Fahik. Mereka memiliki 1 orang anak yang bernama Kauk
2. Hendrikus Nahak (alm.) dan
Istrinya berdomisili di Jakarta. Mereka Memiliki anak antara lain: Lidia Aek
3. Lidvina Aek
dengan Suaminya bernama Philipus Bere. Mereka memiliki anak antara lain:
a. Antonius Tae
dan istrinya, memiliki anak 3 orang. Mereka tinggal di Kateri.
b. Mari Goreti Eno
Berek dan suaminya, memiliki anak ada 2
orang. Mereka tinggal di Kateri.
4. Lambertus Berek
(Kepala Suku Ta’e Hutun Kweran sekarang) dan istrinya bernama Petronela Naben
(dari Eban). Mereka berdomisili di Kateri dan memiliki beberapa orang anak
antara lain:
a. Yulita
Eta Berek sudah mempunyai suami. Mereka tinggal di Kupang dan memiliki 3 orang
anak.
b. Martinus
Ses Berek: bersama orang tua tinggal di Kateri.
c. Yoseph
Nahak: merantau di Malaysia.
d. Gabriel
Bria: merantau di Kupang.
e. Oktovianus
Seran: berdomisili di Eban (red. Mata musan)
f. Theresia
Bano Berek: merantau di Malaysia.
g. Kornelis
Mau: Kuliah di Universitas Timor Kefa
5. Marsel Tae
dengan istrinya bernama Magdalena Fouk. Mereka tinggal di Betun dan memiliki 2
orang anak laki-laki yakni: Egidius Tae dan Roni Tae
6. Yakobus Fahik (alm)
dengan istrinya bernama Rofina Naben. Semasa hidupnya alm. Yakobus Fahik dan
istrinya (masih hidup) berdomisili di Kupang. Mereka berdua memiliki 1 orang
anak yang bernama:
ü Lin
Fahik sudah mempunyai suami dan tinggal di Kupang. Mereka mempunyai anak 4 orang.
7. Lusia Luruk
dengan suaminya bernama Frans Klau. Mereka berdomisili di Kateri. Mereka
mempunyai anak 4 orang yakni:
a. Agustina Klau,
sudah mempunyai suami dan tinggal di Soe. Mereka mempunyai anak 1 orang
Perempuan.
b. Jhon Klau
(meninggal)
c. Ekarius Klau:
merantau di Malaysia
d. Herminus Klau:
kuliah di Universitas Timor Kefa
Catatan: nama-nama disesuaikan dengan nama sapaan sehari-hari oleh masyarakat maupun keluarga
BAB V
PENUTUP
Gereja menerima kebiasaan
masyarakat lokal, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan iman Katolik.
Dengan demikian Gereja dapat bertumbuh dan berakar di dalam kehidupan
masyarakat setempat, dan membentuk persekutuan iman dan budaya. Prinsip ini
sejalan dengan apa yang diajarkan dalam Konsili Vatikan II, tentang Hubungan
Gereja dengan Agama- agama non Kristen.
“Demikian pula
agama-agama lain, yang terdapat di seluruh dunia, dengan pelbagai cara berusaha
menanggapi kegelisahan hati manusia, dengan menunjukkan berbagai jalan, yakni
ajaran-ajaran serta kaidah-kaidah hidup maupun upacara-upacara suci. Gereja
Katolik tidak menolak apapun yang benar dan suci di dalam agama-agama ini.
Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan
hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda
dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, tetapi tidak jarang toh
memantulkan sinar Kebenaran, yang menerangi semua orang. Namun Gereja tiada
hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan
hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam
Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya.” (Nostra Aetate,
2)
Dengan
demikian, hal penghormatan leluhur memang diperbolehkan, namun sepanjang
pengetahuan kami, belum ada dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pihak Vatikan,
ataupun dari pihak KWI/ Konferensi WaliGereja Indonesia yang menyebutkan secara
rinci tentang bagaimana hal penghormatan semacam ini dapat dilakukan [yang
sudah ada adalah proposal dari Konferensi Uskup- uskup Taiwan -seperti tertulis
dalam link yang anda sertakan- namun sejauh ini kami belum mengetahui apakah
proposal ini sudah disetujui oleh Vatikan untuk dapat dilakukan di negara-
negara lain]. Namun ada prinsip yang sudah disetujui oleh pihak Vatikan,
berdasarkan hasil pembicaraan resmi antara para Uskup Taiwan dengan Mgr Joseph
Caprio pada tanggal 18-19 Juli 1964 tentang hal Penghormatan Leluhur, (sumber:
dari situs Keuskupan Agung Singapura) yaitu demikian:
a)
Untuk mengenang orang tua/ leluhur, pihak keluarga
diperbolehkan untuk menyediakan semacam plakat yang bertuliskan nama orang yang
meninggal, tetapi tanpa tambahan tulisan lainnya yang berbau tahayul.
b)
Diperbolehkan untuk memberi penghormatan/ sikap hormat
di hadapan plakat tersebut, atau foto, atau peti jenazah.
c)
Diperbolehkan untuk menyediakan buah atau makanan di
depan plakat leluhur atau di kubur mereka.
d) Tidak
diperbolehkan membakar kertas uang bagi jenazah, sebab ini mempunyai makna
tahayul.
Selanjutnya
dasar ajaran Gereja Katolik tentang Mengapa kita mendoakan jiwa orang- orang
yang sudah meninggal, dan Bolehkah memohon leluhur mendoakan kita. Penghormatan
arwah orang tua sesungguhnya merupakan salah satu bentuk pelaksanaan perintah
Tuhan yang ke-empat dalam kesepuluh perintah Allah, yaitu: “Hormatilah ayahmu
dan ibumu” (Kel 20:12). Sedangkan hal penguburan dan penghormatan jenazah dengan
memberikan sajian makanan itu diajarkan dalam Kitab Suci (lih. Bar 6:26;
Sir 7:33, 30:18; Tob 4:17). Orang- orang Yahudi mengikuti kebiasaan ini yang
umum dilakukan oleh bangsa-bangsa non-Yahudi, namun untuk maksud yang berbeda.
Bangsa-bangsa non Yahudi memandang bahwa jiwa- jiwa orang mati itu yang akan
makan persembahan; namun orang-orang Yahudi dan setelah itu orang-orang
Kristen, melakukannya untuk memberi makan fakir miskin terutama yang mengurus
kubur itu, sehingga mereka dapat turut mendoakan jiwa orang yang meninggal
tersebut.
Terhadap keempat poin tersebut,
Romo Santo Pr. memberi tambahan informasi demikian:
“Menurut Rm. Agung Wijayanto SJ
(doktor sastra china klasik universitas Sanata Dharma), ketika memberi
penerangan pada umat Katolik di Kebon Dalem Semarang pada perayaan Imlek tahun
2006, penghormatan dengan batang dupa bisa dilakukan oleh imam di depan altar
saja. Karena fungsi dupa menyala/berasap memang untuk menghormati pribadi yang
lebih agung, namun bukan untuk jenazah. Sedangkan jenazah hanya boleh didupai
sebagaimana lazimnya liturgi pemberkatan jenazah. Sedangkan tambahan pada poin
c, tentang penempatan buah-buahan dianggap sejajar dengan penempatan bunga di
makam (tabur bunga). Bunga dan buah merupakan puncak adanya pertumbuhan suatu
pohon. Maka hasil akhir penyelamatan yaitu hidup bahagia abadi disimbolkan
dengan penempatan bunga atau buah. Harapan dengan menempatkan bunga dan buah
ialah, semoga kita pun bisa memetik buah penebusan Kristus yaitu hidup bahagia
abadi, dan semoga almarhum sudah memetik buah penebusan itu karena Kristus.
Buah-buahan dan bunga yang ditempatkan adalah buah-buah dan bunga yang secara
budaya lazim dipakai dan tidak memberi batu sandungan, contohnya: bukan
buah kersen atau durian atau bunga bangkai.”
Rm. Bosco da Cunha O. Carm,
sekretaris eksekutif KomLit KWI juga menambahkan demikian:
“Selalu diizinkan mendoakan arwah
dengan budaya apapun termasuk budaya China. Dan harus diakui, simbol-simbol
yang dipakai oleh budaya China begitu rumit antar sub suku pun berlainan
padahal banyak sekali sub sukunya. Maka diminta keluarga berkonsultasi dengan
imam yang akan memimpin upacara. Simbolnya harus dimaknai secara Katolik,
seperti halnya pada bunga dan buah itu.”
Maka, sebelum
dikeluarkannya urutan resmi yang diijinkan oleh KWI, upacara penghormatan
kepada leluhur dapat dilakukan dengan membicarakannya dengan imam yang
bersangkutan, dan tentu sebelumnya umat harus diberi penjelasan terlebih dahulu
alasannya, agar jangan sampai upacara tersebut menjadi batu sandungan; sebab
biar bagaimanapun upacara penghormatan leluhur menurut iman Katolik tidak
persis sama dengan penghormatan menurut tradisi Cina. Sebab menurut ajaran iman
Katolik, penghormatan kepada leluhur tidak terpisah dari penghormatan kepada
Allah Trinitas yang menciptakan, menyelamatkan dan menguduskan orang yang
sedang kita doakan, dan penghormatan tertinggi tetap hanya diberikan kepada
Allah. Sebab sikap hormat dapat diberikan kepada yang meninggal (umumnya dengan
menundukkan kepala), namun sikap penghormatan tertinggi yaitu doa dengan
memegang batang dupa/ hio dilakukan oleh imam saja untuk menghormati Tuhan dan
bukan untuk menghormati jenazah. Pemahaman ini juga mendasari mengapa plakat
nama orang yang meninggal tersebut juga tidak berdiri sendiri, melainkan selalu
disertai salib/ crucifix, untuk menggambarkan bahwa janji kehidupan kekal itu
diperoleh atas jasa pengorbanan Kristus di kayu salib.
5.2
Usul Saran
5.2.1
Untuk Pemangku Adat di Desa kateri
Sebagaimana yang sudah
dijelaskan di atas bahwa peran rumah adat suku Ta’e Hutun Kaweran adalah rumah
untuk menentukan norma tentang pola tingkah laku manusia dan menentukan
keputusan yang baik dan benar maka ada dua aspek yang perlu diperhatikan oleh
para pemangku adat di Desa Kateri yakni:
1.
Kewajiban
a)
Wajiib menaati hokum adat dan norma-norma sosial yang
berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat.
b)
Hakotu lia, mesti lia diak no lia los artinya mengambil
keputusan harus adil dengan baik dan benar. Contoh dari mengambil keputusan
yang baik dan benar tentang menjaga keutuhan alam semesta adalah pada tanggal
28 Oktober 2018 Kepala Suku Be Tema, Be Rai bersama rombongan Pejabat
Pemerintahan pergi membuat upacara adat yakni ba tunu iha rai lulik kreis Kamanasa. Hasilnya Air langsung
mengalir kembali ke Rumah Sakit Penyanggah Perbatasan Kabupaten Malaka.
Adapun Kiat
Sukses dalam mengambil Keputusan
v Rona
malu: saling mendengarkan.
v Fiar
malu: saling percaya.
v Halaok
adat iha Kateri hodi neon no laran diak: Melakukan tata adat di Kateri harus
dengan hati yang tulus.
v Hafoli
Ukun Rai: menghornati dan menghargai Pemimpin Wilayah daerah Kateri yakni
Kepala Desa Kateri.
v Hadomi
malu: saling mencintai.
v Hafoli malu: saling menghargai dan menghormati
karena secara kodrati manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang sama sebagai
citra Allah.
2.
Larangan:
Bagi siapa saja yang melanggar hukuman adat
harus dikenai sanksi.
Para Pemangku Adat tidak boleh sombong.
Para Pemangku Adat harus mengambil keputusan
secara baik dan benar.
Berhubungan dengan para Pemangku
Adat memiliki kewenangan terbatas maka wajib hukumnya apabila mengambil
keputusan hendaknya selalu terlebih dahulu memohon petunjuk leluhur dengan
membuat upacara adat. Hal ini untuk menghindairi malapetaka atau kutukan dari
para leluhur. Diharapakan kepada semua masyarakat untuk mengoptimalkan kembali
Peran Fukun, Katuas No Ferik Fukun Sira agar budaya hakneter dan haktaek
(saling menghargai dan menghormati) tidak punah.
5.2.2
Untuk
Pemerintah Wilayah Setempat
Potret pembangunan di Indonesia perihal situs peninggalan
sejarah, amat sangat memprihatinkan karena banyak sekali candi dan
situs peninggalan sejarah lainnya yang terancam punah. Tak terawat dan
diabaikan begitu saja. Banyaknya situs peninggalan sejarah yang berada di luar
perkampungan warga yang membuat sulitnya pengawasan.
Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik,
langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya cenderung
berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan yang tidak mem-perhatikan upaya
pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun sebagai titik tolak penetapan
status “kepur-bakalaan” objek secara bertahap menempatkan benda, bangunan, atau
struktur lama menjadi cagar budaya baru. Warisan yang lebih tua, karena tidak
bisa digantikan dengan yang baru, akan terus berukurang tanpa dapat dicegah.
Dalam konteks ini kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah
adalah untuk memperlambat hilangnya warisan budaya dari wilayah Indonesia.
Presepsi bawha cagar budaya memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan apabila
diperjual belikan, secara bertahap dapat digantikan dengan pemanfaatan bersifat
berkelanjutan (sustainable) agar dapat dinikmati kehadirannya oleh generasi
mendatang. Peran Pemerintah Daerah menjadi tantangan yang patut dipertimbangkan
untuk mencapai maksud ini. Hanya melalui pendekatan pelestarian yang bersifat
menyeluruh (holistik) harapan rakyat yang dirumuskan menjadi un-dang-undang ini
dapat direalisasikan oleh semua pemangku kepentingan. Masyarakat daerah mampu
menjadi garda terdepan menjaga kekayaan budaya miliknya sebagai kekayaan bangsa
yang dibanggakan oleh generasi mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Katekismus Gereja Katolik, terj.
P. Herman Embuiru. Flores: Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara, 2007
Kewuel, K, Hipolatus dan Gabriel
Sunyoto. (Eds.). 12 Pintu Evangelisasi:Menebar Garam Di Atas Pelangi.
Yogyakarta: WINA PRESS, 2010
Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
[1] Desa kateri adalah salah satu
desa yang merupakan bagian dari Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten
Malaka-Provinsi NTT.
[2] Hamis batar merupakan sebuah ritual
adat untuk menyambut musim panen jagung yang berasal dari kabupaten Belu dan
Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hamis Batar dilaksanakan oleh masyarakat
Belu dan Malaka sebagai wujud rasa syukur kepada sang Pencipta atas panen yang
mereka peroleh. Dengan dipimpin oleh tua adat (Kepala Suku), masyarakat akan
mempersembahkan hasil panen yang terbaik. Bdk. Https://id.wikipedia.org/wiki/Hamis_Batar
[3] Greg Neonbasu, Sejarah Sebuah
Agenda
[4]Bdk. https://www.kompasiana.com/1b3las-mk/59381b61a013e43add0e2063/morten-untaian-perhiasan-artistik-dan-tetap-mempesona)
[5] Bdk.https://www.kompasiana.com/1b3las-mk/54f8520ea33311f07d8b45d9/situs-ksadan-di-kabupaten-belu
[6] Dokumen
Konsili Vatikan II, R. Hardawiryana (Penerj.),Yogyakarta: Kanisius, 2009 hlm.
26
[7] E. Martasudjita, Sakramen-Sakramen
Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm. 203.
[8] Dokumen Konsili Vatikan II, loc.cit.
[9] E. Martasudjita, op.cit. hlm.
202.
[10] Ibid.
[11] E. Martasudjita, Op.Cit, hal
204
[12] Konferensi Wali Gereja Indonesia,
Iman Katolik, Yogyakarta: Kanisius, 2003, hlm.119.
[13] Konsili Vatikan II, Konstitusi
Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini (Gaudium Et Spes), bab I; artikel
59. Hal 601.
[14] http://www.katolisitas.org/penyesuaian-dan-inkulturasi-liturgi/
[15] http://kepulauanntt.blogspot.com/2017/06/sejarah-kabupaten-malaka.html
[16] Wawancara dengan Opa Simon Petrus Seran (Be Rai) di Kampung Nabo, Desa Fatuaruin, Kecamatan Sasitamean- Kabupaten Malaka, NTT Pukul 15.00 s/d 17.30 WITA
[17] Ibid.
[18] Totem adalah suatu entitas yang
mengawasi atau membantu sekelompok orang, seperti keluarga, suku, atau rumpun
tertentu. Totem mendukung kelompok yang lebih besar daripada satu orang
individu. Dalam keluarga dan keturunan, apabila nenek moyang apikal dari suatu
suku bukan manusia, maka disebut totem. Biasanya kepercayaan ini disertai juga
dengan dongeng totemis. Walaupun ini berasal dari kaum ojibwa, penganut
totemisme tidak hanya terbatas kepada Indian asli amerika. Sejarah Kepercayaan
totemisme yang sama telah ditemukan di bagian dunia lainnya, termasuk Eropa
Barat, Eropa Timur, Afrika, Australia dan wilayah artik. Pada saat ini,
beberapa individu, tidak ingin terlibat kepada kegiatan-kegiatan mengenai suku,
telah memilih untuk mengadopsi roh binatang pembantu pribadi, yang mempunyai
arti spesial bagi mereka, dan dimaksudkan sebagai totem ini. Penggunaan non tradisional
dari istilah ini adalah umum. Bdk. https://id.wikipedia.org/wiki/Totem
Tags
Budaya Leluhur
CINTAILAH TANAH KELAHIRANMU
Informasi Sejarah Masa Lalu
Kabupaten Malaka
Kain Tenun NTT
Kebudayaan
Nusa Tenggara Timur (NTT)
Sejarah Kehidupan