Belu merupakan salah satu kabupaten yang terletak di pulau Timor/Nusa Tenggara
Timur yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Luas Kabupaten Belu
2445,6 km2.
Ibu
kota kabupaten Belu, Atambua sebuah kota kecil yang terletak 500 meter diatas
permuksaan laut. Jarak Kupang dan Atambua lebih kurang 290 km.
Konon
nama Atambua berasal dari kata Ata
(Hamba), Buan (Suanggi/tukang sihir).
Dari legenda diceriterakan adanya hamba yang berani berontak dan melepaskan
ikatan tangan (borgol) sehingga tidak terjual lewat pelabuhan Atapupu, dan
malahan akhirnya menyingkir saudagarnya. Nama kota ini kembar dengan Atapupu
(pelabuhan terletak 24 km arah utara Atambua) dari kata Ata (hamba) Futu (ikat)
yang berarti hamba yang diikat siap dijual.
Masyarakat
Belu yang terdiri dari beberapa suku bangsa memiliki pelapisan sosialnya
sendiri. Sebagai contoh masyarakat Waiwiku dalam wilayah kesatuan suku Marae.
Pemegang kekuasaan berfungsi mengatur pemerintah secara tradisional, pelapisan
tertinggi yaitu Ema Nain yang tinggal
di Uma Lor atau Uma Manaran, mereka
adalah raja. Lapisan berikutnya masih tergolong lapisan bangsawan (di bawah
raja) yaitu Ema Dato, kemudian
lapisan menengah Ema Fukun sebagai kepala marga. Lapisan terbawah dan hanya
membayar upeti dan menjalankan perintah raja, bangsawan maupun lapisan menengah
disebut Ema Ata (hamba). Pada
masyarakat MaraE lapisan social tertinggi disebut Loro.
Mata
pencaharian orang Belu tidak beda dengan masyarakat TTU, dan TTS, yaitu menanam
jagung, umbi-umbian, kacang - kacangan dan sedikit pertanian padi, serta
bertenak sapi, babi.
Salah satu dari sekian kebudayaan daratan Belu adalah Tarian Likurai, yang
pernah memukau warga ibukota Jakarta di tahun 60-an.
Tarian Likurai dahulunya
merupakan tarian perang, yaitu tarian yang didendangkan ketika menyambut atau
menyongsong para pahlawan yang pulang dalam perang. Konon, ketika para pahlawan
yang pulang perang dengan membawa kepala musuh yang telah dipenggal (sebagai
bukti keperkasaan) para feto (wanita)
cantik atau gadis cantik terutama mereka yang berdarah bangsawan menjemput para
pahlawan dengan membawakan tarian Likurai. Likurai itu sendiri dalam
bahasa Tetun (suku yang ada
di Belu) mempunyai arti menguasai bumi. Liku artinya menguasai, Rai artinya tanah atau bumi.
Lambang tarian ini adalah wujud penghormatan kepada para pahlawan yang telah
menguasai atau menaklukkan bumi, tanah air tercinta.
Tarian
adat ini ditarikan oleh feto-feto dengan mempergunakan gendang-gendang kecil
yang berbentuk lonjong dan terbuka salah satu sisinya dan dijepit di bawah
ketiak sambil dipukul dengan irama gembira serta sambil menari dengan
berlenggak-lenggok dan diikuti derap kaki yang cepat sebagai ekspresi
kegembiraan dan kebanggaan menyambut kedatangan kembali para pahlawan dari
medan perang. Mereka mengacung-acungkan pedang atau parang yang berhias perak.
Sementara itu beberapa mane (laki-laki)
menyanyikan pantun bersyair keberanian, memuja pahlawan.
Konon
kepala musuh yang dipenggal itu dihina oleh para penari dengan menjatuhkan ke
tanah. Proses ini merupakan penghinaan resmi kepada musuh. Selain itu para
pahlawan tadi diarak ke altar persembahan yang sering disebut Ksadan. Para tua adat telah menunggu di
sini dan menjemput para pahlawan sambil mencatat kepala musuh yang dipenggal
itu serta menuturkan secara panjang lebar tentang jumlah musuh yang telah
ditaklukkan sampai terpenggal kepalanya diperdengarkan kepada khalayak ramai
untuk membuktikan keperkasaan suku Tetun.
Pada
masa kini, tarian tersebut hanya dipentaskan saat menerima tamu-tamu agung atau
pada upacara besar atau acara-acara tertentu. Sebelum tarian ini dipentaskan,
maka terlebih dahulu diadakan suatu upacara adat untuk menurunkan Likurai atau
tambur-tambur itu dari tempat penyimpanannya.
Dalam Tulisan ini , kita hendak menyelidiki sekedarnya soal asal-usul suku
Belu, yang menghuni hampir seluruh Kabupaten Dati II Belu. Suku Belu ini
berbahasa Tetun, suatu bahasa yang sederhana dan mudah untuk di mengerti.
Bahasa Tetun ini mempunyai persamaannya dengan bahasa-bahasa daerah lainnya di
Indonesia ini. Tetapi mengenai bahasa Tetun ini kita akan bicarakan sendiri.
Disini kita akan bataskan diri pada pokok: Asal-usul Suku Belu.
Bagian pertama kita akan uraikan sebagai berikut:
“Asal-usul orang Belu menurut cerita-cerita
yang diwariskan sampai sekarang di daerah Belu,”
kemudian kedua:
“Asal-usul orang Belu menurut penyelidikan
sarjana-sarjana Imu Bangsa-bangsa dan penyelidikan lainnya”
I. Asal-usul orang Belu, menurut
cerita-cerita yang diwariskan sampai sekarang di Daerah.
MALAKA adalah : tanah asal-usul Belu. Sedari masih kecil bila kita
mendengar makoan-makoan dan orang tua-tua atau pemuka adat membawa syair
Tetun HOLA LIA NAIN, maka kita sering mendengar SINA MUTI
MALAKA LARANTUKA BABOE. Bila mereka menyebut nama ini, tiap orang terus
tahu, yang dimaksutkan ialah : Tanah Asal Nenek Moyang Belu yang dulu berlayar
dari Malaka, meninggalkan tanah airnya dan mencari tempat baru untuk dihuninya.
Nenek oyang suku Belu dari Malaka dalam pelayarannya ke Timor, melalui
Larantuka.
Berikut ini adalah kumpulan bermacam-macam cerita dari makoan-makoan dan
pemuka-pemuka adat di wilayah Belu, baik berasal dari Belu utara maupun dari
Belu Selatan. Ini di kumpulkan oleh R.B.A.G. VROK LAGE SVD (±1952) dalam
kerjasama dengan para makoan dan beberapa guru, antara lain Bupati Daswati II
Belu sekarang (hingga tahun 1968) A.A BERWE TALLO, yang mahir berbahasa Belanda
dan bertugas sebagai penterjemah untuk P. VROK LAGE.
1.MenurutMakoan-makoan dari FATUARUIN:
Mula-mula
datang nenek moyang tiga bersaudara dari Malaka Likansala melalaui Larantuka
(Flores) terus ke Kupang, dari dari Kupang ke Fatumea melalui Hali knain Kalilin
dan terus ke Marlilu. Nama ketiga nenek bersaudara itu : NEKIN MATAUS ke
Likusaen, SAKU MATAUS ke kerajaan Sonbai, dan BARA MATAUS tinggal
di FATUARUIN (Kampung Builaran, Desa Bilaran, Kecamatan Sasitamean,
Kabupaten Malaka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
2. Cerita kedua berasal dari DIRMA:
Menurut
makoan di situ: Bei Taeko yang bertempat tingal di Malaka mengirim tiga orang
anaknya lelaki yang berlayar dengan kapal ke Timor, bersama dengan
pengikut-pengikutnya. Dari Sinamuti Malaka mereka berlayar melalui Betawi dan
Batavia, Kalaban atau Kalabahi, Larantuka-Flores, Babo-Dilly parasa terus ke Bobonaro.
Mereka lalu ke Fatumea Rai oan atau daerah Portugis. Ketiga putra itu bernama
: LORO SANGKOE, LORO BANLEO, dan LORO SONBAI. Yang pertama
tinggal di Debululik atau Welaka, yang ke dua di sanleo atau Dirma, dan yang
ketiga ialah LORO SONBAI, terus kebagian barat timur ialah kebagian Dawan.
Kemudian membawa lima orang yang dianugerahkan Tuhan: HARE LOROK, BATAR
LOROK, MELI (AIKAMELIN), LOROK dan BUI LOROK serta TORA
LOROK.
Kelima
orang tersebut di tanam hidup-hidup daalm tanah ke sampai Timor. Dalam tempo beberapa
hari saja tumbuhlah jagung, padi dua macam, jewawut atau tora, kayu cendana
atau aikamelin, di kebun-kebunnya. Kesimpulannya dan cerita ini ialah jagung,
padi, kayu cendana, jewawut, dibawah oleh nenek moyang itu dari tanah asal
Sinamuti Malaka, dan kebun tempat lahan pertanian bagi kelima orang itu
namanya TOOS KUKUN.
3.Dari NAETIMO:
Menurut makoan-makoan dari Naetimo nenek moyang pertama asalnya dari Sinamuti
Malaka, melalui Larantuka atau Larantuke, Bauwoe, Parasa atau Timor Dili terus
ke Lakaan dari situ terus ke Nainait. Di Nainait mereka menetap. Nenek moyang
itu bernama AGON dengan isterinya LURUK. Mereka mempunyai
anak, dan anak-anak itu membentuk Fukun Hat
atau Uma Hat yakni: Empat suku yang
terkenal dengan nama RIN BESI HAT, UMA KAKALUK KMESAK, UMA FUTUHUR, UMA
SUKUR SOU, dan UMA DIN DULUR. Nenek moyang pertama menemui suku
asli Belu yakni : MELUS di Nainait.
4. Dari DAFALA:
Menurut
Dato Katuas Tafala atau nenek moyang TITUS MORUK, nenek moyang
pertama itu datang dari Sinamuti Malaka melalui Ninobe Raihenek atau Makasar,
terus ke larantuka dan Bauwoe sebuah tempat di Larantuka. Tapi sebelum ke
Larantuka mereka dari Makasar melalui Palu Kusu atau dekat dengan kepulauan
Kei, pulau Loi, pulau Abe, dan pulau Kae atau Kei. Mereka mendarat di Hale,
LeonSumamar di dekat Timor Dili mereka lantas menyusur Mot Aloes atau sungai Loes, terus Ke Siata Mauhalek
di Lasiolat. Berjalan terus ke Ren Lakmau, dari situ terus Tua Lasi-Lasi Olat
baru kemudian terpencar keseluruh Belu. Nenek moyang pertama umumnya mendarat
dibagian pantai utara Belu. Dikatakan pertama nenek moyang itu keluar dari
batu, ini dimaksudkan mereka bertempat tinggal dalam gua-gua batu ketika belum
mendirikan rumah-rumah yang baik pada saat pertama kali orang di Belu, yang
sama seperti cerita makoan-makoan di Dirma.
Kedua
nenek moyang pertama yang terkenal sebagai Bot Leten dan Bot kraik ialah Bei
Lelar dan Bei Seran Taek, yang punya anak-anak para Lelar dan Abu Lelar serta
Asa Taek dan Mau Taek.
5. Dari LASIOLAT:
Menurut
makoan-makoan yang mula-mula menghuni daerah Fialaran-Lasiolat sebelum
kedatangan nenek moyang suku Leowes dan Asutalin dari Malaka ialah suku Melus,
nenek moyang yang pertama orang Melus bernama LERA BAUK dengan
istrinya bernama LENA BAUK. Mereka dianggap penduduk sli Belu sebelum
datangnya suku Belu dari Malaka. Suku-suku yang datangnya dari Malaka ialah
suku Leoklaran, suku Leowes, dan suku Asutalin. Dari Sinamuti Malaka mereka
berlayar terus ke Larantuka –Bauboe, terus ke Hasan Maubesi mendarat di Weto ke
Lakaan dan dari situ ke Mota Weluli Mauhalek. Mereka menemukan seorang Melus
pertama yang mendirikan rumahnya di Nawan Ruas, Aufatuk. Disebut Aufatuk karena
rumahnya terbuat dari bambu dan batu. Pemuda-pemuda suku Leowes mengawini
gadis-gadis dari suku Loro Bauho, bernama Balok Lorok dan Ello lorok. Mereka
lalu pindah dengan anak-anaknya ke Dualasi dimana orang-orang Melus dan
Asutalin sudah lebih dahulu membuat kampungnya. Dualasi kemudian mendapat nama
Dualasi Sosebauk. Orang-orang pertama yang mendarat di Timor ialah Luli Luan
dan Lete Luan. Asutalin juga kemudian mendarat di pantai selatan Belu.
Tempatnya yang lain ialah Aidikur dari situ juga mereka ke Lakaan dan terus ke
Dualasi. Dari malak Asutalin bawa serta anjing. Suku Asutalin haram makan
daging anjing dan tidak membunuhnya (budaya totem).
Nenek
moyang suku Leoklaran datang lebih dahulu dari suku Leowes, dan Asutalin dan
mengalahkan suku Melus ke Tasi Mane lainnya dibunuh dan hanyut terbawa arus.
Yang sisanya masih ada di Haliren, Aikamelin, Motaain. Dalam mengalahkan suku Melus itu ada
kerja sama dengan suku Leowes yang datang kemudian itu. Setelah suku Melus itu
diusir dan dikalahkan oleh suku Leoklaran dan Leowes mulai saling berebut
kekuasaan ini, suku Leowes yang kemudian yang akhirnya menduduki tahta dan
berkuasa sebagai raja di Fialaran sampai kini. Caranya ialah bukan saling
memerangi, melainkan dengan menguji ketangkasan dan kecerdasan saja. Siapa yang
cepat makan ialah yang berkuasa dan waktu nenek moyang Leowes pergi mencari
musang di hutan, nenek moyang Leoklaran disuruh memanjat pohon, di bawah pohon
tertancap tombak emas, oleh nenek moyang Leowes. Entah bagaimana jadinya nenek
moyang Leoklaran jatuh dari pohon dan persis perutnya tertikam pada tombak emas
tadi, dengan itu nenek moyang Leowes yang berkuasa . Namun selanjutnya hubungan
antara suku Leowesa dan suku Leoklaran, sampai kini tetap erat lebih dipererat
oleh perkawinan antara dua suku.
6. Dari ASUMANU:
Menurut
Makoan dari Asumanu nenek moyang pertamanya datang dari Malaka dengan sebuah
kapal namanya Batarian, mendarat di puncak Lakaan yang merupakan daratan yang
muncul waktu itu dari air (agaknya yang lain masih merupakan tempat yang masih
digenangi air laut). Kapten kapal itu namanya Mangelains, apakah itu yang
dinamakan dengan Magelhaens??
7. Dari AITON:
Menurut
makoan-makoan dari Aitoun nenek moyang pertama datang dari Sina Mutin Malaka
dengan tiga buah kapal:
a. Kapal yang dijuluki dengan Ro Manu Lain, Biduk Manu
Lain.
b. Rokfautahan, Biduk Kfautahan
c. Ro Mara Does, Biduk Mara Does. Tempat lainnya
disebut HeranBa weluli, Aitoun rua mane, Foho sabu Lakan kaisahe.
8.Dari MAUMUTIN:
Makoan-makoan Maumutin
menceritakan tentang asal-usulnya bahwa nenek moyang pertama datangnya dari Sina
(Siam/birma) dan dari Sina Mutin Malaka Melalui Larantuka Baboe, lamahala
(Adonara) Lamahera (lomblen) terus ke Kamera (dekat Timor Dili). Kemudian
kembali ke Lamalera untuk mengambil istri dari sana. Kemudian mereka kembali
lagi ke Sina Mutin Malaka karena tidak dapat istri di Lamalera. Di Malaka
mereka dapat memperoleh istri dengan kayu cendana yang dibawanya. Di Maumutin
sendiri kayu cendana tidak ada karena itu kemudian nenek moyang pindah ke
Maukatar didaerah bagian portugis . Untuk memperingati nenek moyang yang datang
dengan tiga kapal itu, didirikan tiga foho (tugu kecil): Foho Liurai, Foho
Tahan Leki Bauk Leowalu.
9. Dari LIDAK:
Nenek moyang datang
dari Sina Mutin Malaka melalui Larantuka Baboe We bau, Asufuik, Maubesi, Wehali
lalu terus ke Lidak. Sumber lainnya menggatakan mereka mendarat dipantai utara
Timor di Timor Dili Parasa. Dari Parasa mereka juga membawaair dan ketika
mereka mendarat direceki tempat itu denga air. Mereka hanya mengetahui bahwa
orang melus bertempat tinggal diSilawan. Kemudian menyusul lagi beberapa suku
yang kelak akan berkuasa di Belu. Mereka datang dari Malaka nenek moyang ada
tujuh pasang, empatnya tinggal di Malaka tiganya berlayar ke Timor melalui
Larantuka-Bauboe, satunya tinggal di Fatumea, kedua tinggal di Leowalu
(dimarae0 dan yang ketiga tinggalnya di Motaain, namanya Dasi Bada Rai.
10.Sabu Mau-Belu Mau dan Timau:
Adalah suatu yang sangat populer dikalangan penduduk Belu dan Sabu Rote ialah
mengenai asal-usul mengenai nenek moyang suku Belu dan Sabu Rote. Demikian
sudah dari kecil kami sudah mendengar cerita tentang Belu Mau, sabu Mau, dan Ti
Mau dari orang tua dan kakek kami. Ketiga nenek ini adalah beradik kakak. Sabu
Mau dan Ti Mau bersama dengan seluruh keluarganya berlayar dengan kapal ke
Timor dan mendarat di bagian utara Belu yakni di teluk Gurita (di Atapupu) yang
turun kedarat untuk mencari tempat tinggal baru di daerah Belu sekarang ialah
Belu Mau dengan keluarganya. Sedang kedua nenek Sabu dan Ti Mau berlayar terus
kearah barat Timor, menyususr pantai untuk mencari tempat tinggalyang baru dan
tempat dan untuk di milikinya. Tapi sebelum ketiganya berpisah, diadakan
perjanjian berikut : “Bila kelak mereka bertemu kembali atau anak-anak maupun
turunan mereka, tidak boleh saling mengawini, tidak boleh saling berperang,
saling mnerima dan menganggap sebagai kakak-beradik atau saudara-saudari
sekeluarga saja”. Perjanjian ini masih di ingat samapai dengan saat ini,
meskipun masih ada praktek kawin mwin sudah sering terjadi antara suku Belu dan
suku rote. Untuk saling memerangi atau berkelahi sampai sekarang ini, masih
tetap dihindarkan mengingat perjanjian ketiga nenek bersaudara tadi.
II.Asal-usul suku Belu (Sabu – Rote)
menurut penyelidikan
Ahli-ahli Ilmu Bangsa-bangsa dan Ahli-ahli lainnya.
Sudah banyak ahli-ahli yang menyeliki suku Belu (dan Rote), disamping
penyelidikan – penyelidikan utama, seperti: Grijzen, H.J. (mededeelingen Omret
Beloe of midden Timor. V.B.G., Batavia, vol.54, Bag.III) dan vrok lege. B.A.
(1953) : Ethnogogihie der Belu in zentral Timor, Leiden, dalam 3 jilid. Dalam
menyelidiki Suku Belu mereka dari pandangan yang hampir serupa. Demikian
seperti :
1. Heijmering G. (Geschiedenis van Timor, 1847, vol. 9, bagian III, pg. 1 – 62
dan 121 -232), dan veth, P.j. (Het eiland Timor, De Gids, Amsterdam, Vol.19.
Bgn. I, pg. 545 – 611 dan 695 – 737 : bgn. 55 – 100), dalam tahun 1985”, dan
juga Bastian A. (1885 – Timor Und Umliegende Inseln. in Indonesian oder die
inseln des Malayischen Archipels, Berlin, Lieferung 2, pg. 1 -31). ketiga penyelidik
itu berpendapat bahwa, bahwa ada perbedaan yang nyata antara suku Belu dan suku
asli Timor : susku Atoni. menurut mereka suku Atoni lebih mirip dengan orang
Papua, sedang suku Belu punya kesamaan yang besar dengan penduduk di bagian
barat indonesia.
2. Menurut pandangan-pandangan antopolog modern : Timor serta pulau-pulaunya
adalah suatu daerah peralihan di mana bertemu dan saling pengaruh antara
komponen ras Melayu Indonesia denganras Melanesia (in sensu lago). Agaknya suku
marae dan kemak menunjukkan elmen Melanesia yang lebih tua, dari pada suku Belu
dan Sabu Rote yang baru masuk kemudian di Timor. Suku Belu dan Rote nyatanya
memiliki tempat tinggi yang paling tampan, ditanah rata sepanjang pantai dan
terus ke pedalaman, namun di sepanjang lembah sungai lalu sepanjang jalan.
Antropolog-antropolog sependapat bahwa unsur Melanesia nampak sangat kuat pada
penduduk asli Timor : suku Atoni di Dawan (orang pegunungan yang jumlahnya
kira-kira 300.000 penduduk mendiami daerah-daerah pegunungan Timor Indonesia.
Tokoh badan mereka agak berlainan dengan tetangga-tetangganya: suku
Belu-Sabu-Rote dan Kemak Marae. Mereka agak pendek dengan bentuk tengkorak
Brachichepel (tengkorak pendek) dengan warna kulitnya coklat kehitam-hitaman,
rambutnya keriting, sangat mirip orang-orang papua. (cf. ormeling, F.J. Dr. The
Timor problem, 1957 hal. 66-67).
3. Menurut penyelidikan Biljmer, H.J.T. (outlines of Antropology of the Timor
Archipelago, Weltevreden-Batavia, 1929, pg. 92-92-95—97-99), bahwa pada
individu-individu suku bangsa Belu nampak ciri-ciri ras Negroit secara
berdampingan atau campur baur. Sedangkan pda suku Atoni (dawan) nampak
ciri-ciri Melanesoit dan Australoid. Dia berkesan bahwa pada suku Atoni ia
tidak rasa lagi bahwa ia di antara orang Melayu. Mereka merupakan kesatuan. Dia
menyelidiki juga suku Manggarai dan mendapatkan adanya ciri khas tipe semitis
pada mereka. Pada suku Ngada terdapat tipe Melanesoid. Pada suku Adonara (dan
Flotim) ada tipe semitis, Negroid dan Papua. Demikian Biljmer.
4.Menurut nona Keers W. (an Antropological Survey of the estern litllesunda
island Mededeelingen no. 74 diterbitkan oleh Koninklijke verehining indisch
institut, Amsterdamtahn 1948) bahwa ciri-ciri Melanesia agaknya tersebar
dibanyak tempat di Timor. Tetapi yang dianggapnya utama ialah apa yang
dinamakan proto Melayu yang besar pengaruh di Timor. Tapi yang dianggapnya
utama ialah apa yang dinamakan Elemen proto Melayu, yang bear di
Timor, dan rasini yang membentuk penduduk sekarang juga. Inilah juga pendapat
Biljmer (1929) dan Lamres (1948) yang memastikan bahwa unsur Melayu yang lebih
muda benar-benar terdapat di daerah Belu selain unsur Melanesia.
5. Mengenai suku Marae dan Kemak, yang ada di Belu Menurut Grijzen (1904)
kira-kira mereka sudah tinggal lama di Belu.
6. Menurut Nona Keers (1948) suku Marae Kemak, yang ada di Belu berbeda dengan
suku Melayu Indonesia karena frekwensi yang tinggi dan tengkorak kepala yang
berbentuk Delichecephalik (tengkorak lonjong) dan tokoh badan yang jauh lebih
tinggi.
7. Menurut Capel (1944) bahwa Buna(bahasa Marae) mirip sekali dengan
bahas-bahasa papua. Sedang menurut Nona Keers 91948) susku Kemak punya
pertalian erat dengan suku Marae. Bahasanya mirip sekali dengan bahasa Buna
(caell 1944).
8. Mengenai suku Rote-Sabu seperti telah di katakan tadi seasal dengan suku
Belu. Mereka datang berkelompok-kelompok, lain turut Flores lainya lagi via
Timor. Tanah asalnya pulau Seram (?) menurut ten Kate (1849) bahasa dan
kebudayaan Rote sama dengan Belu. Hanya Rote mempunyai unsur Melayu lebih kuat.
9. Terra (1953) punya anggapan bahwa yang mula-mula punya usaha sawah dan
ladang ialah suku Belu.
10. Dalam ENCHIKLOPEDIA VAN NEDERLANDS OOST INDIE IV LEIDEN, 1921 pda halaman
323, dibahas juga tentang penduduk dari Malaka melalui Sulawesi-Flores (larantuka)
terus ke Timor. Juga tentang adat-istiadat Belu dan keadaandaerahnya.
11. H.K.J. Cowan (1963) menyelidiki, bahwa bahasa Buna termasuk salah satu
bahasa Irian Barat. Diantara lain menyebut beberapa kata seperti (n) iri, su,
batohul, bi, pana, per, nei, ei, yang mirip betul dengan kata-kata dalam bahasa
Irian Barat. (cf. Eydarg. T.,1. en volk, jgr. 1963, pg 387 - 400) sedang Louis
Berthe (1959) dalam penyelidikannya di Lamaknen mendapat kepastian juga bahwa
dalam bahasa Buna terdapat kata-kata yang mirip dengan kata-kata Melayu purba
(Deutero Melayu). (cf. Eydarg. T.,1. en volk, 1959, pg 336 dan seterusnya).
12. Abdul Hakim (1961), juga memuat karangannya tentang Timor, di dalamnya
dituliskan tentang apa yang di dengarnya sendiri mengenai asal-usul orang Belu
yang datang dari Malaka dan adat istiadatnya di Timor, di Belu khususnya.